Tafsir Surat Adh-Dhuha
Para ulama sepakat bahwasanya surat Adh-Dhuha adalah surat Makiyyah yang diturunkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sebelum berhijrah ke kota Madinah, dan pokok pembicaraan surat ini berkaitan dengan nikmat-nikmat Allah yang zhahir yang Allah anugrahkan kepada Nabi. Adapun pokok pembicaraan terkait nikmat-nikmat yang maknawi akan datang pada tafsir surat Al-Insyirah. Sehingga kedua surat ini berkaitan erat. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa kedua surat ini adalah satu surat karena masing-masing berbicara mengenai nikmat yang diberikan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
Para ahli tafsir menyebutkan tentang asbabun nuzul (sebab turunnya) surat ini. Sebagaimana yang dimaklumi bahwa surat-surat atau ayat-ayat dalam Al-Quran terkadang diturunkan karena suatu sebab, namun terkadang pula tidak ada sebabnya. Berkaitan dengan sebab turunnya surat ini, ada beberapa riwayat atau hadits yang shahih, di antaranya hadits Jundub bin Abdillah bin Sufyan al Bajali Radhiyallahu anhu, ia berkata :
اِحْتَبَسَ جِبْرِيْلُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ، فَقَالَتْ اِمْرَأَةٌ مِنْ قُرَيْشٍ: أَبْطَأَ عَلَيْهِ شَيْطَانُهُ. فَنَـزَلَتْ: وَالضُّحَى. وَاللَّـيْلِ إِذاَ سَجَى. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى
Jibril tertahan (tidak kunjung datang) kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata seorang wanita dari Quraisy : “Setannya terlambat datang kepadanya,” maka turunlah :
وَالضُّحَىٰ﴿١﴾وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَىٰ﴿٢﴾مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى
(Demi waktu matahari sepenggalahan naik. Dan demi malam apabila telah sunyi. Rabb-mu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu). (HR Bukhari no. 1073, no. 4667, no. 4698).
Pada riwayat yang lain dengan sedikit perbedaan lafazh, Jundub bin Abdillah al Bajali Radhiyallahu anhu berkata:
اِشْتَكَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَلَمْ يَقُمْ لَيْلَـتَيْنِ أَوْ ثَلاَثاً، فَجَاءَتْ اِمْرَأَةٌ، فَقَالَتْ: يَا مُحَمَّدُ، إِنِّيْ لأَرْجُوْ أَنْ يَكُوْنَ شَيْطَانُكَ قَدْ تَرَكَكَ، لَمْ أَرَهُ قُرْبَكَ مُنْذُ لَيْلَتَيْنِ أَوْ ثَلاَثاً. فَأَنْزَلَ الله ُعَزَّ وَجَلَّ: وَالضُّحَى. وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit dan beliau tidak bisa sholat malam dua atau tiga malam. Lalu datang seorang wanita, dan berkata: “Wahai, Muhammad! Sesungguhnya aku sangat berharap agar setanmu benar-benar telah meninggalkanmu. Aku tidak melihatnya selama dua atau tiga malam,” maka Allah turunkan …” (surat adh Dhuha). (HR Muslim no. 1797)
Wanita itu adalah Ummu Jamil binti Harb saudari Abu Sufyaan bin Harb, dan dia adalah istri Abu Lahab paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Suaminya adalah orang yang suka mencela Nabi, begitupun dengan istrinya. Demikianlah kelakuan orang-orang kafir dan musyrik terhadap Nabi. Akan tetapi Allah tetap mengangkat Nabi dan apa yang mereka lakukan tidak akan memberi kemudharatan untuk Nabi.
Para ulama juga menyebutkan tentang keterkaitan antara surat Adh-Dhuha dengan surat sebelumnya yaitu surat Al-Lail. Surat Al-Lail turun karena sahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu yang dia berkorban dengan mengeluarkan hartanya untuk membebaskan budak-budak yang lemah seperti Bilal dan budak-budak wanita tua, dan Allah membuatnya ridha. Sedangkan surat Adh-Dhuha berkaitan dengan gurunya Abu Bakar yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana Allah juga membuatnya ridha.
Allah berfirman pada permulaan surat:
- وَالضُّحَىٰ
“Demi waktu dhuha”
Para ulama berbeda pendapat tentang makna الضُّحَىٰ menjadi dua pendapat, sebagaimana khilaf tentang makna وَضُحَاهَا pada tafsir ayat pertama surat Asy-Syams. Sebagian ulama berpendapat bahwa الضُّحَىٰ disini maksudnya adalah النَّهَرُ كُلُّهُ, (diantaranya yaitu At-Thobari 24/481, Al-Baghowi 8/454, Al-Qurthubi 20/91 dan As-Sam’aani 6/242). Mereka berdalil dengan ayat setelahnya yaitu وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَىٰ “Demi malam apabila telah sunyi”, dimana Allah bersumpah dengan malam, itu artinya Allah sedang bersumpah dengan lawannya, sehingga tafsir ayat وَالضُّحَىٰ “demi dhuha” adalah وَالنَّهَارِ “Demi siang”. Hal ini dapat dijumpai dalam ayat yang lain, terkadang Allah menyebutkan dhuha maksudnya adalah siang. Seperti firman Allah:
أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَىٰ أَن يَأْتِيَهُم بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ (97) أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَىٰ أَن يَأْتِيَهُم بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ (98)
“(97) Maka apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang malam hari ketika mereka sedang tidur?; (98) Atau apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang di waktu dhuha (yaitu siang hari) ketika mereka sedang bermain?” (QS Al-A’raf : 97-98)
Kata para ahli tafsir, dhuha disini maksudnya adalah siang. Karena adzab Allah itu datang di malam hari ketika orang-orang sedang tidur atau datang di siang hari ketika orang-orang sedang beraktivitas. Dan ayat tersebut diungkapkan dengan memakai kata dhuha untuk menunjukkan siang. Oleh karena itu, dhuha terkadang maksudnya adalah siang.
Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa الضُّحَىٰ disini maksudnya adalah waktu dhuha dan bukan siang. Mereka berdalil bahwa seandainya Allah ingin bersumpah dengan siang niscaya Allah akan mengatakan وَالنَّهَارِ dan bukan وَالضُّحَىٰ. Ketika Allah menyebutkan dhuha, menunjukkan waktu khusus dan bukan bermakna siang seluruhnya, tetapi waktu dhuha itu sendiri. Karena waktu dhuha waktu yang spesial, dia adalah waktu awal matahari menyingsing, dia adalah awal datangnya sinar matahari yang memberi manfaat kepada manusia, dan di waktu tersebut disyariatkan pula shalat sunnah dhuha. Demikian pula di waktu dhuha Allah berbicara dengan Nabi Musa, dan di waktu tersebut pula para penyihir Fir’aun akhirnya beriman (lihat Tafsir Al-Baidhoowi 5/319). Bahkan sebagian ahli tafsir ada yang menafsirkan وَالضُّحَىٰ maksud Allah adalah عِبَادَهُ الَّذِينَ يَعْبُدُونَهُ فِي وَقْتِ الضُّحَى “hamba-hambaNya yang beribadah kepadaNya di waktu dhuha”. (lihat Tafsir al-Qurthubi 20/92)
Intinya waktu dhuha adalah waktu yang penting. Dimulai kurang lebih 15 menit setelah matahari menyingsing dan terus berjalan hingga kurang lebih 10 menit sebelum waktu adzan dhuhur. Yaitu semenjak matahari terbit dan meninggi hingga sebelum waktu zawal (menjelang adzan dzuhur). Selama itu diperbolehkan shalat dhuha. Namun waktu yang terbaik adalah tatkala matahari dipuncak panas sehingga menjadikan pasir terasa panas (lihat Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi 6/30), sekitar jam jam 10 pagi atau 10.30 atau 11.00 (lihat fatwa Asy-Syaikh Bin Baaz https://binbaz.org.sa/fatwas/12077/وقت-صلاة-الضحى). Nabi bersabda :
صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
“Sholatnya awwabiin (orang-orang yang selalu kembali kepada Allah) adalah tatkala kaki-kaki anak-anak unta kepanasan (karena panasnya pasir yang dipijakinya)” (HR Muslim no 748)
Dan yang dimaksud dengan sholat awwabiin adalah sholat dhuha, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يُحَافِظُ عَلَى صَلاَةِ الضُّحَى إِلاَّ أَوَّابٌ. قَالَ : وَهِيَ صَلاَةُ الأَوَّابِينَ
“Tidak ada yang memelihara shalat dhuha kecuali orang yang kembali kepada Allah.” Beliau bersabda: “Dia adalah Shalat Awwabin (shalat orang-orang yang kembali kepada Allah)” (HR Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 703)
Di waktu tersebut orang-orang sedang di puncak aktivitasnya, dimana mereka disibukkan dengan pekerjaan dan dunianya masing-masing. Sehingga sungguh beruntung orang yang bisa menyempatkan waktunya untuk mengerjakan shalat dhuha di waktu tersebut.
Kemudian Allah berfirman:
- وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَىٰ
“Dan demi malam apabila telah sunyi”
At-Thobari menyebutkan beberapa tafsiran salaf tentang ayat ini, diantaranya :
- Demi malam tatkala datang kegelapannya
- Demi malam tatkala dipuncak gelap gulitanya
- Demi malam tatkala gelapnya meliputi manusia
- Demi malam tatkala sunyi senyap (lihat Tafsir At-Thobari 24/481-483)
Waktu malam adalah waktu yang senyap, semua orang beristirahat, kecuali sebagian kecil yang masih menggunakannya untuk melanjutkan aktivitas. Allah berfirman:
فَالِقُ الْإِصْبَاحِ وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَنًا
“Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat.” (QS Al-An’am : 96)
Pada tafsir surat Al-Lail ayat 2 juga telah dijelaskan bahwa waktu malam adalah diantara anugerah Allah, yang dijadikan-Nya sebagai pakaian sebagai ketenangan. Oleh karena itu, sepatutnya waktu-waktu malam tersebut digunakan untuk beribadah kepada Allah diantaranya di waktu sahur. Karenanya sebagian ulama ada yang menafsirkan ayat ini dengan :
وَعِبَادِهُ الَّذِينَ يَعْبُدُونَهُ بِاللَّيْلِ إِذَا أَظْلَمَ
“Demi hamba-hambaNya yang beribadah kepadaNya di malam hari tatkala gelap gulita” (lihat Tafsir al-Qurthubi 20/92)
Kemudian Allah berfirman:
- مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ
“Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu”
Setelah Allah bersumpah dengan dhuha dan malam, Allah menyatakan dua pernyataan. Pernyataan pertama yaitu bahwa Allah tidak akan meninggalkan Nabi. Pernyataan kedua yaitu Allah juga tidak akan membenci beliau.
Pada bagian pertama, Allah menggunakan kalimatرَبُّكَ (Rabb-mu). Dan nama Allah Ar-Rabb mengandung sifat rububiyah dan tarbiyah. Seakan-akan Allah ingin menenangkan bahwa, “Wahai Muhammad, Rabb-mu lah yang telah mentarbiyah dan mendidik engkau dengan tarbiyah khusus, perhatian kepada engkau, maka Rabb-mu tidak mungkin meninggalkan engkau”. Tidak sebagaimana persangkaan Ummu Jamil (istri Abu Lahab).
As-Sa’di berkata :
مَا تَرَكَكَ مُنْذُ اعْتَنَى بِكَ، وَلاَ أَهْمَلَكَ مُنْذُ رَبَّاكَ وَرَعَاكَ، بَلْ لَمْ يَزَلْ يُرَبِّيْكَ أَحْسَنَ تَرْبِيَةٍ، وَيُعْلِيْكَ دَرَجَةً بَعْدَ دَرَجَةٍ
“Allah tidak pernah meninggalkanmu sejak Allah perhatian terhadapmu, Allah tidak pernah melupakanmu sejak mentarbiahmu dan memperhatikanmu, bahkan senantiasa Allah mentarbiahmu dengan tarbiah yang terbaik, dan Allah meninggikan derajatmu setahap demi tahap” (Tafsir As-Sa’di hal 928)
Kemudian pada bagian kedua Allah menggunakan وَمَا قَلَىٰ yang maknanya وَمَا أَبْغَضَ. Pada bagian ini, Allah tidak menggunakan kata ganti untuk Nabi Muhammad sehingga menjadi وَمَا قَلَىٰكَ (“Dan Allah tidak membencimu”) tetapi Allah mengatakan وَمَا قَلَىٰ (“Dan Allah tidak membenci”). Hal ini karena kalimat ‘Allah membencimu’ itu berat didengar oleh Nabi. Meskipun yang dimaksudkan adalah tetap untuk Nabi.
Dan tatkala dikatakan bahwasanya Rabb itu tidak membenci Nabi -yaitu Allah menafikan kebencianNya terhadap Nabi-. Dan sebagaimana diketahui dalam kaidah bahwasanya penafian semata tidaklah menunjukan pujian. Padahal maksud ayat ini adalah dalam rangka membela dan memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Diantara kaedah dalam memahami sifat-sifat Allah yaitu tidak ada satu sifat yang dinafikan dari Allah kecuali melazimkan penetapan kesempurnaan sifat dari lawannya. Sebagaimana yang ada pada surat Al-Baqarah ketika Allah menafikan sifat kantuk pada diri-Nya. Allah berfirman:
لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ
“Tidak mengantuk dan tidak tidur.” (QS Al-Baqarah : 255)
Sehingga kita menetapkan kebalikannya. Jika Allah tidak ditimpa rasa kantuk, hal itu melazimkan Allah bersifat senantiasa terjaga dengan keterjagaan yang sempurna. Jadi, penafian saja tidak serta merta berkonsekuensi pujian kepada Allah, namun pujian kepada Allah adalah dengan menetapkan lawan dari yang dinafikan tersebut. Begitu pula pada ayat ini, Allah menafikan sifat benci kepada Nabi Muhammad dalam rangka memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga hal tersebut berkonsekuensi bahwa Allah mencintai Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan beliau dijuluki dengan Khalilur Rahman yaitu kekasih Allah subhanahu wata’ala. Dan tidak ada manusia yang lebih mulia di atas muka bumi ini dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian Allah berfirman:
- وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَىٰ
“Dan sungguh yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan”
Yaitu bahwa sesungguhnya yang terakhir itu bagi Nabi lebih baik daripada yang awal. Kata Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, ini adalah dalil bahwasanya Rasulullah setiap saat tingkatannya naik, apa yang telah berlalu tingkatannya lebih rendah dari apa yang akan datang. Semakin berjalannya waktu, maka semakin tinggi kedudukan Nabi di sisi Allah dan semakin dekat dengan Allah. Sehingga kedudukan Nabi di sisi Allah menjadi sempurna tatkala meninggal dunia. Oleh karena itu, kedudukan Nabi setelah meninggal dunia lebih afdhal daripada sebelum meninggal dunia. (lihat Tafsir As-Sa’di hal 928)
Namun hal ini tidak melazimkan bahwa keadaan Nabi yang telah meninggal dunia menjadikan doa itu lebih mustajab jika meminta kepada beliau agar berdoa kepada Allah. Bahkan bukan saja anggapan itu yang ditutup oleh para sahabat, tetapi lebih dari itu untuk meminta berdoa tanpa ada anggapan seperti itu pun tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, karena mereka menganggap itu tidak berguna. Sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khatthab, ketika di zaman kekhalifahannya terjadi musim paceklik. Beliau tidak mendatangi kuburan Rasulullah, akan tetapi beliau mendatangi Al-Abbas yaitu paman dari Nabi. Umar meminta kepada pamannya Nabi agar berdoa. Umar berkata, “Kami dahulu ketika Nabi masih hidup maka kami bertawassul dengan Nabi, akan tetapi sekarang kami bertawassul dengan doanya paman Nabi”. Mengapa Umar bin Khatthab meninggalkan Nabi kemudian menuju kepada pamannya Nabi padahal kedudukan Nabi setelah meninggal lebih baik dibanding sebelum meninggal? Tidak lain karena Nabi setelah meninggal dunia tidak bisa dimintai untuk berdoa kepada Allah. Sehingga Umar pergi ke pamannya Nabi yang masih hidup, yang mana beliau juga merupakan orang shaleh agar mendoakan kaum muslimin yang tertimpa musim paceklik kala itu.
Inilah syubhat yang sering dilontarkan oleh banyak orang, mereka pergi ke orang mati yang semasa hidupnya shaleh atau kepada para syuhada lalu minta kepada mereka. Padahal sebaliknya, justru merekalah yang butuh terhadap doa orang yang masih hidup. Ketika terjadi perang Mu’tah, Rasulullah tidak ikut dalam peperangan tersebut dan mengirimkan Zaid Bin Haritsah sebagai panglima perang. Abu Qatadah menceritakan bahwa ketika Rasulullah naik ke mimbar, beliau bersabda:
إِنَّهُمُ انْطَلَقُوا فَلَقَوا الْعَدُوَّ فَأُصِيبَ زَيْدٌ شَهِيدًا، فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ فَاسْتَغْفَرَ لَهُ النَّاسُ
“Mereka berangkat sampai bertemu musuh. Kemudian Zaid gugur sebagai syahid, maka mintakanlah ampunan untuknya,” lalu kaum musliminpun memintakan ampunan untuknya. (HR 22551)
Beliau mati dalam keadaan syahid akan tetapi Nabi tetap memerintahkan agar para sahabat mendoakannya, karena dia butuh terhadap doa orang yang masih hidup, bukan malah sebaliknya. Itulah tujuan sebenarnya dari ziarah kubur, salah satunya untuk mendoakan orang yang dikubur tersebut. Selain tujuan lain yaitu mengingat mati dan kehidupan akhirat. Barang siapa yang berziarah ke kuburan bukan dengan tujuan ini berarti tujuannya keliru.
Kemudian Allah berfirman:
- وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَىٰ
“Dan sungguh kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas”
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mengatakan bahwa ayat ini adalah ungkapan dari Allah yang sangat komprehensif. Allah akan memberikan sesuatu kepada Nabi yang dengannya Nabi akan ridha dan puas. Dan ini menunjukan kesempurnaan kondisi Nabi di akhirat. Dalam bentuk apakah pemberian itu?, yang jelas pasti Nabi akan ridha dengan pemberian tersebut.
Oleh karena itu, sebagian ulama menyatakan bahwa ayat yang paling memberikan pengharapan adalah ayat ini. Karena para ulama menyebutkan bahwasanya di dalam Al-Quran ada beberapa ayat yang konteksnya memberi harapan kepada manusia. Diantaranya seperti firman Allah:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang’.” (QS Az-Zumar : 53)
Ayat tersebut merupakan ayat yang paling memberikan pengharapan kepada manusia. Dan diantara pendapat lain bahwa ayat yang paling memberi harapan adalah ayat 5 surat Adh-Dhuha ini. (lihat al-Itqoon fi ‘Uluumil Qur’aan, As-Suyuthi 4/150 dan Al-Burhaan fi ‘Uluumil Qur’aan, Az-Zarkasyi 1/447). Hal ini karena Rasulullah bercita-cita agar para pengikutnya masuk surga. Tentu saja ini adalah harapan yang sangat besar bagi kaum muslimin. Bahkan salah satu diantara syafaat Nabi adalah untuk para pelaku dosa besar, selama dia tidak menyekutukan Allah. Dari sahabat Abdullah Bin Mas’ud dia berkata,
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قُبَّةٍ نَحْوًا مِنْ أَرْبَعِينَ رَجُلًا، فَقَالَ: أَتَرْضَوْنَ أَنْ تَكُونُوا رُبُعَ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ قَالَ: قُلْنَا: نَعَمْ، فَقَالَ: أَتَرْضَوْنَ أَنْ تَكُونُوا ثُلُثَ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ فَقُلْنَا: نَعَمْ، فَقَالَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ تَكُونُوا نِصْفَ أَهْلِ الْجَنَّةِ، وَذَاكَ أَنَّ الْجَنَّةَ لَا يَدْخُلُهَا إِلَّا نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ، وَمَا أَنْتُمْ فِي أَهْلِ الشِّرْكِ إِلَّا كَالشَّعْرَةِ الْبَيْضَاءِ فِي جِلْدِ الثَّوْرِ الْأَسْوَدِ، أَوْ كَالشَّعْرَةِ السَّوْدَاءِ فِي جِلْدِ الثَّوْرِ الْأَحْمَرِ
Kami berjumlah 40 orang pernah bersama rasulullah di suatu kemah, lalu rasulullah bertanya, “Apakah kalian senang bila menjadi seperempat dari penghuni surga?” Kami menjawab, “Ya” kemudian beliau bertanya, “Apakah kalian senang jika menjadi sepertiga dari penghuni surga?” Kami menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Dan Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, sungguh aku berharap kalian menjadi setengah dari penghuni surga. Karena tidak ada yang masuk surga kecuali orang yang memiliki jiwa berserah diri kepada Allah, dan kalian tidaklah termasuk golongan ahli syirik kecuali bagaikan bulu putih di kulit banteng hitam, atau bagaikan bulu hitam di kulit banteng putih.” (HR Muslim no. 221 dan Bukhari no. 6528)
Sungguh ini adalah harapan yang sangat besar bagi ummat Islam. Dan kita semua berharap agar kita termasuk dari setengah penghuni surga tersebut. Ini adalah cita-cita Rasulullah dan Allah akan memberikan sesuatu yang membuat Nabi ridha yaitu dengan mengabulkan cita-cita beliau.
Setelah Allah membantah pernyataan sebagian kaum musyrikin yang mengatakan bahwa Allah dan Jibril meninggalkan Nabi, maka Allah segera menurunkan surat Adh-Dhuha. Allah mengingatkan beliau, bahwa Allah tidak mungkin meninggalkannya, sedangkan karunia-karunia Allah diberikan terus kepada beliau. Kemudian Allah menyebutkan tentang karunia-karunia tersebut. Allah berfirman:
- أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim lalu Dia melindungi(mu)”
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan dalam keadaan yatim. Lahir dari perut ibunya sementara ayahnya telah meninggal dunia. Beliau tidak pernah merasakan belaian kasih sayang ayahnya, dan hidup yatim di bawah asuhan sang ibu. Kemudian ketika ibunya bersafar mengunjungi paman-paman Nabi di kota Madinah, lalu di perjalanan pulangnya menuju Mekkah di suatu tempat yang bernama Abwa, ibunda Nabi pun meninggal dunia karena sakit keras, kala itu Nabi masih berumur 6 tahun. Kita dapat membayangkan bagaimana perasaan seorang anak kecil yang tidak mempunyai ayah lalu ibunya sakit sementara tidak ada orang lain disitu selain dirinya di tengah perjalanan pulang, kemudian meninggal dunia. Betapa sedihnya perasaan si kecil Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.
Setelah ditinggal oleh ibunya maka Allah menjadikan kakeknya yaitu Abdul Muthalib sebagai orang yang merawat Nabi. Abdul Muthalib sangat menyangi Nabi. Bahkan disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa tempat duduk Abdul Muthalib yang berada di sekitar Ka’bah yang mana tidak ada yang berani duduk di tempat tersebut, tetapi ketika Muhammad kecil datang dan duduk disitu maka dibiarkan saja oleh kakeknya Abdul Muthalib. Setelah kakeknya meninggal dunia dan umur Nabi pada saat itu 8 tahun, maka Allah menjadikan Nabi di bawah asuhan pamannya yaitu Abu Thalib, hingga akhirnya Nabi diutus menjadi seorang Nabi dan pamannya menjadi penolongnya. Ini semua adalah anugerah dari Allah, bukti bahwasanya Allah tidak akan meninggalkan beliau.
Kemudian Allah berfirman:
- وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang tersesat, lalu Dia memberikan petunjuk”
Para ulama berselisih pendapat tentang makna ‘tersesat’ dalam ayat ini. Sebagian mengatakan bahwa Nabi pernah berjalan di jalan-jalan Mekkah lalu tersesat kemudian diberi petunjuk oleh Allah hingga bisa pulang kembali. Sebagian yang lain mengatakan bahwa Nabi pernah berjalan bersama pamannya Abu Thalib ketika berdagang ke negeri Syam, kemudian di tengah jalan Nabi hilang tersesat karena disesatkan oleh Iblis, namun Allah berikan petunjuk dan mengmbalikannya lagi. Ini adalah beberapa tafsiran sebagian ulama dan beberapa tafsiran lainnya. (lihat Tafsir al-Baghowi 8/456)
Tetapi tafsir yang dipilih untuk ayat ini bahwa tersesatnya beliau adalah karena dahulu belum tahu tentang iman dan islam. (lihat Tafsir As-Sam’aani 6/245 dan al-Qurthubi 20/96-97 dan Ibnu Katsir 8/413). Allah berfirman:
وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَٰكِن جَعَلْنَاهُ نُورًا نَّهْدِي بِهِ مَن نَّشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا ۚ وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (Al-Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (Al-Quran) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan Al-Quran itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus.” (QS Asy-Syura : 52)
Nabi telah mengetahui bahwa kaumnya pada saat beliau belum diangkat menjadi Nabi berada dalam kesesatan, kesyirikan, dan kemaksiatan, sehingga beliau pergi ke gua Hira karena ingin meninggalkan mereka. Namun yang dimaksudkan dengan Nabi juga tersesat yaitu beliau tidak mengetahui cara beribadah kepada Allah. Beliau masuk ke dalam gua Hira dalam keadaan bingung tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Sehingga Allah memberikan hidayah kepada beliau dengan menurunkan surat Al-Alaq. Inilah yang dimaksudkan oleh Allah, mendapati beliau dalam keadaan tersesat, lalu Allah memberikan hidayah (petunjuk) kepadanya.
Kemudian Allah berfirman:
- وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَىٰ
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan”
Pada awalnya Nabi hidup dalam keadaan miskin. Meskipun Nabi hidup menumpang pada Abu Thalib, tetapi Abu Thalib miskin. Oleh karena itu, Nabi dahulu kerja membantu pamannya menggembalakan kambing orang-orang Mekkah, dan bukan kambing beliau sendiri. Hal itu dilakukan agar mendapatkan upah demi membantu pamannya Abu Thalib. Lalu di kemudian hari Nabi bekerja kepada Khadijah, dan akhirnya dinikahkanlah beliau Khadijah radhiyallahu ‘anha yang kaya raya yang mengorbankan seluruh hartanya untuk islam. Lalu beliau dipertemukan dengan saahabat yang mulia, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu yang juga mengorbankan seluruh hartanya untuk islam. Selanjutnya Allah menakdirkan Nabi menang dalam banyak peperangan, beliau mendapatkan harta ghanimah, mendapatkan harta fai’, sehingga beliau terkadang memiliki harta yang banyak dari situ. Kemudian Nabi membagi-bagikannya untuk para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Karenanya Nabi adalah orang yang paling dermawan.
Perhatikan :
Ketiga karunia yang Allah berikan kepada Nabi di atas semuanya merupakan bukti dari firman Allah وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَىٰ “Dan sungguh yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan” : (1) dari kondisi awalnya yatim lalu akhirnya dinaungi oleh Allah, (2) dari kondisi awalnya tersesat akhirnya Allah memberi petunjuk, dan (3) dari kondisi awalnya kekurangan lalu akhirnya Allah memberi kecukupan. Ini semua sebagai bukti bagaimana mungkin Allah meninggalkan Nabi apalagi sampai benci dan marah kepada Nabi -sebagaimana persangkaan Ummu Jamil-??!
Kemudian Allah berfirman:
- فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ
“Maka terhadap anak yatim, janganlah engkau berlaku sewenang-wenang”
Yaitu “sebagaimana dahulu engkau yatim lalu Allah mengayomimu maka janganlah engkau berlaku buruk kepada anak yatim”.
Ayat ini merupakan ayat yang paling dimengerti oleh Nabi. Beliau benar-benar mengetahui bagaimana kondisi seorang anak yatim karena Nabi pada masa kecilnya hidup dalam keadaan yatim. Dan yatimnya Nabi adalah yatim yang sempurna. Beliau sama sekali tak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah, bahkan ditinggal mati pula oleh ibunya ketika beliau berumur 6 tahun, di saat dia mulai merasakan kasih sayang seorang ibu. Sehingga dia sangat mengetahui bagaimana perasaan seorang yang kehilangan ibu. Sehingga Nabi tidak mungkin mencela seorang yatim. Tidak mungkin Nabi akan bersikap sewenang-wenang terhadap anak yatim karena beliau pernah merasakan hidup dalam keyatiman. Oleh karena itu, dalam sebuah hadits dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
“Aku dan orang yang mengurus anak yatim berada di surga seperti ini.” Beliau mengisyaratkan dengan kedua jarinya yaitu telunjuk dan jari tengah. (HR Al-Bukhari no. 6005)
Kemudian Allah berfirman:
- وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ
“Dan terhadap orang yang meminta-minta janganlah engkau menghardiknya”
Yaitu “sebagaimana dahulu engkau tersesat tidak mengerti akan ilmu dan iman, maka jika ada orang meminta (bertanya) ilmu kepadamu maka janganlah engkau menghardiknya, akan tetapi lembutlah kepadanya dan berikanlah ilmu kepadanya” (lihat Tafsir Ibnu Katsir 8/413). Ini merupakan peringatan kepada para da’i dan para ulama agar mereka bersabar dengan orang-orang yang bertanya kepada mereka, agar mereka bersabar dalam berdakwah. Karena memang betapa sering orang yang bertanya tidak memiliki (belum tahu) adab dalam bertanya, sehingga terkadang mengganggu para da’i dan ulama tersebut. Jika mereka merasa terganggu maka ingatlah ayat ini agar mereka lebih bersabar, karena sungguh kesesatan (kejahilan) yang dimiliki penanya itu adalah kehinaan dan petunjuk (ilmu) yang mereka butuhkan itu adalah karunia yang besar.
Demikian juga ayat ini umum bukan hanya berkaitan dengan orang yang bertanya tentang ilmu. Maka apabila ada orang yang meminta-minta dan kita tidak mampu memberinya sesuatu, maka janganlah kita menghina dan menghardiknya, akan tetapi hendaknya mengatakan kata-kata yang halus kalau kita memang tidak punya.
Sikap seperti ini benar-benar diamalkan oleh Nabi, dimana Nabi tidak pernah menghardik orang yang meminta-minta. Bahkan Nabi disifati oleh para shahabat, أَنَّهُ لاَ يَرُدُّ سَائِلاً bahwa Nabi sama sekali tidak pernah menolak orang yang meminta kepadanya. (HR Al-Bukhari no 2093). Jangankan membentak, orang yang meminta saja tidak pernah beliau tolak seandainya beliau memang punya. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata :
مَا سُئِلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الإسْلامِ شَيْئًا إلا أعْطَاهُ. قَالَ: فَجَاءَه رَجُلٌ (وفي رواية : سأل النبي صلى الله عليه وسلم غنما بين جبلين) فَأعْطَاهُ غَنمًا بَيْنَ جَبَلَيْنِ، فَرَجَعَ إلَى قَوْمِهِ، فَقَالَ: يَاقَوْمِ، أسْلِمُوا، فَإِنَّ مُحَمَّدًا يُعْطِى عَطَاءً لا يَخْشَى الْفَاقَةَ
“Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diminta sesuatu –demi untuk masuk Islam- kecuali Rasulullah akan berikan. Maka datang seseorang (dalam riwayat yang lain : Orang ini meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kambing sepenuh lembah diantara dua gunung) maka Nabi memberikan kepadanya kambing sepenuh lembah, lalu iapun kembali kepada kaumnya dan berkata, “Wahai kaumku, masuklah kalian ke dalam Islam, sesungguhnya Muhammad memberi pemberian tanpa takut kemiskinan sama sekali.” (HR Muslim no. 2312)
Nabi tidak hanya memberikan kepada kaum muslimin, bahkan Nabi juga memberi untuk non muslim dalam rangka menarik hati mereka ke dalam Islam. Akhirnya orang yang meminta kambing sepenuh lembah itupun masuk Islam, bahkan ia pulang ke kaumnya mendakwahi mereka dengan menjelaskan kedermawanan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan diriwayatkan pula dari Ibnu Syihab tentang kisah seorang sahabat yang awalnya sangat kepada Nabi. Ibnu Syihab beliau berkata :
غَزَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَزْوَةَ الْفَتْحِ – فَتْحِ مَكَّةَ – ثُمَّ خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْ مَعَهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، فَاقْتَتَلُوا بِحُنَيْنٍ، فَنَصَرَ اللهُ دِينَهُ وَالْمُسْلِمِينَ، وَأعْطَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ صَفْوَانَ بْنَ أميَّةَ مِائَةً مِنَ النَّعَمِ، ثُمَّ مِائَةً، ثُمَّ مِائَةً.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan perang menaklukkan kota Mekah, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi bersama kaum muslimin bertempur dalam perang Hunain, maka Allah memenangkan agamaNya dan kaum muslimin. Dan pada hari itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan kepada Sofwan bin Umayyah 100 ekor unta, lalu 100 ekor unta, lalu 100 ekor unta.”
Sa’id Ibnul Musayyib berkata bahwasanya Sofwan bin Umayyah berkata :
وَاللهِ لَقَدْ أعْطَانِى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أعْطَانِى، وَإِنَّهُ لأبْغَضُ النَّاسِ إلَىَّ، فَمَا بَرِحَ يُعْطِينِى حَتَّى إنَّهُ لأحَبُّ النَّاسِ إلَىَّ
“Demi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan kepadaku apa yang ia berikan, padahal ia adalah orang yang paling aku benci. Namun Nabi terus memberikan kepadaku hingga akhirnya ia adalah orang yang paling aku cintai.” (HR Muslim no. 2313)
Dari beberapa kisah ini tampaklah bahwa Nabi benar-benar mengamalkan firman Allah “Dan terhadap orang yang meminta-minta janganlah engkau menghardiknya”, bahkan lebih dari itu, Nabi selalu memberikan barang yang dia punyai.
Kemudian Allah berfirman:
- وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur)”
Ada tiga pendapat tentang yang dimaksud dengan nikmat dalam ayat ini (lihat Zaadul Masiir 4/459):
- Nikmat kenabian, sehingga makna nyatakanlah yaitu serulah manusia untuk mengimani kenabianmu
- Nikmat al-Qur’an, sehingga maknanya yaitu bacakanlah al-Qur’an kepada manusia
- Nikmat secara umum
Pendapat ketiga didukung secara bahasa, karena kalimat نِعْمَةِ رَبِّكَ tersusun dari isim mufrad yang diidhafahkan kepada isim ma’rifat, menurut kaidah ushul fikih, susunan ini memberi faedah keumuman. Sehingga meskipun نِعْمَةِ menggunakan isim mufrad (tunggal) tetapi tetap bermakna nikmat-nikmat Allah seluruhnya. Oleh karena itu, hendaknya setiap hamba mengingat-ingat atau menyebut-nyebut nikmat Allah yang diberikan kepadanya, baik itu nikmat agama maupun nikmat dunia.
Lantas bagaimana bentuk mengamalkan “menyebut nikmat”?. As-Sam’aani rahimahullah dalam tafsirnya menyebutkan ada dua cara, (1) dengan menunjukan rasa syukur, dan (2) dengan menyceritakannya kepada orang-orang yang tsiqoh/terpercaya/amanah (lihat tafsir As-Sam’aani 6/246)
Dengan demikian diantara bentuk menyebut nikmat Allah adalah bersyukur dengan nikmat Allah. Tidak sebagaimana sebagian orang yang kufur kepada nikmat Allah dan selalu menggambarkan dirinya di hadapan orang lain sebagai orang yang kekurangan, agar orang lain tidak minta-minta kepadanya atau agar orang lain mengasihaninya. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam melihat ada seseorang yang memakai baju yang lusuh, beliau bersabda:
فَإِذَا آتَاكَ اللَّهُ مَالًا فَلْيُرَ أَثَرُ نِعْمَةِ اللَّهِ عَلَيْكَ وَكَرَامَتِهِ
“Jika Allah memberimu harta maka tampakkanlah wujud dari nikmat-Nya dan pemberian-Nya itu pada dirimu.” (HR Abu Daud no. 4064)
Hendaknya seseorang menampakkan nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Namun bukan berarti menunjukkannya dalam rangka untuk sombong dan berbangga-banggaan, akan tetapi sewajarnya. Dengan memakai pakaian yang bagus dan bersih, dengan memakai kendaraan yang wajar, bukan pakaian yang sangat mewah atau kendaraan yang sangat mewah dalam rangka untuk sombong dan berbangga-banggaan.
Oleh karena itu, para ulama menyatakan bahwa diantara bentuk bersyukur dengan menyebut-nyebut nikmat bisa diwujudkan melalu hati, lisan, dan anggota badan. Dengan hati kita mengingat dan mengakui bahwasannya semua kenikmatan yang kita rasakan berasal dari Allah. Diri kita tidak punya andil dalam mendatangkan kenikmatan-kenikmatan tersebut. Janganlah dia bersikap seperti perkataan Qorun yang merasa punya harta banyak karena ilmu yang dimilikinya.
Setelah kita mewujudkan melalui pengakuan hati, selanjutnya kita ucapkan dengan lisan. Diantaranya dengan mengucapkan “alhamdulillah” atau ucapan-ucapan pujian lainnya. Dan diantara bentuk lain dari bersyukur dengan lisan adalah menyebutkannya kepada orang lain bahwasanya kita baru saja mendapatkan manfaat atau kemudahan-kemudahan dari Allah. Namun sebaiknya kita hanya menceritakannya kepada orang-orang terdekat atau orang-orang yang kita percayai saja, atau kita menceritakannya dalam konteks umum tanpa memberitahukan secara detail nikmat apa yang baru saja kita peroleh. Hal ini untuk menghindarkan diri kita dari hasad yang bisa jadi muncul dari orang yang tidak suka. Itu diantara bentuk bersyukur dengan lisan yaitu menyebut-nyebut nikmat kepada orang lain. Namun kita harus berhati-hati, mengikhlaskan niat, dan menghindarkan diri dari sombong, riya’, dan pamer.
Setelah kita mewujudkan melalui ucapan di lisan, selanjutnya kita tampakkan pada anggota badan. Diantaranya dengan memakai pakaian-pakaian yang bersih dan bagus, yang tidak sampai pada derajat berlebihan dan bermewah-mewahan. Diantara bentuk bersyukur kepada Allah dengan anggota badan adalah dengan shalat. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat, beliau berdiri hingga kedua telapak kaki beliau bengkak, lalu ‘Aisyah bertanya, “Kenapa engkau melakukan semua ini, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan ampunan bagimu atas dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?” Lalu beliau menjawab,
أَفَلاَ أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا
“Apakah tidak boleh jika aku termasuk hamba yang bersyukur.” (HR Bukhari no. 4837 dan Muslim no. 2820)
Demikianlah seharusnya seorang muslim ketika mensyukuri nikmat-nikmat Allah pada dirinya. Dia mensyukurinya melalui hati, lisan, dan anggota badan. Karena kebanyakan manusia tidak bersyukur. Allah berfirman:
وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS Saba’ : 13)
Mereka tidak berterima kasih kepada Allah, akan tetapi justru kufur terhadap nikmat-nikmat Allah. Dia tidak merasa cukup, dia selalu melihat ke atas, sehingga menghilangkan rasa syukurnya kepada Allah. Karena itu, hendaknya kita menghiasi diri kita dengan sifat qanaah dan selalu merasa puas dengan apa yang Allah berikan kepada kita. Nabi bersabda:
اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
“Lihatlah kepada yang di bawah kalian dan janganlah kalian melihat yang di atas kalian, sesungguhnya hal ini akan menjadikan kalian tidak merendahkan nikmat Allāh yang Allāh berikan kepada kalian.” (HR Muslim No. 2963)
Jika masalah agama maka lihatlah ke atas dan jangan melihat ke bawah. Adapun dalam masalah dunia maka lihatlah ke bawah dan jangan lihat ke atas. Dan barang siapa yang memiliki sifat qanaah maka dia akan hidup dengan tenteram. Penyair berkata:
إِذَا مَا كُنْتَ ذَا قَلْبٍ قَنُوْعٍ ….. فَأَنْتَ وَمَالِكُ الدُّنْيَا سَوَاءُ
Jika engkau memiliki hati yang selalu qona’ah
Maka sesungguhnya engkau sama seperti raja dunia
Sehingga bahagia tidak harus memiliki harta yang banyak, tetapi yang terpenting adalah qanaah, manerima pemberian Allah.