Tafsir Surat Al-Bayyinah
Para ulama berselisih pendapat tentang status surat Al-Bayyinah, apakah tergolong Makkiyah atau Madaniyah. Jumhur ulama berpendapat bahwa surat ini adalah surat Madaniyyah, dan sebagian ulama yang lain berpedapat bahwa surat ini adalah surat Makiyyah. Hal ini karena di Mekkah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya berinteraksi dengan orang-orang musyrikin dan orang-orang Jahiliyah saja. Adapun dalam surat ini Allah berbicara tentang Ahlul Kitab, sedangkan Nabi tidaklah berinteraksi dengan mereka kecuali ketika beliau sudah di Madinah. Karena setibanya beliau di Madinah, disana telah menetap orang-orang Anshar dari suku Al-Aus dan Al-Khazraj yang sebelumnya merupakan penyembah berhala dan juga orang-orang Yahudi dari Bani Nadhir, Bani Quraidzah, dan Bani Qainuqa’.
Pada asalnya orang-orang Yahudi tidak tinggal di kota Madinah, akan tetapi setelah mereka mendapat kabar di dalam kitab Taurat bahwasanya akan diutus seorang Nabi terakhir dan tempat hijrah Nabi tersebut adalah di suatu tempat yang banyak kebun kurmanya, maka mereka mencari tempat tersebut dan akhirnya ditemukanlah kota Madinah, lalu mereka menetap disana menunggu Nabi tersebut. Mereka juga sangat mengetahui sifat-sifat Nabi terakhir yang akan diutus tersebut. Allah berfirman:
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ
“Orang-orang yang telah Kami beri kitab (Taurat dan Injil) mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri.” (QS Al-Baqarah : 146)
Mereka menduga bahwasanya Nabi terakhir tersebut dari kalangan Bani Israil, sebagaimana Nabi-Nabi sebelumnya. Nabi Ibrahim memiliki dua anak yaitu Ishaq dan Ismail. Ishaq memiliki anak yaitu Ya’kub yang kemudian dijuluki Israil. Dari Ya’kub inilah kemudian lahir semua Nabi setelahnya, mulai dari Nabi Yusuf hingga Nabi Isa, sehingga semua Nabi tersebut adalah keturunan Bani Israil. Adapun Ismail tidak memiliki keturunan yang menjadi Nabi kecuali Nabi Muhammad. Orang-orang Yahudi pun menantikan kedatangan Nabi yang terakhir yang mereka tahu bahwasanya Nabi tersebut akan mendatangkan kejayaan dan kemenangan. Kaum Yahudi sering sesumbar kepada orang-orang Anshar, mereka mengatakan, “Wahai kaum Anshar, akan diutus Nabi terakhir dan kami akan bersama Nabi tersebut untuk melawan kalian.”
Tetapi ternyata Nabi tersebut terlahir dari bangsa Arab, sehingga mereka pun kafir kepada Nabi tersebut disebabkan hasad karena Nabi tersebut bukan dari Bani Israil. Allah berfirman:
وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ
“.. Sedangkan sebelumnya mereka (yaitu orang-orang yahudi) memohon kemenangan atas orang-orang kafir (yaitu kaum anshor tatkala masih kafir), ternyata setelah sampai kepada mereka apa yang telah mereka ketahui itu, mereka mengingkarinya. Maka laknat Allah bagi orang-orang yang ingkar.” (QS Al-Baqarah: 89)
Namun justru kaum Anshar lah (yaitu suku al-Aus dan al-Khozroj) yang beriman kepada Nabi yang di kemudian hari akan menyertai Nabi dalam memerangi Yahudi.
Kaum Anshor berkata :
كُنَّا قَدْ عَلَوْنَاهُمْ دَهْرًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، وَنَحْنُ أَهْلُ الشِّرْكِ، وَهُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ، فَكَانُوا يَقُولُونَ: إِنَّ نَبِيًّا الْآنَ مَبْعَثُهُ قَدْ أَظَلَّ زَمَانُهُ، يَقْتُلُكُمْ قَتْلَ عَادٍ وَإِرَمَ. فَلَمَّا بَعَثَ اللَّهُ تَعَالَى ذِكْرُهُ رَسُولَهُ مِنْ قُرَيْشٍ وَاتَّبَعْنَاهُ كَفَرُوا بِهِ
“Kami (kaum Anshor) dahulu mengalahkan kaum yahudi beberapa lama di zaman jahiliyah, dan ketika itu kami masih musyrik sementara mereka ahlul kitab. Mereka dahulu berkata, “Sungguh seorang nabi sekarang sudah hampir tiba pengutusannya, ia akan membunuhi kalian sebagaimana dibinasakannya kaum ‘Aad dan Irom”. Tatkala Allah mengutus RasulNya dari suku Quraisy justru kami (kaum Anshor) yang mengikutinya sementara mereka kafir kepadanya” (Tafsir At-Thobari 2/237)
Inilah alasan mengapa jumhur ulama memasukkan surat Al-Bayyinah ke dalam golongan surat Madaniyyah.
Surat Al-Bayyinah juga mempunyai beberapa nama selain Al-Bayyinah, seperti: surat Al-Qayyimah, surat Munfakkin, surat Ahlul Kitab, surat Lam Yakunilladzina Kafaru. Sebagaimana dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Nabi pernah berkata kepada Ubay bin Ka’ab:
إِنَّ اللَّهَ أَمَرَنِي أَنْ أَقْرَأَ عَلَيْكَ {لَمْ يَكُنْ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ}”. قَالَ: وَسَمَّانِي؟! قَالَ: “نَعَمْ”، فَبَكَى.
“Sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk membacakan kepadamu surat ‘Lam Yakunilladzina Kafaru’.” Ubay berkata, “Dia (Allah) menyebut namaku, wahai Rasulullah,” Nabi menjawab. “Iya.” Ubay pun menangis. (HR Bukhari no. 4959)
Allah berfirman pada permulaan surat:
- لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّىٰ تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
“Orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan (agama mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata”
Para ulama terbagi dalam beberapa pendapat tentang tafsir ayat ini. Diantara pendapat tersebut adalah:
Pertama, bahwasanya Ahli kitab dan kaum musyrikin tidak akan melepaskan diri dari kesyirikan sampai datang bukti yang nyata. Yaitu setelah datang bukti yang nyata dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka sebagian mereka beriman kepada Nabi dan melepaskan kesyirikan mereka.
Kedua, bahwasanya Ahli kitab dan kaum musyrikin tidak meninggalkan pujian-pujian terhadap Nabi sampai Muhammad datang mengaku Nabi. Karena sebelumnya orang-orang Yahudi memuji Nabi karena mereka meyakini Nabi tersebut akan datang dari kaum mereka. Kaum musyrikin juga memuji Nabi karena mereka mengenal Nabi sebagai orang yang memiliki sifat Ash-Shadiq Al-Amin (jujur dan terpercaya). (lihat Tafsir al-Qurthubi 20/141)
Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الْبَطْحَاءِ فَصَعِدَ إِلَى الْجَبَلِ فَنَادَى يَا صَبَاحَاهْ فَاجْتَمَعَتْ إِلَيْهِ قُرَيْشٌ فَقَالَ أَرَأَيْتُمْ إِنْ حَدَّثْتُكُمْ أَنَّ الْعَدُوَّ مُصَبِّحُكُمْ أَوْ مُمَسِّيكُمْ أَكُنْتُمْ تُصَدِّقُونِي قَالُوا نَعَمْ قَالَ فَإِنِّي نَذِيرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَيْ عَذَابٍ شَدِيدٍ فَقَالَ أَبُو لَهَبٍ أَلِهَذَا جَمَعْتَنَا تَبًّا لَكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ إِلَى آخِرِهَا
Dari Ibnu Abbas bahwa suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju Bathha`, kemudian beliau naik ke bukit seraya berseru, “Wahai sekalian manusia.” Maka orang-orang Quraisy pun berkumpul. Kemudian beliau bertanya, “Bagaimana, sekiranya aku mengabarkan kepada kalian, bahwa musuh (di balik bukit ini) akan segera menyergap kalian di pagi hari atau di sore hari, apakah kalian akan membenarkanku?” Mereka menjawab, “Ya.” Beliau bersabda lagi, “Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian sebelum datang adzab yang pedih.” Maka Abu Lahab pun berkata, “Apakah hanya karena itu kamu mengumpulkan kami? Sungguh kecelakanlah bagimu.” Maka Allah menurunkan firman-Nya: “TABBAT YADAA ABII LAHAB..” Hingga akhir ayat.” (HR Bukhari no. 4972 dan Muslim no. 208)
Jadi mereka akan terus memuji Nabi dan tidak akan meninggalkan pujian tersebut, melainkan setelah Nabi datang dan mengumumkan bahwasanya dirinya adalah seorang Nabi, barulah mereka mencela.
Ayat ini juga menjadi dalil bahwasanya seluruh ahli kitab dan kaum musyrikin keduanya adalah orang kafir. Selain itu, ahli kitab itu sendiri juga telah berbuat kesyirikan. Kaum musyrikan pada zaman Nabi adalah kaum penyembah berhala dan penyembah api (orang-orang Majusi). Sedangkan kesyirikan ahli kitab berbeda, orang-orang Yahudi mengatakan bahwa Uzair adalah anak Allah, mereka menyamakan antara Allah dengan makhluk dengan mengatakan tangan Allah terbelenggu, mereka juga mengatakan Allah miskin. Orang-orang Nasrani mengatakan Allah adalah satu dari yang tiga, mereka juga mengatakan bahwa Isa adalah anak Allah, dan berbagai macam perilaku-perilaku dan kesyirikan-kesyirikan mereka yang Allah kabarkan dalam Al-Quran.
Namun dalam ayat ini Allah membedakan antara kaum musyrikin (penyembah berhala) dan ahlul kitab (kaum Yahudi dan Nasrani), karena masing-masing mempunyai hukum yang khusus yang tidak sama dengan lainnya. Ahli kitab asalnya memiliki kitab suci, Yahudi punya Kitab Taurat dan Nasrani punya Kitab Injil. Sehingga hukum yang berlaku kepada mereka berbeda dengan hukum yang berlaku pada kaum musyrikin. Diantaranya, sembelihan ahli kitab halal untuk dimakan sebagaimana sembelihan kaum muslimin, sementara tidak halal sembelihan kaum musyrikin. Allah berfirman tentang sembelihan ahli kitab:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) ahli kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman.” (QS Al-Maidah : 5)
Wanita ahli kitab dari Yahudi dan Nasrani juga boleh dinikahi oleh laki-laki muslim dengan syarat wanita tersebut adalah wanita yang menjaga diri (bukan pezina). Allah berfirman:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَاب مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
“Dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan.” (QS Al-Maidah : 5)
Adapun menikahi wanita-wanita musyrik hukumnya tidak boleh. Allah berfirman:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya hamba sahaya yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu.” (QS Al-Baqarah : 221)
Oleh karena itu, Allah membedakan antara ahli kitab dan kaum musyrikin karena kesyirikan ahli kitab dan kesyirikan kaum musyrikin pada zaman itu berbeda sehingga hukum yang berlaku diantara mereka juga berbeda.
Kemudian Allah berfirman:
- رَسُولٌ مِنَ اللَّهِ يَتْلُو صُحُفًا مُطَهَّرَةً
“(Yaitu) seorang rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang suci (Al-Quran)”
الْبَيِّنَةُ “Bukti yang jelas” tersebut adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ditambah beliau merupakan utusan Allah dan beliau juga mendatangkan lembaran-lembaran yang disucikan yaitu Al-Quran.
Berdasarkan ayat ini, karena Al-Quran disebut lembaran-lembaran yang disucikan maka kata para ulama, Al-Quran tidak mungkin ada kebathilan di dalamnya. Allah berfirman:
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ ۖ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
“(yang) tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang (pada masa lalu dan yang akan datang) yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.” (QS Fushilat : 42)
Allah juga berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Quran, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (QS Al-Hijr : 9)
Oleh karena itu, Al-Quran itu tidak mungkin ada kebathilan dan tidak pula ada perubahan di dalamnya selama-lamanya. Berbeda dengan kitab Taurat dan Injil yang tidak dijamin oleh Allah untuk menjaganya, bahkan Allah menyerahkan penjagaan kitab tersebut kepada para pendeta. Allah berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ ۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ ۚ
“Sungguh Kami yang menurunkan Taurat, di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan kitab itu para Nabi yang berserah kepada Allah memberi putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya.” (QS Al-Maidah : 44)
Allah menugaskan mereka untuk menjaga Taurat dan Injil. Akan tetapi mereka tidak menjaganya, mereka malah merubahnya. Allah berfirman:
فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُون
“Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka (sendiri), kemudian berkata, ‘Ini dari Allah’ (dengan maksud) untuk menjualnya dengan harga yang murah. Maka celakalah mereka, karena tulisan tangan mereka, dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat.” (QS Al-Baqarah : 79)
Sampai-sampai Allah menyebutkan kecelakaan sebanyak tiga kali akibat ulah mereka. Mereka berani mengubah ayat Allah dari asalnya. Dan benar dijumpai banyaknya kontradiksi-kontradiksi satu sama lain isi dari Injil. Berbeda dengan Al-Quran yang terjamin keotentikannya sejak diturunkan hingga sekarang dan akan datang. Bahkan barang siapa yang meyakini adanya perubahan di dalam Al-Quran, maka itu adalah salah satu bentuk dari kekufuran.
Kemudian Allah berfirman:
- فِيهَا كُتُبٌ قَيِّمَةٌ
“Di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus (benar)”
Yaitu di dalamnya terdapat kitab-kitab yaitu hukum-hukum yang lurus dan adil, karena kitab terkadang maknanya adalah hukum (lihat Tafsir As-Sam’aani 6/263)
Kemudian Allah berfirman:
- وَمَا تَفَرَّقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَةُ
“Dan tidaklah terpecah-belah orang-orang Ahli Kitab melainkan setelah datang kepada mereka bukti yang nyata”
Sebelum datangnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam semua yahudi bersepakat untuk menanti Nabi terakhir dan untuk beriman kepadanya, namun tatkala datang الْبَيِّنَةُ “Bukti yang jelas” yaitu Nabi, maka merekapun terpecah, ada diantara mereka yang beriman kepada Nabi dan sebagian mereka kafir kepada Nabi. (lihat Tafsir At-Thobari 24/553)
Allah mengatakan bahwa demikianlah kebiasaan orang-orang terdahulu, sejak datang Taurat mereka sudah terpecah. Sehingga Allah mengatakan:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat.” (QS Ali ‘Imran : 105)
Al-Hafidz Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat pada surat Al-Bayyinah ini, beliau membawakan hadits yang masyhur dan dishahihkan oleh banyak ahli hadits. Dimana Nabi bersabda:
اِفْتَرَقَ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً.
“Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan atau tujuh puluh dua golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan.” (HR Abu Dawud no. 4596, Tirmidzi no. 2778)
Dalam riwayat yang lain terdapat tambahan,
قَالُوْا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ
“(Para sahabat) bertanya, ‘Siapa mereka wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Apa yang aku dan para Shahabatku berada di atasnya’.” (HR Tirmidzi no. 2641)
Jadi, orang-orang dahulu dari kaum Yahudi telah berpecah-belah meskipun telah datang petunjuk dari Allah.
Kemudian Allah berfirman:
- وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang benar”
حُنَفَاءَ diambil dari kata حَنِيْفٌ yang dalam bahasa Arab artinya condong. Yaitu condong kepada tauhid dan menjauh dari kesyirikan.
Meskipun Ahli Kitab dan kaum musyrikin hanya diperintahkan untuk beribadah ikhlas kepada Allah dan menjauhkan diri dari kesyirikan, serta untuk menegakkan shalat dan membayar zakat. Namun mereka tetap saja tidak mau beriman dan mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya tersebut. Padahal apa yang diperintahkan atau didakwahkan Nabi Muhammad sama dengan yang didakwahkan oleh Nabi-Nabi sebelumnya, sama yang didakwahkan oleh Nabi Musa dan Nabi ‘Isa ‘alaihimas salam. Allah berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang Rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah, dan jauhilah thaghut’.” (QS An-Nahl : 36)
Dalam ayat yang lain, Allah berfirman:
وَإِلَىٰ عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا ۗ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۚ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Dan kepada kaum ‘Ad (kami utus) saudara mereka Nabi Hud. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa?” (QS Al-A’raf : 65)
Dan dalam ayat yang lain, Allah juga berfirman:
وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا ۗ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ
“Dan kepada kaum Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shalih. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada sesembahan yang berhak disembah bagimu selain Dia.” (QS Al-A’raf: 73)
Nabi Musa ‘alaihis salam berkata :
وَانْظُرْ إِلَى إِلَهِكَ الَّذِي ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا لَنُحَرِّقَنَّهُ ثُمَّ لَنَنْسِفَنَّهُ فِي الْيَمِّ نَسْفًا (97) إِنَّمَا إِلَهُكُمُ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَسِعَ كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا
“Dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan). Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu” (QS Thoha : 97-98)
Nabi Isa ‚alaihis salam berkata :
مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلَّا مَا أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya yaitu: “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu”, dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu (QS Al-Maidah : 117)
Semua Nabi sejak dahulu memerintahkan umatnya untuk bertauhid, yaitu agar mereka beribadah kepada Allah saja dan menjauhi kesyirikan. Begitupun dengan Nabi Muhammad. Tetapi mereka malah mengingkari Nabi.
Ayat ini juga menunjukan bahwa sholat dan zakat adalah ibadah yang sangat penting karena disebutkan secara khusus padahal sudah masuk dalam keumuman firman Allah “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah”. Ini juga menunjukan bahwa ibadah sholat dan zakat adalah ibadah yang diperintahkan oleh para nabi, dan bukan hanya khusus syariat Muhammad (lihat Tafsir as-Sa’di hal 931)
Setelah itu Allah menyebutkan tentang nasib orang-orang kafir dan kaum musyrikin. Allah berfirman:
- إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari golongan ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk”
Mereka adalah makhluk-makhluk yang paling buruk, hal tersebut karena Allah telah memberikan untuk mereka segala macam nikmat, Allah telah memberi tubuh yang indah, akal yang cerdas, namun mereka malah memalingkan penyembahan kepada selain Allah. Bahkan sebagian dari mereka justru menyembah makhluk yang lebih buruk dari mereka seperti syaithan, jin, patung sapi, dan lain-lain.
Dalam ayat lain Allah berfirman :
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الَّذِينَ كَفَرُوا فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman (QS Al-Anfaal : 55)
Allah juga menjelaskan bahwa mereka lebih buruk dari pada binatang ternak. Allah berfirman :
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS Al-A’roof : 179)
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا
atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu) (QS Al-Furqon : 44)
Mereka juga dikatakan terburuk karena mereka telah mengetahui kebenaran (الْبَيِّنَةُ “Bukti yang jelas”) akan tetapi mereka tetap meninggalkan kebenaran tersebut (lihat Tafsir As-Sa’di hal 931)
Ayat ini sekaligus bantahan untuk orang-orang liberal yang menyatakan bahwasanya Yahudi dan Nashrani masuk surga sebagaimana kaum muslimin. Keyakinan demikian adalah keyakinan yang kufur, karena seakan-akan melazimkan telah menyamakan antara agama tauhid dan kesyirikan atau menyamakan Allah sebagai sesembahan orang yang beriman dan selain Allah. Sesungguhnya pemikiran seperti itu muncul karena mereka menganggap bahwa agama itu hanyalah cara beradab (cara mencapai akhlak yang baik), dan akhlak yang baik bisa diperoleh dengan mengikuti agama Budha, Hindu, atau agama lainnya. Akan tetapi anggapan seperti ini adalah anggapan yang tidak berdasar, karena Allah mengutus para Nabi ke muka bumi ini prioritas utamanya adalah agar mendakwahkan tauhid. Seseorang yang memiliki akhlak mulia tetapi tidak mentauhidkan Allah maka hal itu tidak bermanfaat. Seperti Ibnu Jud’an, dalam sebuah hadits yang shahih, ketika ‘Aisyah bertanya kepada Nabi :
يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنُ جُدْعَانَ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَصِلُ الرَّحِمَ وَيُطْعِمُ الْمِسْكِينَ فَهَلْ ذَاكَ نَافِعُهُ قَالَ لاَ يَنْفَعُهُ إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ
“Wahai Rasulullah, Ibnu Jud’an di zaman jahiliyyah, dia adalah orang yang menyambung silaturahmi, memberi makan kepada orang-orang miskin, apakah bermanfaat bagi dia kebaikannya dahulu? Nabi menjawab, “Tidak bermanfaat, dia tidak pernah berdoa kepada Allah, ‘Ya Allah ampunilah dosa-dosaku pada hari kiamat kelak’.” (HR Muslim no. 214)
Begitu pun apa yang terjadi dengan paman Nabi yaitu Abu Thalib. Padahal siapa yang lebih hebat dari Abu Thalib dalam membela Islam, bahkan rela mati untuk membela Nabi. Tetapi bersamaan dengan itu, pembelaannya terhadap Nabi tidak dapat menghindarkannya dari api neraka Jahannam. Tatkala Abu Thalib akan meninggal dunia, Nabi mendatangi Abu Thalib dan mengatakan,
أَىْ عَمِّ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ. كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ “. فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ، تَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَالاَ يُكَلِّمَانِهِ حَتَّى قَالَ آخِرَ شَىْءٍ كَلَّمَهُمْ بِهِ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ. فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْهُ
“Wahai paman, ucapkanlah laa ilaaha illallaah. Dengan kalimat ini, akan aku bela engkau nanti di sisi Allah.” Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah menanggapi, “Apakah engkau membenci agamanya Abdul Muthalib?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menawarkan kepada pamannya. Namun kedua orang itu juga terus menimpalinya. Akhirnya Abu Thalib mengatakan kepada mereka, “Di atas agamanya Abdul Muthalib.” Ia enggan mengucapkan laa ilaha illallaah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Demi Allah, akan kumohonkan ampun untukmu selama aku tidak dilarang.” (HR Bukhari no. 4494)
Semasa hidupnya Abu Thalib juga pernah menyenandungkan syair:
وَلَقَدْ عَلِمْتُ بِأَنَّ دِينَ مُحَمَّدٍ … مِنْ خَيْرِ أَدْيَانِ الْبَرِيَّةِ دِينَا
لَوْلَا الْمَلَامَةُ أَوْ حِذَارُ مَسَبَّةٍ … لَوَجَدْتَنِي سَمْحًا بِذَاكَ مُبِينَا
“Sungguh aku tahu bahwa agamanya Muhammad adalah agama yang terbaik diantara agama-agama manusia. Kalau bukan karena takut celaan dan cercaan kau akan dapati aku sudah memeluk Islam.” (Dalaailun Nubuwwah, Al-Baihaqi 2/188 dan Syarh al-Aqidah at-Thohawiyah, Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi 2/461)
Akhirnya Allah menurunkan ayat yang melarang Nabi memohonkan ampun, meskipun jasa Abu Tholib sangat luar biasa. Allah berfirman:
Kemudian Allah menurunkan firman-Nya,
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ
“Tidak patut bagi seorang nabi dan orang-orang yang beriman untuk memohonkan ampunan kepada orang-orang musyrik.” (QS At-Taubah : 113)
Nabi hanya bisa memberi syafaat atas izin Allah untuk pamannya tersebut, yaitu siksaannya diringankan dibanding penghuni neraka lainnya. Dalam suatu hadits dari Al-Abbas bin Abdul Muthalib radhiyallahu ‘anhu, beliau bertanya kepada Nabi,
مَا أَغْنَيْتَ عَنْ عَمِّكَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ لَكَ؟
“Apakah anda tidak bisa menolong paman anda?, karena dia selalu melindungi anda dan marah karena anda.”
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ، وَلَوْلاَ أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ
”Dia berada di permukaan neraka. Andai bukan karena aku, niscaya dia berada di kerak neraka.” (HR Bukhari no. 3883, Ahmad no. 1774)
Yaitu Abu Thalib disiksa dengan diletakan dua bara api di bawah kedua telapak kakinya sehingga otaknya mendidih.
Oleh karena itu, agama yang diserukan oleh Nabi Muhammad bukanlah sekedar mendakwahkan akhlak, akan tetapi yang paling penting adalah tauhid. Dan pemahaman bahwasanya semua agama sama dan bisa mengantarkan ke surga adalah pemahaman yang batil lagi berbahaya.
Setelah Allah menyebutkan tentang kesudahan kaum ahli kitab dan kaum musyrikin, Allah kemudian menyebutkan tentang keadaan orang-orang yang beriman. Allah berfirman:
- إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّة
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, mereka adalah sebaik-baik makhluk”
Mereka adalah hamba-hamba yang bertauhid, beriman, dan beramal shalih. Mereka tunduk patuh kepada Allah dan menjauhkan diri mereka dari segala bentuk kesyirikan. Sehingga jadilah mereka sebagai makhluk yang terbaik.
Kemudian Allah berfirman:
- جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada RabbNya”
Allah ridha dengan mereka karena ketaatan mereka kepada Allah, dan mereka juga ridha (puas) dengan karunia dan kenikmatan yang Allah berikan kepada mereka di surga yang abadi. Hal ini karena mereka tatkala di dunia takut kepada Rabb mereka sehingga mereka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan.