Tafsir Surat Al-‘Adiyat
Para ulama berselisih pendapat tentang status surat Al-‘Adiyat, apakah tergolong Makkiyah atau Madaniyah. Sebagian ulama menyatakan bahwa surat Al-‘Adiyat adalah Makkiyah berdasarkan topik pembahasan surat ini. Karena surat ini berisi tentang kondisi-kondisi hari kiamat dimana pada hari kiamat nanti Allah akan membongkar seluruh rahasia yang tersimpan dalam dada-dada manusia. Sedangkan telah dimaklumi bahwasanya surat-surat yang berbicara tentang hari kiamat pada umumnya adalah surat Makkiyah.
Namun sebagian ulama yang lain menyatakan bahwasanya surat ini adalah surat Madaniyyah. Mereka berdalil bahwasanya Allah berbicara tentang peperangan pada surat ini, sebagaimana di awal-awal surat Allah bersumpah tentang kuda yang berlari kencang yang masuk dalam area peperangan. Sedangkan peperangan terjadi di saat Nabi sudah berpindah ke Madinah yaitu perang Badar. Adapun saat Nabi berada di Mekkah maka belum ada peperangan. Karena lemahnya kondisi yang dialami kaum muslimin saat di Mekkah.
Disebutkan bahwasanya surat Al-‘Adiyat memiliki dua nama, yaitu surat Al-‘Aadiyat itu sendiri, dan surat wal ‘aadiyati dhabha.
Para ulama juga mencoba membahas keterkaitan antara surat Al-‘Adiyat dengan surat sebelumnya yaitu surat Az-Zalzalah. Pada surat Az-Zalzalah, di dalamnya berisi sebuah kaidah yang agung yaitu, “Barang siapa yang melakukan kebaikan sedikitpun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa yang melakukan keburukan sedikitpun, niscaya dia juga akan melihat balasannya.” Sedangkan pada surat Al-‘Adiyat Allah menjelaskan lebih khusus untuk orang yang melakukan keburukan. Karena topik utama Al-‘Adiyat berputar pada keadaan orang yang sangat cinta terhadap hartanya kemudian dia tidak bersyukur kepada Allah. Kemudian kenikmatan yang diberikan kepada dirinya tidak digunakan untuk semakin bersyukur, namun malah menjadi orang yang pelit. Sehingga Allah mengingatkan dia dan membongkar isi hatinya.
Allah berfirman pada permulaan surat:
- وَالْعَادِيَاتِ ضَبْحًا
“Demi kuda perang yang berlari kencang terengah-engah”
وَالْعَادِيَاتِ diambil dari kata العَدْوُ yang dalam bahasa Arab artinya berlari dengan cepat. Sedangkan ضَبْحًا dalam bahasa Arab adalah suara yang keluar dari seekor kuda yang terengah-engah ketika berlari. Sehingga secara bahasa, makna ayat tersebut adalah, “Demi yang berlari dengan cepat sambil terengah-engah.” Pada ayat ini Allah tidak menjelaskan tentang maushuf (yang disifati) yaitu siapa yang terengah-engah, akan tetapi tentang sifat-nya yaitu berlari kencang dengan terengah-engah. Karenanya apa yang dimaksudkan dengan yang berlari terengah-engah pada ayat ini diperselisihkan oleh para ulama, bahkan dari kalangan sahabat Nabi. Ibnu Abbas berpendapat bahwasanya makna الْعَادِيَاتِ adalah kuda, yang berlari dengan cepat dan terengah-engah dalam peperangan. Dan ini pendapat jumhur ahli tafsir karena ayat ini berkaitan dengan kuda dengan meninjau ayat-ayat selanjutnya yang semuanya berkaitan dengan sifat-sifat kuda. Adapun Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’uud berpendapat bahwasanya makna الْعَادِيَاتِ adalah unta, yang berlari kencang untuk mengangkut para jamaah haji. (lihat Tafsir al-Baghowi 8/505, Al-Muharror al-Wajiiz 5/513, dan dan Fathul Baari 8/728)
Perselisihan seperti ini banyak terjadi di dalam tafsir, dan kebanyakannya adalah khilaf tanawwu’ yaitu perselisihan yang bervariasi dan tidak saling kontradiksi. Berbeda halnya dalam masalah fiqih dan amalan, kebanyakannya adalah khilaf tadhad yaitu perselisihan yang bertentangan. Karenanya sebagian ahli tafsir -seperti Ibnu ‘Atiyyah rahimahullah- menganggap bahwa kedua tafsiran di atas benar, yaitu وَالْعَادِيَاتِ bisa ditafsirkan dengan kuda atau unta atau keduanya sekaligus (lihat Al-Muharror al-Wajiiz 5/513)
Kemudian Allah berfirman:
- فَالْمُورِيَاتِ قَدْحًا
“Dan kuda yang memercikkan bunga api (dengan pukulan kuku kakinya)”
Seekor kuda yang berlari dengan cepat lalu kuku-kukunya mengenai batu menyebabkan suatu efek yang muncul yaitu keluarnya percikan-percikan api. Dan sifat seperti itu hanya muncul pada kuda, tidak pada unta. Adapun unta tatkala ia berjalan dengan cepat maka ia melontarkan batu dan kerikil sehingga saling berbenturan dan menimbulkan percikan api (lihat al-Muharror al-Wajiiz 5/513)
Kemudian Allah berfirman:
- فَالْمُغِيرَاتِ صُبْحًا
“Dan kuda yang menyerang (dengan tiba-tiba) pada waktu pagi”
Pagi adalah waktu yang sangat tepat untuk menyerang. Saat itu musuh dalam keadaan lalai. Ditambah yang melakukan penyerangan adalah pasukan berkuda. Strategi ini sangat bermanfaat dalam perperangan.
Adapun menurut tafsir Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud maka maksud ayat ini adalah unta yang berjalan dengan cepat di pagi hari dari Mudzalifah menuju Mina. Sebagaimana yang telah dimaklumi bahwa seseorang yang sedang melakukan ibadah haji maka dia keluar dari Mudzalifah di waktu pagi hari. Setelah shalat Shubuh dia berdiam di Mudzalifah (atau yang dikenal dengan Masy’aril haram) sesaat untuk berdoa kepada Allah sampai matahari mulai menguning lalu berjalan menuju Mina. Dan demikianlah sunnah yang sepatutnya dihidupkan. Allah berfirman:
فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ
“Maka apabila kamu bertolak dari Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram.” (QS Al-Baqarah: 198)
Kemudian Allah berfirman:
- فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا
“Sehingga menerbangkan debu”
Kuda-kuda yang masuk ke dalam medan peperangan dengan gerakan yang sangat cepat menyebabkan debu-debu itu beterbangan. Demikian unta-unta juga dalam gerakannya menimbulkan debu-debu yang beterbangan.
Kemudian Allah berfirman:
- فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا
“Lalu menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh”
Artinya kuda tersebut mengantarkan pasukan masuk ke tengah-tengah barisan musuh dan bertempur dengan mereka. Adapun jika mengikuti penafsiran Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud, maka unta itu masuk ke tengah جَمْعٌ jam’u, dan jam’u adalah salah satu nama dari Mudzalifah, tempat orang-orang berkumpul disitu. Nabi bersabda:
وَوَقَفْتُ هَاهُنَا وَجَمْعٌ كُلُّهَا مَوْقِفٌ
“Dan aku wukuf pula di Muzdalifah, dan jam’u (Muzdalifah) seluruhnya adalah tempat wukuf.” (HR Muslim no.2138)
Ayat-ayat ini berkaitan dengan sifat-sifat kuda perang. Allah bersumpah dengan sifat-sifat tersebut untuk menekankan bahwasanya manusia itu sifatnya ingkar. Kemudian Allah berfirman:
- إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ
“Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar (tidak bersyukur) kepada Tuhannya”
Sebagian ulama berusaha menjelaskan hubungan sumpah-sumpah tersebut yang menggunakan sifat-sifat kuda dengan sifat-sifat manusia yang ingkar. Mereka mengatakan bahwa Allah menginginkan agar manusia memperhatikan keadaan kuda yang memiliki sifat taat. Jika kuda tersebut diberi kenikmatan oleh tuannya maka dia akan berterima kasih kepada tuannya walaupun kenikmatan itu sedikit. Kuda-kuda tersebut dirawat, diberikan kandang sendiri, diberi makan dan minum oleh tuannya. Sehingga ketika tuannya memerintahkannya pergi berperang maka mereka patuh dan ikut pergi. Bahkan ketika dia harus masuk ke tengah-tengah pertempuran demi untuk mengantarkan tuannya menuju kemenangan maka dia akan melakukannya.
Berbeda halnya dengan keadaan manusia yang bahkan diberi berbagai macam kenikmatan mereka tetap ingkar dan kufur terhadap Rabbnya yang memberikan kenikmatan.
Al-Hasan al-Bashri berkata tentang ayat ini :
هُوَ الْكُفُورُ الَّذِي يَعُدُّ الْمَصَائِبَ، وَيَنْسَى نِعَمَ رَبِّهِ
“الكَنُوْدُ adalah orang yang menghitung-hitung (mengingat-ingat) musibah dan melupakan kenikmatan dan anugrah dari Rabbnya” (Tafsir At-Thobari 24/585)
Al-Fudhoil bin ‘Iyaad berkata :
الْكَنُودُ” الَّذِي أَنْسَتْهُ الْخَصْلَةُ، الْوَاحِدَةُ مِنَ الْإِسَاءَةِ الْخِصَالَ الْكَثِيرَةَ مِنَ الْإِحْسَانِ، وَ”الشَّكُورُ”: الَّذِي أَنْسَتْهُ الْخَصْلَةُ الْوَاحِدَةُ مِنَ الْإِحْسَانِ الْخِصَالَ الْكَثِيرَةَ مِنَ الْإِسَاءَةِ
“الكَنُوْدُ adalah orang satu sikap buruh saja maka telah menjadikannya melupakan kebaikan yang banyak. Dan الشَّكُورُ “yang pandai bersyukur/berterima kasih” adalah yang satu kebaikan membuatnya lupa dengan banyaknya keburukan” (Tafsir al-Baghowi 8/509)
Orang yang seperti ini kerjaannya selalu mengeluh. Ketika ia sakit seminggu saja maka iapun selalu mengeluh, ia lupa bahwa selama ini berbulan-bulan bahkan mungkin setahun ia telah diberi kenikmatan sehat oleh Allah. Sebagaimana juga seeorang yang diberi kesulitan ekonomi setahun lantas ia selalu mengeluh, dia lupa padahal selama ini bertahun-tahun lamanya Allah selalu memberikan kepadanya kelapangan ekonomi.
Dalam sebagian pendapat disebutkan bahwa Nabi Ayub ‘alaihis salam sakit selama 7 tahun, bahkan begitu parahnya sampai keluar ulat dari dagingnya. Akan tetapi beliau bersabar dan ketika ada orang yang berkata kepadanya, “Mintalah kesembuhan kepada Allah” maka Ayub ‘alaihis salam berkata :
أَقَمْتُ فِي النَّعِيمِ سَبْعِينَ سَنَةً وَأُقِيمُ فِي الْبَلَاءِ سَبْعَ سِنِينَ وَحِينَئِذٍ أَسْأَلُهُ فَقَالَ:” أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ”
“Aku telah berada dalam kenikmatan dari Allah selama 70 tahun, dan sekarang aku berada dalam ujian selama 7 tahun, maka sekarang aku memohon kepada Allah “Ya Allah sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang” (lihat Tafsir Al-Qurthubi 11/324)
Kemudian Allah berfirman:
- وَإِنَّهُ عَلَىٰ ذَٰلِكَ لَشَهِيدٌ
“Dan sesungguhnya dia (manusia) menyaksikan (mengakui) keingkarannya”
Para ulama terbagi menjadi dua pendapat tentang dhamir “kata ganti” هُ “dia” pada firmanNya وَإِنَّهُ “dan sesungguhnya dia” kembali kemana? Maksudnya siapa?. Sebagian ulama mengatakan kembali ke Allah, sehingga makna ayat menjadi, “Sesungguhnya Allah menyaksikan pengingkaran tersebut” yaitu Allah menyaksikan sikap-sikap mereka yang ingkar, tidak bersyukur, lalai beribadah. (Dan ini adalah pendapat mayoritas ahli tafsir)
Sebagian ulama yang lain berpandangan bahwa dhamir “kata ganti” هُ pada وَإِنَّهُ kembali kepada manusia itu sendiri, sehingga makna ayat menjadi, “Sesungguhnya manusia itu tahu dan menyaksikan sendiri akan keingkarannya.” (lihat Tafsir al-Baghowi 8/509)
Persaksiaan tersebut kadang dalam bentuk perkataan kadang dalam bentuk perbuatan. Misalnya dengan perkataan yaitu seseorang yang apabila diberi nikmat oleh Allah, dia tidak mengucap kalimat syukur, sehingga menunjukkan dia ingkar kepada Allah. Contoh lain seperti seseorang yang apabila diberi nikmat dia justru menisbatkan nikmat tersebut kepada dirinya, seakan-akan dia sendiri yang mengusahakan datangnya nikmat tersebut. Sebagaimana yang terjadi pada Qarun. Ketika dia diberi harta yang banyak oleh Allah dia malah berkata:
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِندِي ۚ
“Dia (Qarun) berkata, ‘Sesungguhnya aku diberi (harta itu) semata-mata karena ilmu yang ada padaku’.” (QS Al-Qashash : 78)
Hendaknya seorang muslim apabila diberikan anugerah oleh Allah dia tidak bersombong lantas mengatakan bahwa itu semua adalah karena usahanya, kecerdasannya, berkat keahlian dan pengalamannya semata karena ini adalah bentuk tidak bersyukur kepada Allah. Tetapi hendaknya dia menyandarkannya kepada Allah.
Persaksian tersebut kadang pula berbentuk perbuatan. Seperti apabila seseorang diberi kenikmatan, dia lantas menghabiskannya dalam kepentingan yang tidak bermanfaat dan melakukan hal yang sia-sia, atau bahkan dia habiskan untuk melakukan sesuatu yang haram. Kemudian ketika diberi kesulitan oleh Allah dia justru pergi ke kuburan dan meminta kepada penghuni kubur tersebut, bukan kepada Allah.
Kemudian Allah berfirman:
- وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
“Dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan”
Makna الْخَيْرِ pada ayat ini adalah harta. Secara bahasa الْخَيْرِ artinya kebaikan, harta dinamakan kebaikan karena demikianlah keadaan manusia, mereka menganggap bahwasanya harta adalah kebaikan. Padahal hakikatnya harta tidak selalu begitu, bisa jadi ia menjadi keburukan, jika harta tersebut tidak digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat.
Ibnu Zaid berkata :
فَسَمَّاهُ اللَّهُ خَيْرًا، لِأَنَّ النَّاسَ يُسَمُّونَهُ خَيْرًا فِي الدُّنْيَا، وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَبِيثًا
“Allah menamakan harta dengan خَيْرًا “kebaikan” karena manusia menamakan harta dengan demikian “kebaikan” di dunia, dan bisa jadi harta tersebut menjadi keburukan” (Tafsir At-Thobari 24/589)
Bahkan manusia menjadikan barometer untuk mengukur kemuliaan seseorang adalah dengan harta. Jika ada orang kaya raya maka ia pasti dihormati, karena menurut manusia harta adalah kebaikan. Padahal bisa jadi si kaya tersebut adalah orang yang terhina di sisi Allah jika ia menggunakan hartanya pada hal-hal yang haram.
Allah juga mengungkapkan harta dengan kata الْخَيْرِ pada ayat yang lain seperti firman Allah:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ
“Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang diantara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 180)
Allah mengatakan bahwasanya manusia itu sangat cinta terhadap harta, dan demikianlah sifat dasar manusia. Hampir tidak ada diantara manusia yang tidak menyukai harta. Harta itu indah dan lezat, wajar jika manusia mencintainya. Karenanya kadang dijumpai sebagian manusia yang rela mengorbankan segalanya demi segepok uang, dia rela memperebutkan harta warisan, dia rela memutus silaturrahmi demi mengedepankan uang, bahkan ada yang rela menjual agamanya (murtad) demi harta. Nabi bersabda:
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ، وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ، وَعَبْدُ الخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ
“Celakalah hamba dinar, hamba dirham, hamba khamisah (yaitu kain yang halus dan mahal). Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah.” (HR Bukhari no. 2887)
Dimaklumi bahwa hidup di dunia ini tidak akan mungkin kecuali dengan adanya harta, dan manusia ketika berjalan menuju akhirat dia harus melewati dunia. Namun apabila harta telah menjadi puncak cita-cita dan tujuan utamanya maka pada saat itu manusia itu menjadi tercela. Oleh karena itu, Nabi selalu memohon kepada Allah agar tidak menjadikan dunia sebagai puncak tujuannya. Beliau bersabda:
وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا
“Ya Allah, jangan Engkau jadikan dunia sebagai puncak cita-cita kami.” (HR Tirmidzi no. 3502)
Sebagian ulama menafsirkan ayat ini bahwa maksudnya adalah manusia itu sangat bakhil karena sangat cintanya ia terhadap hartanya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Allah berfirman dalam surat Al-Fajr ayat 17-20 :
كَلَّا ۖ بَل لَّا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ (17) وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ (18) وَتَأْكُلُونَ التُّرَاثَ أَكْلًا لَّمًّا (19) وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا (20)
“(17) Sekali-kali tidak! Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim; (18) Dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin; (19) Sedangkan kamu memakan harta warisan dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang haram); (20) Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS Al-Fajr : 17-20)
Oleh karena itu, kecintaan terhadap harta yang sangat besar bisa membuat seseorang menjadi bakhil, apabila dia mengeluarkan harta dia akan merasa sangat berat. Bahkan tidak hanya seseorang itu bakhil terhadap orang lain sehingga apabila ada orang yang meminta kepadanya niscaya dia tidak akan memberikannya, tetapi ada juga orang yang bakhil terhadap dirinya sendiri. Orang seperti ini jika dia mempunyai harta maka demi kemaslahatan dirinya sendiri saja dia tidak rela mengorbankan hartanya. Jika dia membeli pakaian maka dia akan membeli pakaian yang murah, jika dia membeli kendaraan maka dia akan membeli kendaraan yang pas-pasan, padahal dia mampu dan dia butuh yang lebih dari itu. Sikap tersebut hanya akan membuat dirinya menderita, bahkan keluarganya terkena dampaknya padahal dia adalah orang yang kaya raya. Semua itu karena kebakhilan yang ada pada dirinya.
Mencintai harta adalah sifat manusiawi, namun handaknya tidak berlebih-lebihan hingga menjadikannya sebagai tujuan utama. Benarlah perkataan sebagian orang, “Peganglah harta itu di tanganmu akan tetapi jangan masukkan ke dalam hatimu.”
Kemudian Allah berfirman:
- أَفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ
“Maka tidakkah dia mengetahui apabila apa yang di dalam kubur dikeluarkan”
Pada ayat ini Allah tidak menyebutkan maf’ul bih (obyek) dari kata kerja يَعْلَمُ (mengetahui). Salah satu diantara kaidah ilmu tafsir yaitu jika maf’ul bih dari suatu predikat tidak disebutkan (padahal seharusnya ada) maka menghasilkan faidah keumuman. Sehingga sebagian ahli tafsir memberikan penjelasan bahwa ayat ini kurang lebih bermakna, “Apakah dia tidak mengetahui segala perkara yang Allah bongkar pada hari kiamat yang membuat dia akan takut, ketika Allah membongkar kebakhilannya, pengingkarannya, kemaksiatannya, dan lain-lain.”
Kemudian Allah berfirman:
- وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ
“Dan apa yang tersimpan di dalam dada dikeluarkan”
Pada hari akhir nanti, seluruh yang tersimpan di dalam dada manusia semuanya akan dibongkar oleh Allah tanpa terkecuali.
Sebagai contoh, orang yang beriman kepada hari akhir dia akan berhati-hati dari sifat pelit. Karena Nabi pernah bersabda:
وَلاَ يَجْتَمِعُ الشُّحُّ وَالإِيمَانُ فِي قَلْبِ عَبْدٍ أَبَدًا
“Tidak akan berkumpul sifat kikir dan keimanan dalam hati seorang hamba selama-lamanya.” (HR An-Nasa’i no. 3110)
Dia mengetahui bahwasanya semakin pelit seseorang maka ada yang bermasalah pada imannya. Maka dia akan melatih dirinya untuk terus menerus berinfaq. Dia tahu bahwa apa yang dia infaqkan justru itulah tabungannya di akhirat. Dalam sebuah hadits tatkala disembelih seekor kambing kemudian Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyuruh istri-istrinya untuk membagikan (daging) kambing tersebut kepada orang lain. Maka setelah dibagikan (daging) kambing tersebut Nabi bertanya kepada ‘Aisyah:
مَا بَقِيَ مِنْهَا قَالَتْ مَا بَقِيَ مِنْهَا إِلَّا كَتِفُهَا قَالَ بَقِيَ كُلُّهَا غَيْرَ كَتِفِهَا
“Wahai ‘Aisyah, bagian mana dari kambing tersebut yang masih tersisa?” Maka ‘Aisyah berkata: “Tidak ada yang tersisa kecuali hanya bagian pundak dari kambing.” Maka Nabi mengatakan: “Seluruh kambing tersisa kecuali pundak yang tersisa.” (HR. Tirmidzi no. 2470)
Harta yang disumbangkan itulah yang bersisa di akhirat. Adapun harta yang tidak disumbangkan maka dia akan hilang tak bersisa, sirna bersama sirnanya dunia. Tidak akan ada harta sedikit pun yang dia bawa, dia akan dibangkitkan oleh Allah dalam keadaan tidak ada harta sama sekali. Jangankan harta yang banyak, sementara harta yang sangat sedikit yaitu baju untuk menutup tubuhnya ia tidak miliki, demikian sendal untuk digunakan kakinya iapun tidak memiliki. Nabi bersabda:
يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلاً بُهْمًا
“Manusia akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak dalam keadaan tidak memakai alas kaki, telanjang bulat, tidak dikhitan, tidak membawa apapun.” (HR Muslim no. 5102)
Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim tidak terperdaya oleh dunia, buat apa mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya jika tidak bisa merasakan kenikmatan kenikmatannya di akhirat.
Kemudian Allah berfirman:
- إِنَّ رَبَّهُمْ بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَخَبِيرٌ
“Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui terhadap keadaan mereka”
خَبِيرٌ dalam bahasa Arab lebih spesifik daripada عَلِيْمٌ yang lebih umum maknanya. Karena خَبِيرٌ maknanya adalah benar-benar mengetahui secara detail, yaitu mengetahui perkara-perkara kecil dan pelik. Oleh karena itu, dapat dijumpai di dalam Al-Quran beberapa ayat yang menggunakan ungkapan خَبِيرٌ. Seperti firman Allah:
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah : 271)
Seperti dalam ayat di atas, Allah menggunakan خَبِيرٌ yang menunjukan Allah maha teliti, Allah mengetahui mana sedekahmu yang terang-terangan dan mana sedekahmu yang sembunyi-sembunyi yang tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah.
Allah juga berfirman dalam ayat yang lain:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُوْنَ
“Katakanlah kepada para lelaki yang beriman agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Mengetahui dengan apa yang mereka perbuat.” (QS An-Nur : 30)
Seperti dalam ayat di atas, Allah menggunakan خَبِيرٌ yang ditujukan untuk orang-orang dengan pandangan matanya. Karena seseorang yang sedang melirik, maka orang lain tidak akan melihatnya. Akan tetapi Allah Maha Mengetahui apa yang dia perbuat, bahkan lirikan matanya yang sedikit.
Demikian pula dalam ayat ini Allah menggunakan ungkapan خَبِيرٌ yang berkaitan dengan perkara-perkara detail yang rinci yang disembunyikan oleh manusia di dalam dada-dadanya, maka semuanya akan dibongkar oleh Allah dan Allah akan menampakkan itu semua pada hamba-hambanya pada hari kiamat kelak.