Tafsir Surat At-Takatsur
Para ulama berselisih pendapat tentang status surat At-Takatsur, apakah tergolong Makkiyah atau Madaniyah. Mayoritas ulama berpandangan bahwa surat At-Takatsur adalah surat Makkiyah yang diturunkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum berhijrah ke kota Madinah. Yang mana sasaran pembicaraan surat ini adalah untuk orang-orang kafir Quraisy yang mengingkari adanya hari kebangkitan. Namun sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa surat At-Takatsur adalah surat Madaniyyah yang diturunkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah berhijrah ke kota Madinah. Mereka berpandangan seperti itu karena berpendapat bahwa sebab diturunkannya surat ini adalah tentang dua kabilah dari Anshar yang saling berbangga-banggaan atas apa yang ada pada diri mereka.
Mereka saling bertanya: “Apakah kalian mempunyai pahlawan yang segagah dan lebih cekatan dari Fulan?” Mereka saling menyombongkan diri dengan kedudukan dan kekayaan orang-orang yang masih hidup. Mereka juga saling mengajak pergi ke kuburan untuk menyombongkan kepahlawanan golongannya yang sudah gugur, dengan menuju ke kuburannya. Surat ini turun sebagai teguran kepada orang-orang yang hidup bermegah-megahan sehingga ibadahnya kepada Allah terlalaikan.
Dan telah dimaklumi bahwasanya kaum Anshar adalah penduduk kota Madinah, hal ini yang membuat sebagian ulama berpandangan bahwa surat At-Takatsur adalah Madaniyyah. Akann tetapi pendapat yang lebih kuat adalah Makkiyah. Karena riwayat tentang asbabun nuzul di atas adalah riwayat yang lemah bahkan riwayat yang bathil, karena tidak layak bagi kaum Anshar berbangga-bangga seperti itu dan tidak mungkin para sahabat Nabi melakukannya.
Selain itu, apabila diperhatikan di awal surat tentang celaan Allah yang ditujukan bagi orang-orang yang bermegah-megahan sehingga mereka lalai dari mengingat hari akhirat, maka akan diketahui bahwa celaan ini tidak mungkin ditujukan untuk kaum Anshar. Tetapi yang lebih cocok untuk menjadi obyek pembicaraan adalah orang-orang kafir Quraisy.
Lalu para ulama menyebutkan bahwasanya surat At-Takatsur memiliki beberapa nama, diantaranya surat At-Takatsur itu sendiri yang artinya berlomba-lomba. Sebagian ulama yang lain menyebutkan bahwa diantara nama surat ini adalah surat Al-Hakumut takatsur, sebagian yang lain menamakan surat ini dengan surat Al-Maqbarah karena di dalam surat ini Allah menyebutkan tentang الْمَقَابِرَ “pekuburan” dan tidak akan dijumpai penyebutan kata tersebut di dalam Al-Quran kecuali pada surat ini saja.
Kemudian sebagian ulama mencoba mencari hubungan antara surat At-Takatsur dengan surat Al-Qari’ah. Pada bagian-bagian akhir surat Al-Qari’ah disana dibahas tentang timbangan kebajikan ataupun keburukan. Dan diantara yang menyebabkan timbangan kebajikan itu ringan dan timbangan keburukan menjadi berat adalah berlomba-lomba untuk bermegah-megahan sebagaimana pokok pembicaraan pada surat At-Takatsur ini. Dan sifat inilah yang menyebabkan manusia tersibukkan dengan perkara-perkara dunia lalu lupa beramal shalih dan beribadah kepada Allah.
Allah berfirman pada permulaan surat:
- أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu”
Pada ayat ini Allah tidak menyebutkan bermegah-megahan dalam hal apa. Sekilas bisa ditangkap bahwa ayat ini membicarakan tentang bermegah-megahan dalam harta sebagaimana penyebab kelalaian kebanyakan manusia. Namun para ahli tafsir semisal Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mengatakan bahwa ketika tidak disebutkan bermegah-megahan atau berlomba-lombanya dalam hal apa, maka ayat ini memberikan faidah keumuman. (lihat Tafsir As-Sa’di hal 933). Termasuk semua perkara yang orang berlomba-lomba, bermegah-megah, berbangga-banggan padanya seperti harta, anak, kabilah, suku, ras, kedudukan, bahkan ilmu (lihat Tafsir Juz ‘Amma ibnu al-Utsaimin hal 302) yang akhirnya melalaikan mereka, menjadikan angan-angan dan mimpi mereka menjadi panjang, sehingga lupa bahwa kematian itu sangat dekat.
Mengapa saling berlomba-lomba agar lebih banyak itu bisa tercela? Pada asalnya mencari harta itu adalah sesuatu yang wajar dan manusiawi. Allah pun tidak pernah melarang seseorang mencari harta, apalagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan nafkah terhadap anak dan istrinya. Namun akan menjadi tercela jika dia meminta tambahan terus. Dia sudah berada di atas hidup yang berkecukupan akan tetapi dia tidak pernah puas karena melihat orang lain yang hartanya lebih banyak, atau mobilnya lebih banyak, atau rumahnya lebih mewah, sehingga dia mempunyai keinginan untuk menyaingi orang tersebut. Inilah takaatsur yang akan menyibukkan dia, membuat dia lalai dan akhirnya mencelakakan dia. Lain halnya jika ia mengumpulkan harta untuk tujuan akhirat, untuk bersedekah, membantu kaum muslimin dan lainnya, maka ini adalah memperbanyak harta untuk akhirat.
Dan hal yang sangat menyedihkan terkadang didapati pada sebagian kaum muslimin yang berbanyak-banyakan pada perkara-perkara yang tidak ada manfaatnya di akhirat bahkan di dunia juga tidak ada manfaatnya. Seandainya mereka berbanyak-banyakan dalam perkara dunia yang bermanfaat hanya saja tidak ada manfaat bagi akhiratnya maka itu kadang bisa dimaklumi. Tetapi jika itu tidak bermanfaat bahkan untuk dunianya, maka hal ini lebih mengherankan. Misalnya seseorang yang mempunyai hobi mengoleksi perangko, mengoleksi bola golf, mengoleksi batu inilah batu itulah, atau hobi mengoleksi mobil antik. Sungguh tidak ada manfaat dari itu semua melainkan hanya akan menghabiskan waktunya dan menimbulkan kelalaian di dalam dirinya.
Padahal semua yang mereka kumpulkan, yang mereka banggakan, yang telah lama mereka kumpulkan dan mereka berlomba-lomba mengumpulkannya dengan letih dan Lelah ternyata tidak akan mereka bawa ke akhirat. Mereka tidak akan membawa barang ke akhirat, yang dibawa hanyalah amalan semata. Dalam sebuah hadits dari Qatadah, dari Mutharrif, dari ayahnya, ia berkata, “Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara beliau sedang membaca ayat “أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ” (sungguh berbangga-bangga telah melalaikan kalian dari ketaatan), lantas beliau bersabda,
يَقُولُ ابْنُ آدَمَ مَالِى مَالِى – قَالَ – وَهَلْ لَكَ يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلاَّ مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ
“Anak Adam berkata, “Hartaku-hartaku.” Beliau bersabda, “Bukankah hartamu yang kau miliki sesungguhnya wahai anak adam kecuali yang kau makan lalu habis, atau baju yang kau pakai lantas using, atau harta yang kau sedekahkan maka itulah yang tersisa (di akhirat)?” (HR Muslim no. 2958)
Sungguh benar hadits ini. Seorang manusia bisa saja mengumpulkan harta hingga milyaran atau trilyunan, akan tetapi hartanya yang benar-benar ia nikmati adalah yang ia makan atau yang ia pakai. Ini untuk manfaat dunia. Sisa hartanya yang begitu banyak sesungguhnya bukan ia yang menikmati. Bahkan seseorang yang sangat kaya dan memiliki puluhan mobil, toh jika ia ingin berkendaraan maka tidak mungkin ia menggunakan 20 mobil sekaligus, paling yang dia naiki hanya satu mobil.
Jika dihadapannya makanan yang begitu banyak dan begitu lezat berpuluh-puluh piring, toh ketika dia hendak makan maka ia hanya bisa makan sepiring atau dua piring, kapasitas perutnya tidak bisa mencakup semua makanan. Maka yang bisa ia makan itulah hartanya yang sesungguhnya.
Dalam suatu hadits Rasulullah bersabda:
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ ، يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ ، وَيَبْقَى عَمَلُهُ
“Yang mengikuti mayit sampai ke kubur ada tiga, dua akan kembali dan satu tetap bersamanya di kubur. Yang mengikutinya adalah keluarga, harta dan amalnya. Yang kembali adalah keluarga dan hartanya. Sedangkan yang tetap bersamanya di kubur adalah amalnya.” (HR. Bukhari, no. 6514; Muslim, no. 2960)
Hartanya akan dia tinggalkan, kekayaan yang selama ini susah payah dia kumpulkan akan dia tinggalkan, istrinya dan anak-anaknya akan dia tinggalkan. Satu-satunya hartanya yang akan menemaninya adalah amalannya dan harta yang selama ini dia sedekahkan itulah harta yang benar-benar akan menjadi miliknya di akhirat. Adapun harta yang dia tidak gunakan maka harta tersebut bukanlah miliknya. Nabi bersabda:
ﻳَﻘُﻮﻝُ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪُ ﻣَﺎﻟِﻰ ﻣَﺎﻟِﻰ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻟَﻪُ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﻟِﻪِ ﺛَﻼَﺙٌ ﻣَﺎ ﺃَﻛَﻞَ ﻓَﺄَﻓْﻨَﻰ ﺃَﻭْ ﻟَﺒِﺲَ ﻓَﺄَﺑْﻠَﻰ ﺃَﻭْ ﺃَﻋْﻄَﻰ ﻓَﺎﻗْﺘَﻨَﻰ ﻭَﻣَﺎ ﺳِﻮَﻯ ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﻬُﻮَ ﺫَﺍﻫِﺐٌ ﻭَﺗَﺎﺭِﻛُﻪُ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ
“Hamba berkata, ‘Harta-hartaku.’ Bukankah hartanya itu hanyalah tiga: yang ia makan dan akan sirna, yang ia kenakan dan akan usang, yang ia sedekahkan maka ia simpan (untuk akhiratnya). Dan harta selain itu maka akan sirna dan ia tinggalkan untuk orang lain” (HR. Muslim no. 2959)
Sebagaimana dalam sebuah hadits tatkala disembelih seekor kambing kemudian Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyuruh istri-istrinya untuk membagikan (daging) kambing tersebut kepada orang lain. Maka setelah dibagikan (daging) kambing tersebut Nabi bertanya kepada ‘Aisyah:
مَا بَقِيَ مِنْهَا؟ قَالَتْ مَا بَقِيَ مِنْهَا إِلَّا كَتِفُهَا. قَالَ بَقِيَ كُلُّهَا غَيْرَ كَتِفِهَا
“Wahai ‘Aisyah, bagian mana dari kambing tersebut yang masih tersisa?” Maka ‘Aisyah berkata: “Tidak ada yang tersisa kecuali hanya bagian pundak dari kambing.” Maka Nabi mengatakan: “Seluruh kambing tersisa kecuali pundak yang tersisa.” (HR. Tirmidzi no. 2470)
Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim berpikir cerdas. Apakah dia mengumpulkan harta untuk menjadi simpanannya atau untuk orang lain? Jika dia berpikir hartanya tersebut untuk dirinya, maka dia akan menggunakannya untuk sedekah di jalan Allah atau untuk perkara-perkara yang diridhai oleh Allah. Adapun hartanya yang bersisa di dunia hanya akan menjadi harta warisan untuk keluarganya.
Memang memperbanyak harta benar-benar melalaikan. Kita bisa bayangkan seseorang sudah memiliki rumah, lalu ia bangun rumah lagi bukan karena keperluan akan tetapi hanya untuk bermegah-megahan, bisa kita renungkan betapa banyak waktunya yang akan habis untuk membangun rumah tersebut?. Untuk memikirkan gambar rumahnya…, bahan bangunannya.., isi rumahnya…? Sebelumnya betawa waktunya habis untuk mencari lokasi tanahnya?. Belum lagi kalau ternyata ia membangun rumah tersebut dengan berhutang, maka setelah rumahnya jadi ia harus menyita waktu lagi memikirkan bagaimana membayar hutangnya. Ini bukti bahwa mengumpulkan harta memang sangat menyita waktu.
Kemudian Allah berfirman:
- حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ
“Sampai kamu menziarahi (masuk) ke kubur”
Yaitu hingga kalian meninggal lantas dikubur.
Saling berlomba-lomba untuk memperbanyak akan terus dia lakukan hingga kapan pun. Hanya kematian yang akan menghalanginya. Selama dia belum dikuburkan maka dia akan terus saling berlomba-lomba, karena memperbanyak adalah cita-citanya. Oleh karena itu, Nabi bersabda:
لَوْ أَنَّ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ ، وَلَنْ يَمْلأَ فَاهُ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu ia menginginkan dua lembah lainnya, dan sama sekai tidak akan memenuhi mulutnya (merasa puas) selain tanah (yaitu setelah mati) dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat.” (HR Bukhari no. 6439 dan Muslim no. 1048)
Pada ayat ini Allah mengungkapkan dengan kata “menziarahi kuburan”, ini adalah dalil bahwasanya alam barzakh itu hanya sementara. Yang namanya ziarah adalah beberapa hari saja. Setelah itu para penghuni kubur akan pulang ke tempat tinggalnya yaitu surga dan neraka. Seseorang yang dikuburkan selama 100 tahun atau 200 tahun atau bahkan 2000 tahun lalu dibandingkan dengan alam akhirat yang abadi maka dikubur hanya seperti ziarah baginya.
Kemudian Allah berfirman:
- كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ
“Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)”
Allah menegur mereka yang sibuk dengan dunia dan berlomba-lomba untuk saling memperberbanyaknya sehingga melalaikannya dari beribadah. Jika dia tetap saja melakukannya maka dia akan merasakan akibat dari perbuatannya, yaitu adzab kubur sebelum akhirnya akan diadzab juga di akhirat.
Ali bin Abi Tholib berkata :
كُنَّا نَشُكُّ فِي عَذَابِ الْقَبْرِ، حَتَّى نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ
“Kami tadinya ragu tentang adzab kubur hingga turunlah ayat ini” (Tafsir At-Thobari 24/600)
At-Thobari berkata,
وَفِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى صِحَّةِ الْقَوْلِ بِعَذَابِ الْقَبْرِ، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى ذِكْرُهُ، أَخْبَرَ عَنْ هَؤُلَاءِ الْقَوْمِ الَّذِينَ أَلْهَاهُمُ التَّكَاثُرُ، أَنَّهُمْ سَيَعْلَمُونَ مَا يَلْقَوْنَ إِذَا هُمْ زَارُوا الْقُبُورَ وَعِيدًا مِنْهُ لَهُمْ وَتَهَدُّدًا
“Ayat ini menunjukan akan benarnya peranyataan akan adanya adzab kubur, karena Allah mengabarkan tentang kaum yang terlalaikan oleh sikap bermegah-megahan bahwasanya mereka akan mengetahui apa yang akan mereka dapatkan jika mereka masuk kubur, sebagai ancaman dari Allah” (Tafsir At-Thobari 24/600)
Kemudian Allah mengulanginya lagi dengan berfirman:
- ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ
“Kemudian sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui”
Ini adalah ancaman setelah ancaman. Peringatan setelah peringatan. Kalian akan mengetahui akibat dari sikap kalian yang bermegah-megahan, bangga-banggaan, saling banyak-banyakan ketika kalian didatangi oleh kematian
Kemudian Allah berfirman:
- كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ
“Sekali-kali tidak! Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti”
Ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya, yaitu seandainya mereka mengetahui dengan pasti bagaimana itu neraka Jahannam tentu mereka akan meninggalkan sifat bermegah-megahannya tersebut. Mereka tidak akan berlomba-lomba dalam mencari dunia dan mereka akan menjaga dirinya agar tidak lalai dengan beribadah. (lihat Tafsir as-Sam’aani 6/276)
Kemudian Allāh berfirman:
- لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ
“Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim”
Ini adalah ancaman yang lain (Tasir al-Qurthubi 20/137), kalau ayat sebelumnya ancaman tentang adzab kubur -sebagaimana penjelasan at-Thobari- maka ayat ini berkaitan tentang ancaman pada hari kiamat kelak yaitu neraka jahiim. Diantara nama neraka adalah الجحيمُ yang maknanya adalahالنارُ الشَّدِيْدَةُ التأَجُّج api yang sangat kuat gejolaknya (lihat Lisanul ‘Arob 12/84)
Diantara nama-nama neraka yang lain adalah :
- جَهَنَّمُ, karena begitu jauh kedalamannya
- لَظَى , yang menunjukan nyala apinya
- السَّعِيْرُ , karena apinya dinyalakan
- سَقَر, karena panasnya apinya
- الْحَطَمَةُ, karena neraka menghancurkan dan melumat siapa yang memasukinya
- الْهَاوِيَةُ, karena orang yang dilemparkan kepadanya dalam kondisi jatuh dari atas ke bawah dalam kondisi kepala di bawah kaki di atas
Kemudian Allah berfirman:
- ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ
“Kemudian kamu benar-benar akan melihatnya dengan mata kepala sendiri”
Tentang pembagian keyakinan terhadap sesuatu, ada yang dinamakan ‘ilmul yaqin, ‘ainul yaqin, dan haqqul yaqin. ‘Ilmul yaqin adalah seseorang mengetahui sesuatu dengan penuh keyakinan namun hanya berupa berita dan belum melihatnya secara langsung. Misalnya, seseorang yang mengetahui dengan yakin adanya kota Mekkah dan Ka’bah meskipun dia belum pernah kesana untuk melihat langsung. Ketika akhirnya dia melihatnya secara langsung maka dinamakan ‘ainul yaqin. Dan ketika dia memegang Ka’bah maka dinamakan haqqul yaqin.
Seseorang yang mendengar tentang adanya surga dengan dalil-dalil yang banyak maka dia akan yakin bahwa surga itu benar adanya. Kemudian setelah dia di akhirat dia akan melihat surga tersebut maka dia mengetahuinya dengan ‘ainul yaqin yaitu yakin dengan penglihatan. Kemudian jika dia masuk ke dalam surga lalu memeluk bidadari, memakan buah-buahan dari surga, maka itulah haqqul yaqin.
Pada ayat ini Allah tidak menggunakan haqqul yaqin tetapi dengan ‘ainul yaqin. Sebagian ulama mengatakan bahwa hal tersebut karena ayat ini berkaitan dengan manusia secara umum baik muslim ataupun kafir. Karena setiap orang akan melewati neraka Jahannam yaitu melewati shirath yang terbentang di atas neraka Jahannam. Adapun yang haqqul yaqin terhadap neraka adalah orang-orang yang tidak mampu melewati shirath yaitu orang-orang yang kafir, sehingga dia terlempar ke dalamnya. Sedangkan orang yang beriman akan bisa melewati shirath, ada yang seperti cahaya, ada yang seperti hembusan angin, ada yang seperti kuda yang berlari, ada yang merangkak-rangkak sampai akhirnya selamat. Allah berfirman:
وَإِن مِّنكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا ۚ كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتْمًا مَّقْضِيًّا (71) ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوا وَّنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا (72)
“(71) Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan; (72) Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut.” (QS Maryam : 71-72)
Kemudian Allah berfirman:
- ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu)”
Pertanyaan tersebut umum mencakup segala kenikmatan yang kita rasakan. Allah akan menanyakan tentang kesehatan kita dilakukan untuk apa. Akan ditanyai pula tentang waktu luang telah dihabiskan untuk apa. Dua nikmat inilah yang manusia sering terperdaya di dalamnya. Nabi bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang”. (HR Bukhari no. 6412)
Dia memiliki kesehatan yang prima akan tetapi tidak dimanfaatkannya untuk memperbanyak ibadah padahal kelak akan datang masa tua dimana dia tidak akan memiliki kesehatan yang sama seperti saat muda dahulu. Demikian juga waktu luangnya tidak dimanfaatkannya dengan maksimal padahal kelak akan datang masa dimana waktu luangnya sedikit. Begitupun dengan nikmat-nikmat lainnya semua akan ditanyai oleh Allah. Bahkan kenikmatan berupa kurma yang dimakan atau air putih yang diminum akan ditanyai tentang keduanya.
Oleh karena itu, hendaknya mulai dari sekarang setiap hamba menyiapkan jawaban tentang dua pertanyaan yang akan ditanyakan kepadanya perihal harta dan kenikmatan yang ada pada dirinya. Dari mana dia mendapatkannya dan kemana dia menghabiskannya. Pertanyaan pertama saja betapa banyak manusia yang tidak bisa lolos darinya, orang-orang yang mencari harta dengan harta yang haram, dengan cara riba, menzhalimi orang lain, menipu orang bodoh, dan cara-cara haram lainnya. Seandainya dia selamat, masih ada tantangan selanjutnya yaitu kemana dia menghabiskan hartanya tersebut. Bisa jadi memperolehnya dengan jalan-jalan atau sumber-sumber yang halal. Tetapi dia menghabiskannya untuk foya-foya, jalan-jalan ke negara kafir, membeli sesuatu yang tidak perlu.
Diantara faidah berharga yang bisa dipetik dari kandungan surat At-Takatsur:
Pertama : disunnahkan untuk ziarah kubur agar tidak lalai dengan dunia
Diantara hal yang dapat membuat manusia tersadar akan hidupnya yang hanya sementara, hartanya yang tidak akan dibawa bersamanya ke kubur adalah menziarahi kubur. Dia akan memperhatikan bagaimana keadaan akhir dari orang-orang hebat, orang-orang kaya, semua berujung kepada kematian, mereka dikuburkan tanpa membawa kehebatan dan kekayaannya. Oleh karena itu Nabi memerintahkan ummatnya untuk menziarahi kuburan, beliau bersabda:
فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
“Maka berziarahlah kalian karena ziarah tersebut dapat mengingatkan kalian kepada kematian.” (HR Muslim no. 1622)
Bahkan Imam Al-Qurthubi menyebutkan dalam tafsirnya bahwasanya dianjurkan seseorang untuk mendatangi dan melihat orang yang sedang sakaratul maut. Hal ini dapat lebih membekas di dalam hati. Kita akan menyadari kemudian kita tidak akan terperdaya dengan kesehatan kita, tidak terperdaya dengan harta yang kita miliki, dan kita akan menyadari bahwasanya kita akan meninggal sebagaimana dia meninggal, bahkan dalam kondisi yang kita tidak sadari. Karenanya seorang penyair berkata:
تَزَوَّدْ مِنَ التَّقْوَى فَإِنَّكَ لاَ تَدْرِي … إِذَا جَنَّ لَيْلٌ هَلْ تَعِيْشُ إِلَى الْفَجْرِ
“Berbekallah engkau dengan ketaqwaan (karena) sesungguhnya engkau tidak tahu jika telah tiba malam hari apakah engkau masih bisa hidup hingga pagi hari.”
وَكَمْ مِنْ صَحِيْحٍ مَاتَ مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ … وَكَمْ مِنْ سَقِيْمٍ عَاشَ حِيْناً مِنَ الدَّهْرِ
“Betapa banyak orang sehat tiba-tiba meninggal (Allah cabut nyawanya) tanpa didahului sakit. Dan betapa banyak orang sakit parah disangka akan meninggal dunia ternyata masih hidup.”
Akan tetapi memang melihat orang yang sedang sakaratul maut tidak selalu mudah didapatkan. Berbeda dengan ziarah kubur maka bisa dilakukan setiap saat. Sehingga syari’at memerintahkan untuk sering berziarah kubur -tidak memerintahkan melihat kondisi sakaratul maut- karena berziarah kubur memang mudah dilakukan (lihat Tafsir al-Qurthubi 20/171)
Kedua : adanya keterkaitan antara syahwat dengan syubhat
Telah dimaklumi bahwa celaan Allah terhadap orang-orang lalai sebagaimana dalam surat ini ditujukan untuk orang-orang kafir yang berusaha menolak beriman terhadap hari kebangkitan. Mereka beriman kepada Allah tetapi mereka tidak mau beriman terhadap hari kebangkitan. Kesesatan ini diawali dari sikap mereka yang hanya ingin memuaskan syahwat dan hidup di dunia dengan sepuas-puasnya.
Seandainya mereka meyakini akan adanya hari kebangkitan niscaya mereka akan berhenti dari perilaku-perilaku pemuasan hawa nafsu semata. Tetapi karena ada syahwat yang ingin dipuaskannya maka hal itu mengantarkan mereka untuk menolak adanya hari kebangkitan. Tidak ada solusi lain bagi mereka kecuali itu.
Demikianlah keadaan manusia pada kebanyakannya, betapa banyak syariat yang ditolak gara-gara syahwat, gara-gara bertentangan dengan keinginan hawa nafsunya. Ketika datang larangan, dia mulai mencari-cari dalih pembenaran, lalu mencari syubhat-syubhat yang sesuai dengan keinginannya. Lihat saja sebagian orang yang melakukan perkara-perkara bid’ah atau perkara-perkara yang mungkar, ketika dia ditegur dengan dalil dia malah berusaha membantahnya. Dia tidak ingin meninggalkan perkara-perkara tersebut, karena itu adalah sumber mata pencahariannya atau itu adalah sumber-sumber kesenangannya.
Ambil contoh, seseorang yang telah mengakar dalam dirinya musik. Dia tidak tenang jika tidak mendengarkan musik. Ketika dikatakan padanya bahwasanya musik itu adalah haram menurut kesepakatan ulama empat madzhab dan telah jelas pula larangannya dari Rasulullah sebagaimana yang ada di dalam Shahih Bukhari yang tidak diragukan keshahihannya, dia justru berusaha mencari perkataan-perkataan ulama yang membolehkannya, padahal sudah jelas dalilnya. Semua itu karena dia dikuasai oleh hawa nafsunya, dia telah cinta buta dengan musik dan tidak bisa ditundukkan oleh dalil, sehingga mengantarkannya untuk menolak hukum tersebut.
Ketiga : Seseorang hendaknya selalu yakin bahwa seluruh hartanya akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah, sehingga tatkala ia mengumpulkan harta dan menyalurkannya dia siap untuk menjawab pertanyaan Allah pada hari kiamat. Maka hendaknya ia gunakan untuk semakin beribadah kepada Allah bukan untuk bermaksiat kepada Allah.
As-Sa’di rahimahullah berkata ;
الذي تنعمتم به في دار الدنيا، هل قمتم بشكره، وأديتم حق الله فيه، ولم تستعينوا به، على معاصيه، فينعمكم نعيمًا أعلى منه وأفضل. أم اغتررتم به، ولم تقوموا بشكره؟ بل ربما استعنتم به على معاصي الله فيعاقبكم على ذلك
“Nikmat yang kalian rasakan di dunia, apakah kalian telah mensyukurinya dan kalian menunaikan hak Allah?, kalian tidak menggunakannya untuk bermaksiat kepadanya?, maka Allahpun akan memberikan kenikmatan yang lebih tinggi lagi dan lebih baik bagi kalian (di surga kelak). Ataukah kalian terpedaya/terlalaikan dengan kenikmatan tersebut, sehingga kalian tidak mensyukurinya, bahkan kalian gunakan untuk bermaksiat kepada Allah, maka Allah akan mengadzab kalian atas sikap kalian tersebut” (Tafsir As-Sa’di hal 933)