BAB 1 : (RUKUN PERTAMA) IMAN KEPADA ALLAH
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Iman kepada Allah adalah poros dan landasan dari rukun-rukun iman yang lainnya.
Beriman kepada Allah dibangun di atas dua rukun :
Pertama: Meyakini akan wujud (eksistensi, ada)-nya Allah. Tidak sebagaimana kaum ateis yang menolak adanya Tuhan.([1])
Kedua: Mentauhidkan (mengesakan) Allah. Lawan dari tauhid adalah syirik. Adapun mentauhidkan Allah terdiri atas:
- Mentauhidkan Allah dalam rububiyyah-Nya
- Mentauhidkan Allah dalam uluhiyyah-Nya
- Mentauhidkan Allah dalam Nama-nama dan Sifat-sifatNya.
Definisi Tauhid
Tauhid adalah masdar dari wahhada (وَحَّدَ) yuwahhidu (يُوَحِّدُ) tauhidan (تَوْحِيْدًا), yang secara bahasa artinya adalah “mengesakan”, yaitu menjadikannya satu.
Istilah tauhid juga disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah sabda Nabi kepada Mu’adz bin Jabal takala mengutusnya ke negeri Yaman:
إِنكَ ستأتي قوماً أهلَ كتابٍ، فإذا جئتَهم فادْعُهمْ إِلى أنْ يشهَدوا أنْ لا إِله إلا الله، وأنَّ محمداً رسولُ الله
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum Ahli Kitab. Jika engkau mendatangi mereka maka serulah mereka agar mereka bersaksi bahwasanya tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.”([2])
Dalam riwayat lain disebutkan:
فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ الله
“Maka jadikanlah dakwahmu yang pertama kali kepada mereka adalah beribadah kepada Allah.”([3])
Dalam riwayat lainnya juga disebutkan:
فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ
“Jadikanlah dakwahmu yang pertama kali kepada mereka agar mereka mentauhidkan Allah.“([4])
Dalam redaksi lainnya:
فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ تَوْحِيدُ اللَّهِ
“Jadikanlah dakwahmu yang pertama kali kepada mereka adalah pentauhidan kepada Allah.“([5])
Dalam hadis yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
أَنَّ رَجُلًا لَمْ يَعْمَلْ مِنَ الْخَيْرِ شَيْئًا قَطُّ إِلَّا التَّوْحِيدَ، فَلَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ، قَالَ لِأَهْلِهِ: إِذَا أَنَا مِتُّ، فَخُذُونِي وَاحْرُقُونِي، حَتَّى تَدَعُونِي حُمَمَةً، ثُمَّ اطْحَنُونِي، ثُمَّ اذْرُونِي فِي الْبَحْرِ، فِي يَوْمٍ رَاحٍ، قَالَ: فَفَعَلُوا بِهِ ذَلِكَ، قَالَ: فَإِذَا هُوَ فِي قَبْضَةِ اللهِ، قَالَ: فَقَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ : مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ؟ قَالَ: مَخَافَتُكَ، قَالَ: فَغَفَرَ اللهُ لَهُ
“Ada seorang lelaki yang tidak mengamalkan kebaikan sama sekali kecuali tauhid. Menjelang wafat, ia berkata kepada keluarganya, ‘Jika aku meninggal maka ambillah jasadku lalu bakarlah hingga hangus. Lalu girislah hingga jadi debu. Kemudian tebarkanlah di laut ketika angin bertiup kencang.’ Keluarganya pun melakukannya. Tiba-tiba ia berada pada genggaman Allah, lalu Allah berkata kepadanya, ‘Apa yang mendorongmu melakukannya?’ Ia menjawab, ‘Karena takut kepada-Mu.’ Maka Allah pun mengampuninya.” ([6])
Dalam hadis yang lain:
أَنَّ الْعَاصَ بْنَ وَائِلٍ نَذَرَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَنْحَرَ مِائَةَ بَدَنَةٍ وَأَنَّ هِشَامَ بْنَ الْعَاصِي نَحَرَ حِصَّتَهُ خَمْسِينَ بَدَنَةً وَأَنَّ عَمْرًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: ” أَمَّا أَبُوكَ، فَلَوْ كَانَ أَقَرَّ بِالتَّوْحِيدِ، فَصُمْتَ، وَتَصَدَّقْتَ عَنْهُ، نَفَعَهُ ذَلِكَ
Pada zaman jahiliah, al-‘Ash bin Wail bernazar untuk menyembelih 100 onta, dan (putranya) Hisyam bin al-‘Ash menyembelih bagiannya 50 onta. ‘Amr bin al-‘Ash (radhiallahu ‘anhu) bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal itu (yaitu, apakah ia boleh menyembelih sisanya: 50 ekor onta). Nabi menjawab, “Adapun ayahmu (al-‘Ash bin Wail), seandainya ia mengikrarkan tauhid, lalu engkau berpuasa dan bersedekah atas namanya, maka akan bermanfaat baginya.” ([7])
Demikian pula para Sahabat juga menggunakan istilah tauhid, sebagaimana disebutkan dalam sebagian riwayat, di antaranya:
Jabir bin ‘Abdullah berkata:
فَأَهَلَّ بِالتَّوْحِيدِ «لَبَّيْكَ اللهُمَّ، لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ، وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ»
“Nabi pun ber-talbiyah dengan tauhid, labbaik Allahumma labbaik….”([8])
Jadi istilah tauhid bukanlah istilah yang baru. Karena itu para ulama dahulu menulis buku-buku yang mereka beri judul Kitabut-Tauhid. Misalnya al-Tauhid karya Ibnu Khuzaimah (wafat 311 H) dan al-Tauhid karya Ibnu Mandah (wafat 395 H). Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya membawakan hadis Mu’adz bin Jabal di atas pada Kitab al-Tauhid, pada bab:
مَا جَاءَ فِي دُعَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّتَهُ إِلَى تَوْحِيدِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
“Hadis-hadis tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyeru umatnya kepada pentauhidan Allah tabaraka wa ta’aala”
Pembagian Tauhid
Pada prinsipnya, tauhid tidaklah terbagi. Sebab rububiyyah Allah, dan uluhiyyah-Nya serta asma’ wa shifat-Nya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Namun makhluk (kaum musyrik lah yang melakukan pembagian). Dahulu, setelah diutusnya nabi Adam, tauhid dipahami oleh manusia secara menyeluruh tanpa pembagian. Setelah 10 kurun kemudian kesyirikan muncul. Kesyirikan inilah yang merupakan bentuk pemecahan tauhid. Sebab mereka mentauhidkan Allah pada sebagian sisi, dan membatalkan tauhid pada sisi yang lain. Allah berfirman tentang kondisi kaum musyrik Arab:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan menyekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS Yusuf: 106)
Jadi orang-orang musyrik lah yang memisah-misahkan tauhid. Allah menjelaskan keyakinan mereka yang salah ini, dengan menjelaskan bahwa iman (tauhid) mereka tercampur dengan kesyirikan. Ternyata keyakinan (tauhid) mereka yang disebut oleh Allah dengan “iman” adalah keyakinan mereka bahwa Allah sebagai maha pencipta dan maha pemberi rizki (yang merupakan tauhid rububiyyah). Adapun kesyirikan mereka yang Allah sebutkan pada ayat tersebut adalah mereka menyembah kepada selain Allah. Artinya, keyakinan mereka rusak dari sisi tauhid ibadah (uluhiyyah). Sehingga terjadilah pembagian tauhid untuk menjelaskan bagian yang benar dan bagian yang salah. Jadi kaum musyrik lah yang membagi tauhid, sehingga Allah turunkan ayat-ayat kepada mereka agar mereka tidak membagi tauhid: bertauhid pada sebagian dan berbuat syirik pada bagian yang lain. Di antara firman Allah melarang mereka membagi-bagi tauhid:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ، الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS al-Baqarah: 21-22)
Dengan demikian, klasifikasi atau pembagian tauhid adalah untuk memudahkan pemahaman yang benar, bahwa tauhid itu pada hakikatnya tidak terbagi.
Pembagian tauhid tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama; Tauhid al-Rububiyyah
Kedua: Tauhid al-Uluhiyyah
Ketiga; Tauhid al-Asma` was-Shifat
Tauhid Rububiyyah adalah: تَوْحِيْدُ اللهِ بِأَفْعَالِهِ artinya, mengesakan perbuatan-perbuatan Allah, bahwa hanya Allah semata yang melakukannya tanpa ada campur tangan selain-Nya.
Perbuatan-perbuatan Allah, af’alullah (أَفْعَالُ اللهِ) ini banyak, seperti menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, mengatur alam semesta, menyembuhkan, mengabulkan doa dan lain-lain.
Tauhid Rububiyyah berporos pada tiga perkara, (1) Penciptaan (الْخَلْقُ), yaitu Allah menciptakan makhluk dari tidak ada menjadi ada. (2) Kepemilikian (الْمُلْكُ), artinya karena hanya Allah yang menciptakan alam semesta beserta isinya maka hanya Allah yang memiliki itu semua. (3) Pengaturan (التَّدْبِيْرُ), jadi tidak ada yang ikut serta bersama Allah dalam pengaturan alam semesta, semua yang terjadi adalah di bawah aturan Allah.
Adapun tauhid Uluhiyyah (atau Ilahiyah atau tauhid ibadah) adalah mengesakan Allah dalam peribadahan. Artinya, hamba hanya boleh beribadah kepada Allah semata. Jika tauhid Rububiyyah berkaitan dengan أَفْعَالُ اللهِ (perbuatan-perbuatan Allah) maka tauhid Uluhiyyah berkaitan dengan أَفْعَالُ الْعَبْدِ (perbuatan-perbuatan hamba) yang mencakup bentuk-bentuk ibadah, seperti berdoa, bernazar, menyembelih, khauf (takut), raja (berharap), tawakal dan lain-lain.
Adapun tauhid Asma` wa Shifat yaitu seorang hamba meyakini bahwa Allah Maha Esa dengan kesempurnaan yang mutlak dari segala sisi dalam nama-nama dan sifat-sifatNya yang agung. Tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Allah, dalam hal nama dan sifatNya. Meskipun bisa jadi terdapat kesamaan nama dan sifat sama antara makhluk dengan Allah, tapi berbeda secara hakikatnya.
Tauhid Rububiyyah dan Asma` wa Shifat berkaitan dengan zat Allah yang harus diyakini bahwa Allah Maha Esa dalam Rububiyyah-Nya dan Asma` wa Shifat-Nya. Inilah yang harus diyakini oleh tiap individu.
Adapun tauhid Uluhiyyah maka berkaitan dengan perbuatan hamba, yaitu hamba hanya beribadah kepada Allah semata. Sebab Allah lah satu-satunya yang berhak untuk disembah karena Allah Maha Esa dalam Rububiyyah dan Asma` wa Shifat-Nya. Karena itulah ada sebagian ulama yang membagi tauhid menjadi dua: (1) Tauhid al-‘Ilmi wal-Ma’rifah, yang mencakup tauhid ar-Rububiyyah dan tauhid al-Asma` was-Shifat, karena fokusnya adalah agar para hamba mengilmui dan mengetahui tentang rububiyyah dan asma` wa shifat Allah. Dan yang kedua (2) adalah Tauhid al-‘Amal wat-Thalab yang berkaitan dengan tauhid al-Uluhiyyah karena fokusnya adalah menuntut (thalab) para hamba untuk beramal hanya untuk Allah.
Sebagian orang menolak pembagian tauhid menjadi tiga atau dua sebagaimana yang baru saja dijelaskan. Di antara alasannya adalah karena pembagian tauhid ini dianggap tidak berdalil. Ada pula yang menganggap bahwa pembagian ini mirip keyakinan Trinitas yang dimiliki oleh orang-orang Nasrani.
Pandangan mereka dapat disanggah dari beberapa sisi:
- Untuk Sarana Pembelajaran
Kita katakan bahwa pembagian ini didapatkan dari penyimpulan dengan metode induktif (istiqra`) terhadap dalil([9]). Di samping bahwa ia hanyalah merupakan metode pembelajaran. Hal tersebut sebagaimana pembagian hukum syariah menjadi lima (wajib, mustahabb, mubah, makruh, haram); pembagian kata dalam bahasa Arab menjadi menjadi tiga (ism, fi’l dan huruf). Pembagian-pembagian ini tidak pernah dilakukan secara eksplisit oleh Nabi. Namun merupakan pembagian dari para ulama setelahnya, sebagai hasil penyimpulan dengan metode induktif.
Bahkan kita katakan, sekiranya tanpa pembagian pun tidak mengapa. Sebab yang paling penting dan esensial adalah tidak salah dalam merealisasikan tauhid dan iman kepada Allah. Yang jelas, kalau ditanyakan: Apakah Nabi dan para Sahabat meyakini bahwa Allah saja yang Mencipta, Mengatur, dan Memiliki? Jawabannya tentu saja iya. Nah, inilah yang kita sebut dengan tauhid Rububiyyah. Lalu, apakah Nabi dan para Sahabat hanya beribadah kepada Allah semata? Jawabannya juga tentu iya. Itulah yang kita sebut dengan tauhid Uluhiyyah. Selanjutnya, apakah Nabi dan para Sahabat meyakini bahwa Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang tidak ada sesuatu pun yang setara denganNya? Jawabannya lagi-lagi tentu saja iya. Inilah yang kita sebut dengan tauhid Asma` wa Shifat.
Intinya, pembagian tersebut untuk memudahkan pembelajaran, sebagaimana halnya pembagian hukum syariah menjadi lima dan pembagian kata menjadi tiga juga untuk memudahkan pembelajaran. Sekiranya ada seseorang yang bertauhid dengan benar sebagaimana tauhid Nabi dan Sahabat dengan tanpa mengetahui klasifikasi tauhid, maka tidak mengapa.
- Untuk Menampakkan dan Menghilangkan Penyimpangan
Manfaat lain dari pembagian ini adalah, untuk memperjelas penyimpangan yang terjadi dalam tauhid. Sebab bisa jadi seseorang benar dalam sebagian hal tapi ternyata salah dalam sebagian lainnya. Buktinya, berapa banyak orang yang mengklaim bertauhid namun ternyata dia telah terjerumus pada penyembahan selain Allah: dia menyembelih untuk jin, sementara dia meyakini bahwa yang menciptakan dan mengatur alam semesta hanyalah Allah. Dengan adanya klasifikasi tauhid, menjadi lebih jelas bahwa dia telah jatuh pada kesyirikan dalam Uluhiyyah, meskipun dia benar dalam tauhid Rububiyyah.
Hal ini sebagaimana firman Allah:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُم بِاللَّهِ إِلَّا وَهُم مُّشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS Yusuf : 106)
Allah menjelaskan bahwa kaum musyrik Arab menggabungkan antara iman (tauhid) dan kesyirikan. Kalau mereka ditanya tentang siapa yang menciptakan langit dan bumi, maka mereka akan menjawab Allah. Allah berfirman,
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۚ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah’.” (QS Luqman: 25)
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan mereka?’ Niscaya mereka menjawab ‘Allah’, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS al-Zukhruf: 87)
Iman mereka terkait dengan tauhid Rububiyyah. Mereka meyakini bahwa Allah lah yang Maha Pencipta, memberi rezeki, dan lain-lain dari makna-makna Rububiyyah. Namun ternyata mereka berbuat syirik. Mereka menyembah berhala, menyembelih untuk selain Allah, berdoa kepada selain Allah, dan perbuatan-perbuatan syirik lainnya.
Oleh karena itu, Allah sering mengingatkan kesalahan mereka dalam al-Quran. Allah membantah kesesatan mereka dalam tauhid Uluhiyyah dengan cara mengingatkan mereka terhadap ketauhidan mereka dalam makna Rububiyyah.
Allah berfirman,
أَمَّن يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ وَمَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَّعَ اللَّهِ ۚ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
“Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Katakanlah, ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar’.” (QS al-Naml: 64)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ، الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَّكُمْ ۖ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَندَادًا وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS al-Baqarah: 21-22)
Jika ditelusuri maka akan dijumpai banyak ayat bahwa Allah menyebutkan tentang tauhid Rububiyyah untuk memperbaiki kesalahan kaum musyrik Arab dalam tauhid Uluhiyyah. Secara tersirat Allah telah membedakan antara tauhid Uluhiyyah dan tauhid Rububiyyah.
Begitu pula halnya dalam pembahasan tauhid Asma` wa Shifat yang banyak terdapat penyimpangan tentangnya, seperti penolakan terhadap sifat ketinggian Allah, penolakan terhadap Kalamullah, dan lain-lain.
Klasifikasi tauhid ini seringkali diingkari oleh kalangan yang memiliki penyimpangan dalam tauhid. Sebab klasifikasi tersebut adalah sarana untuk mengenal penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam tauhid.
Intinya, dengan klasifikasi tauhid ini upaya perealisasian tauhid secara benar dan paripurna menjadi tercapai, serta penyimpangan dalam tauhid menjadi tersingkap.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) Dalil-dalil adanya Tuhan beserta sanggahan terhadap syubhat-syubhat kaum ateis akan disampaikan ketika membahas tauhid rububiyyah.
([2]) HR al-Bukhari no. 1496 dan Muslim no. 19.
([5]) HR al-Daraquthni dalam Sunan-nya no. 2059.
([6]) HR Ahmad no. 3785, dengan sanad yang sahih dari Ibnu Mas’ud, dan no. 3786 dari Abu Hurairah, dan no. 8040 dari Ibnu Sirin secara mursal.
([7]) HR Ahmad no. 6704, dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf no. 12203, dengan sanad yang hasan.
([8]) HR Muslim no. 1218, dari hadits Jabir tentang haji Wada’.
([9]) Pembahasan ini telah dibahas oleh penulis dengan panjang lebar di buku yang berjudul “ Bid’ah Hasanah”.
Bakr Abu Zaid berkata :
هذا التقسيم الاستقرائي لدى متقدمي علماء السلف أشار إليه ابن مندة وابن جرير الطبري وغيرهما، وقرره شيخا الإسلام ابن تيمية وابن القيم، وقرره الزبيدي في تاج العروس وشيخنا الشنقيطي في أضواء البيان، في آخرين رحم الله الجميع، وهو استقراء تامٌّ لنصوص الشرع، وهو مطرد لدى أهل كلِّ فنٍّ، كما في استقراء النحاة كلام العرب إلى اسم وفعل وحرف، والعرب لم تفه بهذا، ولم يعتب على النحاة في ذلك عاتب، وهكذا من أنواع الاستقراء”. [التحذير من مختصرات الصابوني في التفسير ص: 30]