Tafsir Surat Al-Ma’un
Para ulama berselisih pendapat tentang status surat Al-Ma’un, apakah tergolong Makkiyah atau Madaniyah. Jumhur ulama menyatakan bahwa surat Al-Ma’un adalah Makkiyah berdasarkan topik pembahasan surat ini. Karena surat ini berisikan tentang keadaan orang-orang yang mendustakan agama yang mana lebih tepat jika ayat ini ditujukan untuk orang-orang musyrikin yang mendustakan agama dan hari kebangkitan. Namun ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa surat Al-Ma’un adalah Madaniyyah. Hal ini juga bisa diperhatikan dalam surat ini tentang orang-orang yang shalat tetapi riya’. Perilaku tersebut adalah perilaku orang-orang munafik dan orang-orang munafik tidak ada di Mekkah, melainkan baru muncul di kota Madinah. Bahkan ada sebagian ulama yang lain yang menyatakan setengah surat Al-Ma’un turun di Mekkah setengahnya lagi turun di Madinah (lihat Tafsir As-Sam’aani 6/288)
Allah berfirman pada permulaan surat:
- أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
الدِّينِ dalam bahasa Arab juga bermakna الْجَزَاءُ yaitu balasan. Sebagaimana kaidah syariat:
اَلْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ
“Balasan itu sesuai dengan jenis perbuatan”
Penerapannya seperti, seseorang yang berbuat baik kepada manusia maka Allah akan berbuat baik kepadanya, seseorang yang meringankan beban orang lain maka Allah akan meringankan bebannya di dunia dan akhirat, seseorang yang membahagiakan orang lain maka Allah akan membahagiakan dirinya. Dan diantara nama-nama hari kiamat adalah يَوْمَ الدِّينِ yaitu hari pembalasan.
Surat ini bercerita tentang orang yang awalnya mendustakan agama dan hari akhirat yang akhirnya menimbulkan akhlak yang sangat buruk. Dari sini diketahui bahwasanya keimanan terhadap akhirat merupakan perkara yang sangat penting. Barangsiapa yang yakin adanya hari pembalasan maka dia akan berbuat sebaik baiknya di dunia ini. Tetapi barangsiapa yang tidak yakin dengan hari kebangkitan dan hari pembalasan atau ragu dengan hari tersebut maka dia akan berani melakukan kemaksiatan-kemaksiatan atau pelanggaran-pelanggaran. Oleh karena itu, orang yang imannya kuat terhadap hari akhir akan tampak pada sifat-sifatnya.
Kemudian Allah berfirman:
- فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ
“Maka itulah orang yang menghardik anak yatim”
Diantara tanda-tanda mendustakan hari pembalasan adalah tidak peduli dan malah menyakiti anak yatim. Allah telah mencabut rahmat (kasih saying) dari hatinya, hatinya sudah mati rasa, sehingga seharusnya ia mengasihi anak yatim akan tetapi ia malah menghardik anak yatim.
Yatim dalam istilah syariat adalah seorang anak yang meninggal ayahnya sedangkan anak tersebut belum baligh. Adapun ketika dia sudah mencapai usia baligh maka tidak dikatakan lagi yatim. Berbeda dengan hewan, hewan dikatakan yatim jika induknya yang meninggal. Karena yang merawat hewan adalah induknya. Adapun manusia dikatakan yatim jika yang meninggal adalah bapaknya karena bapaknya yang mengurus dan mencarikan nafkah untuknya hingga dia baligh.
Al-Qurthubi berkata :
وَالَيْتُمْ فِي بَنِي آدَمَ بِفَقْدِ الْأَبِ، وَفِي الْبَهَائِمِ بِفَقْدِ الْأُمِّ
“Dan yatim pada manusia adalah kehilangan/wafatnya ayah, dan pada hewan adalah hilangnya/matinya ibu/induk” (Tafsir Al-Qurthubi 2/14 dan lihat juga Lisanul ‘Arob 12/645)
Ada yang berpendapat bahwa yang Namanya yatim pada manusia adalah yang ibunya wafat, namun menurut al-Qurthubi pendapat ini tidak ma’ruf.
Diantara sifat-sifat Jahiliyah adalah meremehkan orang-orang yang lemah seperti anak yatim dan para wanita. Di zaman Jahiliyah para wanita tidak diberikan warisan, begitu pula dengan anak yatim mereka tidak dihargai, karena tidak ada yang melindungi mereka. Seandainya mereka memiliki harta yang banyak maka oleh orang lain diambil dan digunakan secara dzalim. Itulah sebabnya Allah mengkhususkan penyebutannya dalam surat ini, bahwasanya orang yang tidak beriman dengan hari kebangkitan maka dia akan menghardik anak yatim, akan bersikap kasar padanya, dan mendzaliminya.
Kemudian Allah berfirman:
- وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ
“Dan tidak mendorong memberi makan orang miskin”
Ini salah satu sifat dari orang yang mendustakan hari pembalasan yaitu dia tidak menganjurkan untuk memberi makan kepada orang miskin. Dia pelit dan tidak yakin apa yang dia berikan akan dibalas oleh Allah di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, Nabi bersabda:
وَلاَ يَجْتَمِعُ الشُّحُّ وَالإِيمَانُ فِي قَلْبِ عَبْدٍ أَبَدًا
“Tidak akan berkumpul sifat kikir dan keimanan dalam hati seorang hamba selama-lamanya.” (HR An-Nasa’i no. 3110)
Seseorang yang pelit menandakan imannya terhadap hari pembalasan kurang, seakan-akan dia meyakini Allah tidak akan membalasnya kelak. Oleh karena itu, dia juga tidak pernah memotivasi agar memberi makan fakir miskin.
Pelaku maksiat asalnya akan mencari teman untuk melakukan maksiat sama seperti yang dia lakukan agar ia tidak merasa rendah dan agar tidak hanya dia yang dicela. Karena seorang pelit jika melihat di sekililingnya ternyata dermawan maka ia tentu akan memandang dirinya rendah atau orang lain akan mencelanya dan memandangnya rendah. Karenanya ia tidak suka jika ada orang-orang yang dermawan
Kemudian Allah berfirman:
- فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ
“Maka celakalah orang-orang yang shalat”
- الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
“Yaitu orang-orang yang lalai terhadap shalatnya”
سَاهُونَ dalam bahasa Arab artinya lupa yaitu yang lalai dalam mengerjakan shalat. Termasuk di dalamnya, orang-orang yang shalat keluar dari waktunya tanpa ada udzur. Termasuk pula orang yang menundanya sampai di penghujung waktu. Seperti seseorang yang sengaja melaksanakan shalat ashar di waktu menjelang maghrib tanpa ada udzur. Shalat seperti ini adalah shalat orang munafiq. Nabi bersabda:
تِلْكَ صَلاَةُ الْمُنَافِقِ يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَىِ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لاَ يَذْكُرُ اللَّهَ فِيهَا إِلاَّ قَلِيلاً
“Ini adalah shalat orang munafik. Ia duduk hingga matahari berada antara dua tanduk setan. Lalu ia mengerjakan shalat Ashar empat raka’at. Ia hanyalah mengingat Allah dalam waktu yang sedikit.” (HR Muslim no. 622)
Mereka adalah orang yang shalat, tetapi shalat mereka tidak benar sehingga mereka dicela oleh Allah. Bahkan sebagian ulama menyebutkan bahwasanya termasuk yang dicela dalam ayat ini adalah orang yang shalat namun tidak khusyu’. Khusyu’ dalam shalat merupakan perkara yang tidak berat, sehingga yang tercela adalah yang sengaja untuk tidak khusyu’ dan pergi membawa pikirannya keluar dari shalat. (lihat Tafsir Juz ‘Amma, Ibnu al-‘Utsaimin hal 327). Meskipun yang lebih tepat adalah ayat ini berkaitan dengan orang-orang munafik. Tetapi tetapi barang siapa yang memiliki kelalaian dari shalatnya maka dia mendapatkan bagian cercaan dalam ayat ini. Kalau kelalaiannya sempurna maka sempurna pula kemiripannya dengan orang munafik, tetapi semakin sedikit kelalaiannya maka semakin sedikit pula dia mendapat cercaan dari ayat ini.
Kemudian Allah berfirman:
- الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ
“Orang-orang yang berbuat riya”
Ingin dilihat oleh orang lain ketika shalat merupakan penyakit orang-orang munafik. Allah berfirman tentang orang-orang munafiq :
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali (QS An-Nisaa : 142)
Kemudian Allah berfirman:
- وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
“Dan enggan (menolong dengan) barang berguna”
Para ulama berselisih pendapat tentang makna الْمَاعُونَ pada ayat ini, ada yang memaknainya dengan semua benda yang berguna ada pula yang memaknainya dengan pinjaman yaitu sesuatu yang dipinjamkan kemudian akan dikembalikan. Inilah salah satu sifat orang pelit, jika ada orang lain yang ingin meminjam sebuah barang darinya, dia tidak ingin meminjamkannya walaupun si peminjam menjanjikan untuk mengembalikannya. Padahal meminjamkan sesuatu tidak memberikan kemudorotan kepadanya, toh barangnya akan kembali lagi. Ini menunjukan sifat pelit yang luar biasa. Jika meminjamkan -yang tidak mengurangi hartanya- saja ia enggan apalagi menginfakan hartanya tentu lebih pelit lagi (lihat Tafsir As-Sa’di hal 935)