Tafsir Surat Al-A’la
Surat ini adalah surat yang istimewa karena banyak dihafalkan oleh kaum muslimin dan dan sering dilantunkan oleh para imam. Terdapat banyak dalil yang menyebutkan tentang keutamaan surat ini, bahkan disebutkan dalam sebuah riwayat bahwasanya Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam mencintai surat Al-A’la.
Ali bin Abi Tholib berkata
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ هَذِهِ السُّورَةَ: سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى
‘’Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencintai surat ini yaitu sabbihisma Rabbikal A’laa’’ (HR Ahmad no 742 akan tetapi sanadnya lemah)
Diantara keutamaan surat Al-A’la adalah Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam menjadikan surat Al-A’la sebagai surat yang sering dibaca oleh Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam dalam shalat witirnya pada rakaat pertama
Dari Ubay bin Ka’ab ia berkata :
«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ»
‘’Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sholat witir dengan membaca Sabbihisma Rabbikal A’la dan Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruun, dan Qul Huwallahu Ahad’’ (HR Ibnu Majah no 1171, Abu Dawud no 1423. Demikian juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dalam al-Musnad no 15355 dan at-Tirmidzi no 462)
Dimana shalat witir itu sendiri merupakan shalat yang sangat mulia, bahkan sebagian ulama berpendapat bahwasanya shalat witir itu hukumnya wajib, meskipun yang benar adalah tidak wajib melainkan sunnah muakkadah yaitu sunnah yang sangat dianjurkan. Karenanya Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam tidak pernah meninggalkan shalat witir baik ketika mukim atau sedang bersafar.
Sampai-sampai Al-Imam Ahmad pernah berkata :
مَنْ تَرَكَ الْوِتْرَ عَمْدًا فَهُوَ رَجُلُ سَوْءٍ، وَلَا يَنْبَغِي أَنْ تُقْبَلَ لَهُ شَهَادَةٌ
‘’Siapa yang meninggalkan sholat witir dengan sengaja makai a adalah seorang yang buruk, tidak pantas untuk diterima syahadah/persaksiannya’’ (al-Mughni 2/118)
Seorang lelaki yang tidak shalat witir padahal dia mengetahui keutamaannya dan bagaimana cintanya Nabi terhadap shalat witir hingga beliau tidak pernah meninggalkannya, lantas dia meninggalkannya, dinilai sebagai seorang lelaki yang buruk.
Diantara keutamaan lainnya, surat Al-A’la bersama dengan surat Al-Ghasyiyah selalu dibaca oleh Nabi dalam shalat-shalat ‘Ied, demikian juga dalam shalat Jumat.
An-Nu’maan bin Basyiir berkata :
«كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ، وَفِي الْجُمُعَةِ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ»، قَالَ: «وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ، فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ، يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِي الصَّلَاتَيْنِ»
‘’Adalah Rasulullah tatkala sholat ‘ied (‘iedul fithri dan ‘iedu adha) dan sholat Jum’at beliau membaca Sabbihisma Rabbikal A’laa dan Hal Ataaka Hadiitsul Ghoosyiah’’. An-Nu’man berkata, ‘’Dan jika berkumpul antara ‘ied dan Jum’at dalam satu hari maka Nabi membaca kedua surat tersebut juga pada dua sholat tersebut (sholat ‘ied dan sholat Jum’at)’’ (HR Muslim no 878)
Ini menunjukkan keutamaan dua surat ini, dipilih oleh Nabi untuk dibaca ketika kaum muslimin sedang berkumpul. Hal ini tidak lain karena kandungan kedua surat ini yang sangat penting untuk didengar oleh kaum muslimin tatkala mereka sedang berkumpul.
Dan kita tahu bahwasanya hari raya milik kaum muslimin adalah hari raya yang istimewa, tidak sama dengan hari raya umat-umat lain yang isinya hanya hura-hura dan lupa dengan akhirat. Berbeda dengan hari raya kaum muslimin, seperti idul adha yang didahului dengan ibadah haji dan idul fitri yang didahului dengan puasa ramadhan, semua didahului dengan ibadah. Kemudian kedua hari raya tersebut dibuka dengan sholat sebagai bentuk syukur kepada Allah, maka sungguh Indah hari raya kaum muslimin.
Kemudian diantara hadist lain yang menyebutkan tentang surat Al-A’la adalah kisah masyhur tentang Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu yang terlalu panjang bacaannya tatkala beliau menjadi imam. Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata,
صَلَّى مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ الْأَنْصَارِيُّ لِأَصْحَابِهِ الْعِشَاءَ. فَطَوَّلَ عَلَيْهِمْ فَانْصَرَفَ رَجُلٌ مِنَّا. فَصَلَّى فَأُخْبِرَ مُعَاذٌ عَنْهُ فَقَالَ: إِنَّهُ مُنَافِقٌ فَلَمَّا بَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ دَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ مَا قَالَ مُعَاذٌ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتُرِيدُ أَنْ تَكُونَ فَتَّانًا يَا مُعَاذُ؟ إِذَا أَمَمْتَ النَّاسَ فَاقْرَأْ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَاقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ، وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى»
“Mu’adz bin Jabal Al-Anshari pernah memimpin shalat Isya. Ia pun memperpanjang bacaannya. Lantas ada seseorang di antara kami yang sengaja keluar dari jama’ah. Ia pun shalat sendirian. Mu’adz pun dikabarkan tentang keadaan orang tersebut. Mu’adzpun berkata, ‘’Sesungguhnya ia seorang munafik’’. Tatkala perkataan Mu’adz sampai kepada orang tersebut maka iapun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan pada beliau apa yang dikatakan oleh Mu’adz padanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menasehati Mu’adz, “Apakah engkau ingin menjadi pembuat fitnah, wahai Mu’adz? Jika engkau mengimami orang-orang, bacalah surat Asy-Syams, Adh-Dhuha, Al-A’laa, Al-‘Alaq, atau Al-Lail.” (HR. Muslim, no. 465)
Hadist ini juga menunjukkan bahwa seorang imam hendaknya memperhatikan kondisi makmumnya. Tidak boleh sesuka hatinya memanjangkan shalatnya, karena boleh jadi makmumnya banyak kebutuhan, atau ada yang sakit atau ada udzur-udzur yang lainnya. Demikian juga sebagian imam memanjangkan dzikirnya yang mana dilakukan secara berjamaah -bahkan dzikirnya lebih Panjang dari sholatnya itu sendiri-, sehingga para makmumnya merasa sungkan untuk meninggalkannya meskipun punya banyak urusan, karena merasa dirinya wajib ikut dalam dzikir berjamaah tersebut. Padahal tidak demikian sunnah Nabi. Imam Asy-Syafii juga memilih pendapat bahwasanya dzikir yang disunnahkan adalah dzikir yang sendiri-sendiri. (lihat Al-Umm karya Imam Syafi’i 2/288).
Imam Asy-Syafii juga menyatakan jika ada hadist-hadist Nabi yang menunjukkan bahwa apabila terkadang dzikir Nabi keras maka maksud Nabi adalah ingin mengajarkan dzikir tersebut kepada para sahabatnya. Sehingga apabila para makmum telah mengerti tata cara dzikir yang sesuai sunnah, maka hendaknya mereka dzikir sendiri-sendiri. (lihat kitab al-Umm 2/289). Dan pendapat Imam Asy-Syafi’i ini juga dipilih oleh Imam An-Nawawi (lihat Al-Majmuu’ 3/468-469) dan Ibnu Hajar al-Haitami (lihat Al-Fataawaa al-Fiqhiyyah al-Kubro 1/157-158)
Ini lebih memudahkan mereka apabila ingin segera menunaikan kebutuhannya. Jika shalat yang terlalu lama saja ditegur oleh Nabi, maka lebih-lebih dzikir yang dilakukan secara berjamaah yang membuat orang-orang tidak bisa segera menunaikan kebutuhannya karena merasa wajib ikut dzikir berjamaah tersebut. Oleh karena itu, seseorang hendaknya berusaha menjalankan ibadah sesuai dengan sunnah yang diajarkan Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam. Wallahu a’lam bis showab
Terdapat khilaf diantara para ulama apakah surat Al-A’la adalah surat makiyyah atau surat madaniyah. Sebagian ulama berpendapat bahwasanya surat Al-A’la adalah surat madaniyah karena di dalamnya disebutkan tentang masalah zakat dan juga shalat. Allah berfirman dalam surat Al-A’la:
قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ (14) وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ (15)
“(14) Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan beriman); (15) Dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.” (QS Al-A’la : 14-15)
Sebagian ahli tafsir menafsirkan kata tazakka dengan membayar zakat fitri, kemudian fashalla dengan shalat id, sehingga ini menunjukkan bahwasanya surat ini madaniyyah karena zakat fitri dan salat id tidaklah di syariatkan kecuali di Madinah. Ini adalah pendapat Ad-Dhohaak (lihat Tafsir al-Qurthubi 13/20 dan At-Tahriir wa At-Tanwiir 30/271). Namun pendapat jumhur ulama ahli tafsir menyatakan bahwasanya surat Al-A’la adalah surat makiyyah, diturunkan sebelum Nabi berhijrah ke kota Madinah. Hal ini sangat jelas ditunjukkan dalam shahih Bukhari. Dari sahabat Al-Barra’ bin ‘Azib radhiyalahu ‘anhu dia berkata:
أَوَّلُ مَنْ قَدِمَ عَلَيْنَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ، وَابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَجَعَلاَ يُقْرِئَانِنَا القُرْآنَ، ثُمَّ جَاءَ عَمَّارٌ، وَبِلاَلٌ، وَسَعْدٌ ثُمَّ جَاءَ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ فِي عِشْرِينَ ثُمَّ ” جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا رَأَيْتُ أَهْلَ المَدِينَةِ فَرِحُوا بِشَيْءٍ، فَرَحَهُمْ بِهِ حَتَّى رَأَيْتُ الوَلاَئِدَ وَالصِّبْيَانَ، يَقُولُونَ: هَذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَاءَ فَمَا جَاءَ، حَتَّى قَرَأْتُ: {سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى} [الأعلى: 1] فِي سُوَرٍ مِثْلِهَا ”
“Orang pertama dari para sahabat yang datang ke kota Madinah ialah Mus’ab bin Umair dan Ibnu Ummi Maktum. Kedua orang inilah yang mengajarkan Al Qur’an kepada kami. Kemudian menyusul Ammar bin Yasir, Bilal, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Umar bin al-Khaththab bersama kafilah yang terdiri dari dua puluh orang. Setelah itu, barulah Rasulullah saw datang menyusul. Saya belum pernah melihat banyak orang bergembira seperti saat mereka menyambut kedatangan beliau, sehingga kaum wanita, anak-anak, dan para hamba sahaya perempuan bersorak-sorai meneriakkan, “Itulah dia, Rasulullah saw telah datang.” Sampai aku membaca sabbihisma rabbikal a’la dan beberapa surat yang semisal surat tersebut.” (HR Bukhari no. 4941)
Ini dalil bahwasanya sebelum Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam datang ke kota madinah ternyata Musa bin ‘Umair dan Ibnu Ummi Maktum telah mengajarkan surat Al-A’la yang menunjukkan bahwasanya surat sabbihisma rabbikal a’la adalah surat makiyyah yang diturunkan sebelum Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam berhijrah ke kota Madinah. (lihat Tafsir Ibnu Katsiir 8/370). Sebagian ulama menggabungkan dua pendapat di atas dan menyatakan bahwa surat al-A’la adalah surat Makkiyah akan tetapi sebagian ayatnya adalah Madaniyah, yaitu ayat yang berkaitan dengan zakat dan sholat ‘ied (lihat At-Tahriir wa at-Tanwiir 30/271)
Allah berfirman pada permulaan surat:
- سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى
“Sucikanlah namu Tuhanmu Yang Maha Tinggi”
سَبِّحِ dalam bahasa arab diambil dari kata تَسْبِيْحٌ artinya mensucikan. Ada banyak kata ‘mensucikan’ di dalam Al-Quran dengan berbagai shighah seperti bentuk fi’il mudhari’ يُسَبِّحُ, bentuk fi’il amr سَبِّحْ, bentuk fi’il madhi سَبَّحَ, bentuk isim masdar سُبْحَانَ, semuanya dalam rangka untuk mensucikan Allah. Hal ini karena Allah adalah Dzat yang berhak untuk disucikan dari perkataan mulhidin. Sebab ada banyak perkataan-perkataan atau aqidah-aqidah yang batil tentang Allah sehingga Allah memerintahkan Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam dan kaum muslimin untuk mensucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak pantas bagi Allah. Misalnya ketika Allah dituduh memiliki anak, maka Allah mengatakan سُبْحَانَ.
Diantara hal-hal yang tidak pantas bagi Allah adalah mensifati Allah dengan sifat-sifat yang kurang seperti cacat, buta, tuli, bisu, atau Allah punya anak, Allah punya istri, semua ini adalah sifat-sifat yang tidak pantas bagi Allah. Jika kita membuka buku-buku seperti al-Kitab maka kita akan mendapati sifat-sifat yang menunjukkan kerendahan Allah, seperti Allah itu menangis, Allah bisa menyesal dan hatinya pilu/sedih, Allah menyesal telah menciptakan manusia (lihat al-Kitab, Kejadian 6 ayat 6-7), Allah menyesal karena malapetaka yang dirancangkanNya atas umatnya (lihat al-Kitab, Keluaran 32 ayat 14). Allah menyesal menjadikan Saul raja atas Isra’il (lihat Al-Kitab Samuel 1 : 15 ayat 35). Disebutkan juga bahwa Allah mencari-cari Nabi Adam yang bersembunyi (lihat Al-Kitab, Kejadian 3 ayat 9-10), Allah juga tidak tahu ternyata Nabi Adam dan Hawwa telah memakan buah yang dilarang (lihat Al-Kitab, Kejadian 3 ayat 11). Disebutkan juga Allah istirahat karena letih setelah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, sehingga hari ke tujuh Allah istirahat. (lihat al-Kitab, Kejadian 2 ayat 2). Yang lebih parah disebutkan bahwa Allah bergulat dengan Nabi Ya’qub dan akhirnya Ya’qub yang menang (lihat Al-Kitab, Kejadian 32 ayat 22-28 dan Hosea 12 ayat 2-4). Hal-hal seperti ini mustahil didapati di dalam Al-Quran, justru di dalam Al-Quran Allah berulang-ulang menyuruh untuk mensucikan-Nya sebagaimana dalam banyak ayat.
Diantara hal yang perlu kita sucikan dari Allah adalah menyamakan Allah dengan makhluk. Memang benar bahwasanya beberapa sifat Allah sama dengan sifat-sifat makhluk dalam penamaan. Akan tetapi meskipun namanya sama tapi hakikatnya berbeda. Allah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS Asy-Syura : 11)
Allah mendengar dan juga melihat, akan tetapi pendengaran dan penglihatan Allah berbeda dengan makhluk. Penglihatan manusia sangat terbatas, begitupun pendengarannya, apabila ada lima orang yang berbicara secara bersamaan niscaya dia tidak akan bisa konsentrasi mendengarkannya. Berbeda dengan penglihatan dan pendengaran Allah, pendengaran Allah meliputi segala sesuatu di alam semesta ini, demikian juga penglihatan dan ilmunya. Manusia berilmu, Allah juga berilmu, akan tetapi ilmu Allah tidak bisa dibandingkan dengan ilmu manusia yang penuh dengan kekurangan. Sesuatu yang melekat di dalam manusia saja, tidak ada seorangpun yang bisa mengetahui hakikatnya, yaitu ruh. Seandainya ada seribu orang yang berbicara tentang ruh, maka akan ada seribu penafsiran tentangnya. Allah berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kalian tidak diberikan pengetahuan kecuali sangat sedikit.” (QS Al-Isra’ : 85)
Oleh karena itu, tidak boleh terbetik dalam benak kita bahwasanya sifat Allah sama hakikatnya dengan sifat manusia, meskipun namanya sama. Contoh lain Allah punya tangan, maka tidak boleh terbetik dalam benak kita bahwasanya tangan Allah sama seperti tangan manusia, karena itu tidak mungkin. Allah berfirman:
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ ۚ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamatm dan langit akan digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS Az-Zumar : 67)
Dan kaidah ini berlaku untuk seluruh sifat-sifat Allah, barangsiapa yang menyamakan antara sifat Allah dengan sifat makhluk maka telah terjerumus dalam kesyirikan. Inilah makna dari ayat ini, yaitu agar kita menyucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak pantas bagi Allah dan dari penyamaan antara sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya.
Kemudian dari ayat ini kita mengetahui bahwa diantara sifat Allah adalah Maha Tinggi, ada banyak dalil-dalil yang menunjukkan ke-MahaTinggi-an Allah. Allah Maha Tinggi dalam tiga perkara; Pertama, Allah Maha Tinggi sifat-sifat-Nya yaitu sifat-sifat Allah semuanya adalah sifat-sifat yang sempurna; Kedua, Allah Maha Tinggi di atas seluruh makhluk-Nya; Ketiga Dzat Allah Maha Tinggi.
Semua umat islam sepakat bahwasanya sifat-sifat Allah adalah sifat yang tinggi, begitupun semua sepakat bahwasanya tidak ada satu makhluk pun yang menyamai ketinggian Allah. Namun dalam masalah ketinggian Dzat, di tengah kaum muslimin telah terjadi penyimpangan. Sebagian kaum muslimin sampai sekarang meyakini bahwa Allah ada di mana-mana. Padahal pendapat ini sudah dibantah oleh Imam Ahmad beratus-ratus tahun yang lalu di dalam kitabnya Ar-Radd ‘alal Jahmiyah waz zanaadiqoh, karena kelaziman bahwasanya Allah ada di mana-mana sangat berbahaya. Bahwasanya Allah ada di kamar mandi, Allah di dalam perut hewan, Allah juga di dalam perut kita, Maha Suci Allah dari pendapat bathil seperti ini. Sesungguhnya ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal.
Sebagian ada yang mengatakan bahwasanya Allah tidak di atas tidak pula di bawah, sebagaimana perkataan orang-orang filsafat. Lantas Allah itu dimana jika tidak di atas tidak pula di bawah, keyakinan seperti ini akan berkonsekuensi bahwa Allah itu tidak ada. Allah Maha Suci dari anggapan seperti itu. Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah dalam kitabnya Risalah ila ahlits tsaghr telah menyebutkan bahwasanya para sahabat telah ijma’ (sepakat) Allah berada di atas ‘Arsy. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh banyak ayat-ayat Al-Quran dan hadist-hadist Nabi.
Keyakinan bahwasanya Allah berada di atas adalah fitrah manusia. Karenanya kita dapati semua manusia jika berdoa maka tangannya pasti menengadah ke atas. Seandainya Allah berada di mana-mana maka tangannya juga akan ke mana-mana. Demikian kita dapati semua orang kalau menghadapi permasalahan yang berat mereka berkata, ‘’Kita serahkan kepada Yang di atas’’.
Pendapat yang mengatakan Allah ada di mana-mana atau Allah tidak di atas dan tidak di bawah dan tidak dimana-mana juga secara tidak langsung mengingkari mukjizat Isra’ Mi’raj. Karena ketika Nabi shalallahu’alayhi wa sallam menjalani peristiwa Isra’ Mi’raj, beliau dibawa ke atas langit ketujuh untuk bertemu dengan Allah Rabbul ‘Aalamin. Oleh karena itu, sebagian ulama Syafi’iyyah memberi perhatian khusus tentang masalah ini, diantaranya Imam Adz-Dzahabi rahimahullah di dalam kitabnya yang berjudul Al-‘Uluw li al-‘Aliy al-Ghoffaar yang sekarang tercetak menjadi 2 jilid. Dalam buku tersebut disebutkan seluruh perkataan ulama salaf dari zaman dahulu sampai zaman beliau tentang Allah berada di atas.
Keyakinan bahwa Allah tidak berada di atas akan menjerumuskan manusia dalam pemahaman yang batil. Contohnya meyakini bahwasanya Allah berada dimana-mana. Atau sebagiannya meyakini bahwasanya Allah bisa bersatu dengan makhluk yang dikenal dengan istilah aqidah wihdatul wujud atau manunggal ing kawula gusti. Ini adalah aqidah yang batil, sama seperti aqidah trinitas yang meyakini Allah bersatu dengan Nabi Isa. Pendapat-pendapat seperti ini merupakan kekufuran. Terlalu banyak dalil yang menunjukkan Allah berada di atas ‘Arsy. Allah berfirman tentang Nabi Isa:
بَل رَّفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ ۚ
“Tetapi Allah mengangkat (ke atas) Nabi Isa menuju Allah” (QS An-Nisa’ : 158)
Allah juga berfirman:
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ ۚ
“Kepada-Nyalah akan naik perkataan-perkataan yang baik, dan amal kebajikan Dia akan mengangkatnya.” (QS Fathir : 10)
Dan terlalu banyak ayat-ayat dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan Allah itu di atas.
Kemudian Allah berfirman:
- الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّىٰ
“Yang menciptakan lalu menyempurnakan (penciptaan-Nya)”
Allah telah menciptakan seluruh makhluk dan sungguh Allah telah menyempurnakan penciptaan-penciptaan-Nya. Sehingga dapat kita saksikan ciptaan-ciptaan Allah yang sungguh indah dan menakjubkan. Apabila kita memperhatikan penciptaan manusia saja, kita akan jumpai bentuk dan susunan yang luar biasa. Begitupun dengan makhluk-makhluk yang lain, Allah menciptakan dan menyempurnakannya sesuai dengan kondisi masing-masing makhluk.
Ibnu Katsir berkata :
سَوَّى كُلَّ مَخْلُوْقٍ فِي أَحْسَنِ الْهَيْئَاتِ
“Allah telah menyempurnakan seluruh makhluk dalam bentuk yang terindah” (Tafsir Ibnu Katsir 8/372)
Dan telah lalu tafsir firman Allah :
الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ
“yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan penciptaanmu seimbang” (QS Al-Infithoor : 7)
Kemudian Allah berfirman:
- وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَىٰ
“Yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk”
فَهَدَىٰ “memberi petunjuk”, yang dimaksud dengan petunjuk disini adalah hidayah kauniyah yaitu Allah memberi hidayah sesuai dengan kebutuhan makhluk tersebut. Oleh karena itu, banyak tabiat-tabiat atau fitrah-fitrah yang telah ada dalam diri setiap makhluk. Seperti ketika seekor kambing melahirkan anaknya, maka siapa yang mengajari anaknya tersebut untuk mencari puting ibunya, dia belum pernah belajar dan belum pernah ada yang mengajarinya, ibunya juga tidak mendekat-dekatkan putingnya kepada anaknya. Namun tiba-tiba saja anaknya dengan fitrahnya mencari sendiri puting susu ibunya kemudian mengisapnya. Hal ini tidak mungkin terjadi kecuali atas campur tangan Allah.
Dan banyak perkataan para salaf tentang hidayah kauniyah ini, diantaranya :
- Allah memberi hidayah (petunjuk/insting) kepada para hewan untuk mencari tempat menggembalanya
- Allah memberi petunjuk bagaimana seekor jantan mendatangi betina, meskipun tidak ada yang mengajarkannya
- Allah mentaqdirkan rizki dan memberi petunjuk bagaimana cara mencari rizki
- Allah menciptakan banyak manfaat pada benda-benda, lalu Allah memberi petunjuk kepada manusia bagaimana cara mengeluarkan manfaat tersebut (lihat Tafsir al-Baghowi 8/400)
Kemudian Allah berfirman:
- وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعَىٰ
“Dan Yang menumbuhkan rerumputan”
Yaitu Allah menumbuhkan tetumbuhan dan rerumputan dengan berbagai macamnya, yang hijau, yang merah, kuning, dan putih (lihat Tafsir At-Thobari 24/312 dan Tafsir al-Baghowi 8/400)
- فَجَعَلَهُ غُثَاءً أَحْوَىٰ
“Lalu dijadikan-Nya (rumput-rumput) itu kering dalam kehitam-hitaman”
Seakan-akan Allah menyebutkan bahwasanya demikianlah hakekat dunia. Sebagaimana tumbuh-tumbuhan yang dikeluarkan oleh Allah, suatu saat nanti akan berubah menjadi mengering, kemudian darinya akan tampak kehitam-hitaman. Memperingatkan bahwa usia kehidupan hanyalah sebentar yang hal ini diisyaratkan dengan perubahan tahapan kehidupan, sebagaimana tumbuhan dari hijau lalu menguning lalu akhirnya kering dan kehitam-hitaman. (lihat At-Tahriir wa At-Tanwiir 30/279).
Manusiapun demikian sebagaimana firman Allah :
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban” (QS Ar-Ruum : 54)
Kemudian Allah berfirman:
- سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنسَىٰ
“Kami akan membacakan (Al-Quran) kepadamu (Muhammad) sehingga engkau tidak akan lupa”
Ada dua pendapat di kalangan ulama tentang makna laa pada kalimat فَلَا تَنسَىٰ. Pendapat pertama mengatakan النِّسْيَانُ disini artinya adalah lupa, sehingga makna ayat adalah “Kami akan membacakan (Al-Quran) kepadamu (Muhammad) sehingga engkau tidak akan lupa.” Ini didukung dengan ayat yang lain di dalam Al-Quran. Ketika Al-Quran turun kepada Nabi Muhammad melalui Jibril, beliau ingin segera menghafalkannya, kemudian Allah tegur dengan berfirman:
لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (17)
“(16) Jangan engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk membaca Al-Quran) karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya; (17) Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya.” (QS Al-Qiyamah 16-17)
Oleh karena itu, Allah-lah yang menjadikan Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam bisa menghafal Al-Quran, dan Allah pulalah yang menjadikan Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam tidak lupa dengan hafalan tersebut, kecuali sebagian yang Allah kehendaki yang Allah mansuukhan sehingga engkaupun melupakannya.
Pendapat kedua النِّسْيَانُ di sini maknanya adalah التَّرْكُ “meninggalkan” sehingga makna ayat adalah Allah akan menjagamu dari meninggalkan mengamalkan ayat-ayat al-Qur’an, sehingga engkau akan selalu mengamalkannya kecuali jika Allah menghendaki yaitu jika terjadi ayat-ayat yang dimansuukh sehingga engkau meninggalkan beramal dengannya karena telah dimansuukhkan. (lihat Tafsir al-Qurthubi 20/19)
Dari sini jelas bahwa kedua pendapat di atas termasuk khilaf tanawwu’ karena saling mendukung dan tidak kontradiktif. Dan ayat ini menunjukan bahwa Allah menjamin bahwa al-Qur’an akan terjaga dari kekurangan (Lihat At-Tahriir wa At-Tanwiir 30/281)
Setelah itu Allah berfirman:
- إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۚ إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَمَا يَخْفَىٰ
“Kecuali jika Allah menghendaki. Sungguh Dia mengetahui yang nampak dan yang tersembunyi”
Yaitu kecuali Allah menjadikan Nabi lupa terhadap beberapa ayat dari Al-Quran, seperti ayat-ayat yang di-mansukh oleh Allah. Allah berfirman:
مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا ۗ
“Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.” (QS Al-Baqarah : 106)
Menunjukkan bahwasanya ada ayat-ayat Al-Quran yang pernah dibaca oleh Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam kemudian dimansukhkan ayatnya oleh Allah lalu dilupakan, sehingga tidak lagi terbaca sekarang. Namun pada asalnya Nabi tidak akan lupa kecuali Allah yang membuatnya lupa dan ada kemaslahatan dibalik keputusan Allah tersebut.
Kemudian dalam ayat ini, Allah mengatakan bahwasanya Dia mengetahui yang nampak dan yang tersembunyi. Mengapa Allah mengatakan bahwasanya Dia juga mengetahui yang nampak, padahal dalam ayat ini Allah juga mengatakan bahwasanya Dia mengetahui yang tersembunyi. Secara logika apabila seseorang mengetahui yang tersembunyi maka tentu saja dia lebih mengetahui yang nampak. Sehingga cukup Allah mengabarkan bahwasanya Dia mengetahui yang tersembunyi. Tetapi Allah sengaja menyampaikannya juga karena yang nampak dan yang tersembunyi bagi Allah sama saja tidak ada bedanya, demikianlah kata para ulama. Allah berfirman:
وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ ۖ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau nampakkanlah. Sungguh, Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS Al-Mulk : 13)
Jangankan perkataan yang diucapkan dengan pelan-pelan, bahkan perkataan yang ada di dalam hati saja Allah juga mengetahuinya. Allah berfirman:
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ
“Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka berhati-hatilah.” (QS Al-Baqarah : 235)
Sehingga setiap manusia tidak hanya memperhatikan gerak-gerik tubuhnya, tidak hanya berhati-hati dengan perkataan lisannya, bahkan karena hatinya pun dia harus berhati-hati. Jangan sampai ada niat buruk dalam hati kita, ada penyakit riya’, penyakit hasad, suudzan kepada saudara kita, berburuk sangka dan penyakit-penyakit hati lainnya karena sesunguhnya Allah Maha Mengetahui isi hati kita. Oleh karena itu, hendaknya kita berhati-hati karena ilmu Allah meliputi yang nampak dan yang tersembunyi.
Kemudian Allah berfirman:
- وَنُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَىٰ
“Dan Kami akan memudahkan bagimu ke jalan kemudahan”
Yaitu “Kami akan memudahkanmu wahai Muhammad untuk mengamalkan kebajikan”. Dan pendapat yang lain yaitu :
نُوَفِّقُكَ لِلشَّرِيعَةِ الْيُسْرَى وَهِيَ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ
“Kami akan membimbingmu kepada syari’at yang mudah yaitu al-Haniifiyah (bertauhid) dan As-Samhah (mudah)” (Tafsir al-Baghowi 8/401)
Ini mennujukan bahwasanya agama islam adalah agama yang mudah, dan ini nampak jika dibandingkan dengan agama-agama terdahulu. Agama yahudi, agama nasrani, memiliki aturan-aturan yang sangat ketat. Hal ini dapat kita saksikan pada pemeluk yahudi sekarang yang masih fanatik dengan agamanya, mereka hidup penuh dengan aturan-aturan. Berbeda dengan syariat agama islam yang dimudahkan oleh Allah. Misalnya tentang tata cara shalat, dalam sebuah hadist Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu, maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah.” (HR Bukhari no. 1117)
Dalam menjalankan syariat Islam, Allah memberikan banyak kemudahan. Allah berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS At-Taghabun : 16)
Kaidah ini berlaku secara umum, betapa banyak perkara yang seorang hamba jika dia tidak mampu melaksanakannya maka gugur hukumnya. Misalnya dalam masalah haji, Allah berfirman:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ
“Dan (diantara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan kesana.” (QS Ali ‘Imran : 97)
Namun lihatlah bagaimana syariat yang dibebankan kepada umat terdahulu. Seperti umat Nabi Musa pada zamannya, setelah bertaubat dari dosa mereka akan disuruh bunuh diri. Berbeda dengan sekarang, jika seseorang berdosa setelah itu bertaubat dengan taubat nashuha maka Allah akan mengampunkan dosanya. Oleh karena itu, syariat islam adalah syariat yang mudah, jangan dipersulit dengan aturan-aturan yang tidak pernah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Jangan dipersulit dengan keyakinan-keyakinan yang tidak pernah diyakini oleh Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam. Sebagian kaum muslimin ketika ingin melakukan suatu acara, mereka seringkali terbentur dengan keyakinan-keyakinan yang aneh, tidak boleh karena pamali, lewat primbon tidak pas, tidak boleh bertepatan dengan jumat kliwon atau rabu pahing, dan aturan-aturan lainnya yang menyulitkan diri sendiri. Padahal Allah menurunkan syariat Islam ini beserta aturan-aturannya yang sangat mudah.
Kemudian Allah berfirman:
- فَذَكِّرْ إِن نَّفَعَتِ الذِّكْرَىٰ
“Oleh sebab itu, berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat”
Secara tekstual, ayat ini bermakna “Berikanlah peringatan jika peringatan itu bermanfaat.” Karenanya sebagian ulama seperti Al-Hafidz Ibnu Katsir menyatakan bahwasanya tidak semua orang diberi peringatan dan nasehat, apabila tidak ada manfatnya maka tidak perlu diberi peringatan, atau justru menimbulkan mudharat maka jangan diberi peringatan (lihat Tafsir Ibnu Katsir 8/372 dan ini juga pendapat yang dipilih oleh As-Sa’adi dalam tafsirnya hal 920). Ibnu Katsir membawakan atsar dari Ali bin Abi Thalib, beliau berkata:
حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
“Sampaikanlah kepada manusia sesuai dengan nalar mereka. Atau kamu ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (HR Al-Bukhari no 127)
Maka tidak semua diberi peringatan, jika peringatan tersebut tidak sesuai dengan nalar pendengarnya maka hendaknya tidak disampaikan. Namun sampaikanlah peringatan tersebut kepada orang yang sesuai dengan nalar mereka. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga pernah berkata:
مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لا تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ ؛ إِلا كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةٌ
“Tidaklah engkau menyampaikan suatu hadist yang akal mereka tidak dapat menjangkaunya kecuali akan menimbulkan fitnah.” (Mukaddimah Shahih Muslim)
Dari sini sebagian ulama menyimpulkan bahwa memberi peringatan itu adalah kepada orang yang bisa mengambil manfaat dari peringatan tersebut, ini adalah pendapat yang pertama.
Pendapat kedua menyatakan bahwasanya peringatan itu diberikan kepada siapa saja, baik dia mengambil manfaat atau tidak nasehat tetap disampaikan (lihat Tafsir Al-Qurthubi 20/20), namun tetap menimbang maslahat dan mudharat. Sebagaimana Fir’aun yang tidak mungkin beriman tetapi tetap diberi peringatan oleh Nabi Musa. Karenanya, jika orang yang diberi peringatan bisa mengambil faidah maka dia juga akan mendapat ganjaran, jika tidak mengambil faidah maka hujjahnya telah tegak dan dia tidak punya udzur di hadapan Allah karena telah melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu, peringatan tetap harus disampaikan tentunya dengan kata-kata yang halus penuh sopan santun sehingga diharapkan peringatan tersebut bisa bermanfaat.
Kemudian Allah berfirman:
- سَيَذَّكَّرُ مَن يَخْشَىٰ
“Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran”
Ini menguatkan pendapat yang kedua, manfaat atau tidak manfaat hendaknya tetap memberi peringatan, karena orang yang takut kepada Allah akan mengambil peringatan tersebut.
Kemudian Allah berfirman:
- وَيَتَجَنَّبُهَا الْأَشْقَى
“Dan orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya”
Yaitu menjauhi peringatan tersebut. Ini adalah sifat-sifat penghuni neraka jahannam. Jika diberi peringatan dia akan lari menjauh. Sebagaimana keterangan dari Nabi Nuh ketika dia mendakwahi kaumnya, Allah berfirman:
قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلًا وَنَهَارًا (5) فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلَّا فِرَارًا (6)
Dia (Nuh) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam; dan seruanku itu tidak menambah (iman) mereka, justru mereka lari (dari kebenaran).” (QS Nuh : 5-6)
Tetapi Nabi Nuh terus berdakwah, entah kaumnya mendengarkannya atau tidak.
Kemudian Allah berfirman:
- الَّذِي يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَىٰ
“(yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka)”
Allah menyebutkan api yang besar, lantas apakah ada api yang kecil? Kata para ulama, api yang kecil adalah sebelum di akhirat yaitu di kuburan. Orang yang jahat, orang yang kafir, orang yang dzalim, mereka telah merasakan siksaan dengan api di kuburan. Dan kelak mereka akan kembali merasakan siksaan dengan api yang besar yaitu di neraka jahannam.
Dan ada yang berpendapat bahwa api yang besar adalah api neraka bagi orang-orang kafir, adapun api yang kecil adalah untuk orang-orang yang bertauhid yang bermaksiat sehingga masuk neraka (lihat Tafsir Al-Qurthubi 20/21). Karena neraka bertingkat-tingkat, dan neraka kaum kafir tidak sama dengan neraka kaum muslimin para pelaku maksiat.
- ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَىٰ
“Selanjutnya dia disana tidak mati dan tidak (pula) hidup”
Kita tahu bahwasanya hanya ada dua kemungkinan, apakah seseorang itu masih hidup atau mati, tidak ada orang yang pada saat bersamaan dia hidup dia juga mati atau tidak hidup tidak pula mati. Namun tatkala seseorang diadzab di neraka jahannam, dia akan merasakan yang namanya tidak mati dan juga tidak hidup. Dia tidak mati sehingga beristirahat dari adzab yang pedih, namun dia juga tidak hidup karena kehidupannya penduh dengan adzab yang pedih (lihat Tafsir As-Sma’aani 6/210).
Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَارًا كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُم بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَزِيزًا حَكِيمًا
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan kami masukkan ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, kami akan ganti dengan kulit yang lain, agar mereka merasakan adzab. Sungguh Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS An-Nisa : 56)
Dan adzab neraka jahannam itu tidak hanya membakar bagian luar saja. Allah menyebutkan tentang sifat neraka jahannam, Allah berfirman:
الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ
“yang (membakar) sampai hati.” (QS Al-Humazah : 7)
Neraka jahannam membakar sampai ke bagian dalam, ke dalam hati, jantung, bahkan sampai sel-selnya ikut terbakar. Ini adalah siksaan yang sangat mengerikan, karenanya mereka meminta untuk mati. Sebagaimana yang Allah firmankan tentang perkataan mereka:
وَنَادَوْا يَا مَالِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ ۖ قَالَ إِنَّكُم مَّاكِثُونَ
“Dan mereka berseru, ‘Wahai (Malaikat) Malik! Biarlah Tuhanmu mematikan kami saja.’ Dia menjawab, ‘Sungguh kamu akan tetap tinggal (di neraka ini)’.” (QS Az-Zukhruf : 77)
Setelah mereka tahu bahwasanya mereka tidak akan mengalami kematian, maka mereka minta keringanan kepada Allah. Allah mengabarkan perkataan mereka dalam firman-Nya:
وَقَالَ الَّذِينَ فِي النَّارِ لِخَزَنَةِ جَهَنَّمَ ادْعُوا رَبَّكُمْ يُخَفِّفْ عَنَّا يَوْمًا مِّنَ الْعَذَابِ
“Dan orang-orang yang berada dalam neraka berkata kepada penjaga-penjaga neraka jahannam, ‘Mohonkanlah kepada Tuhanmu agar Dia meringankan adzab atas kami sehari saja’.” (QS Ghafir : 49)
Allah juga berfirman dalam ayat yang lain:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا لَهُمْ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقْضَىٰ عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُم مِّنْ عَذَابِهَا ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِي كُلَّ كَفُورٍ
“Dan orang-orang yang kafir, bagi mereka neraka Jahannam. Mereka tidak dibinasakan hingga mati, dan tidak diringankan dari mereka adzabnya. Demikianlah Kami membalas setiap orang yang sangat kafir.” (QS Fathir : 36)
Sesungguhnya adzab untuk orang-orang kafir tidak akan ada keringanan. Jawaban untuk permintaan mereka hanyalah satu, Allah berfirman:
فَذُوقُوا فَلَن نَّزِيدَكُمْ إِلَّا عَذَابًا
“Maka karena itu rasakanlah! Maka tidak ada yang akan Kami tambahkan kepadamu selain adzab.” (QS An-Naba : 30)
Oleh karena itu, siksaan yang mereka rasakan sangat pedih luar biasa. Dimana tidak ada tambahan bagi mereka kecuali adzab. Kemungkinannya ada dua, bisa jadi adzabnya ditambah dengan bentuk yang lain, atau bisa jadi dengan adzab yang sama tetapi bertambah keras.
Al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan bahwasanya penghuni neraka yang tidak pernah mati dan tidak pula hidup hanya berlaku untuk orang-orang kafir karena surat Al-A’la berbicara tentang orang kafir yang tidak mau menerima peringatan dari Allah. Adapun penghuni neraka dari kalangan kaum muslimin maka suatu saat akan dikeluarkan oleh Allah kemudian dimatikan lalu dimasukkan ke dalam sungai-sungai surga setelah itu tumbuh kembali dalam bentuknya yang sempurna dan akhirnya dimasukkan ke dalam surga. Hadist-hadist yang menunjukkan akan hal ini sangatlah banyak. Diantaranya Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
أَمَّا أَهْلُ النَّارِ الَّذِيْنَ هُمْ أَهْلُهَا، فَإِنَّهُمْ لاَ يَمُوْتُوْنَ فِيْهَا وَلاَ يَحْيَوْنَ. وَلَكِنْ نَاسٌ أَصَابَتْهُمُ النَّارُ بِذُنُوْبِهِمْ – أَوْ قَالَ : بِخَطَايَاهُمْ- فَأَمَاتَهُمْ إِمَاتَةً، حَتَّى إِذَا كَانُوْا فَحْمًا، أُذِنَ بِالشَّفَاعَةِ. فَجِيْءَ بِهِمْ ضَبَائِرَ- ضَبَائِرَ، فَبُثُّوْا عَلَى أَنْهَارِ الْجَنَّةِ ، ثُمَّ قِيْلَ : يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ أَفِيْضُوْا عَلَيْهِمْ. فَيَنْبُتُوْنَ نَبَاتَ الْحِبَّةِ تَكُوْنُ فِى حَمِيْلِ السَّيْلِ”.
“Adapun ahli Neraka yang menjadi penghuni kekalnya, maka mereka tidak mati di dalamnya dan tidak hidup. Akan tetapi orang-orang yang ditimpa oleh siksa Neraka karena dosa-dosanya –atau Rasul bersabda, karena kesalahan-kesalahannya- maka Allah akan mematikan mereka dengan suatu kematian. Sehingga apabila mereka telah menjadi arang, Nabi diizinkan untuk memberikan syafa’at (kepada mereka). Lalu mereka di datangkan berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, lalu dimasukkan ke sungai-sungai di surga. Selanjutnya dikatakan (oleh Allah): “Wahai penghuni surga, kucurkanlah air kehidupan kepada mereka”. Maka tumbuhlah mereka laksana tumbuhnya benih-benih tetumbuhan di larutan lumpur yang dihempaskan arus air.” (HR Muslim no. 306)
Hadits ini menceritakan keadaan orang muslim yang terjerumus dalam berbagai macam kemaksiatan namun tidak sampai derajat kufur. Mereka akan disiksa di neraka jahannam sesuai dengan dosa-dosa yang mereka lakukan kemudian dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam surga, selama dia masih bertauhid. Hadist-hadist lain yang menunjukkan akan hal ini sangat banyak, dan ini merupakan aqidah ahlus sunnah wal jamaah. Berbeda dengan aqidah khawarij, yang meyakini bahwa apabila seseorang sekalinya masuk neraka maka dia tidak akan keluar. Sehingga dengan keyakinan ini, mereka akan menyamakan nasib seorang pezina yang masih muslim dengan seorang yang kafir kepada Allah yaitu sama-sama tidak akan keluar dari neraka jahannam. Dan ini adalah pendapat yang bathil.
Kemudian Allah berfirman:
- قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan beriman)”
Yaitu mensucikan dirinya dari akhlak-akhlak yang buruk kemudian menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak yang mulia
- وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ
“Dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat”
Begitupun dengan seorang hamba yang senantiasa berdzikir mengingat Allah dan memperbanyak shalat dan bersujud kepada Allah juga mendapatkan keberuntungan, bisa menjadi modal yang besar untuk masuk ke dalam surga. Dalam suatu hadits dari Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslami radhiyallahu ‘anhu dia berkata :
كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ فَقَالَ لِي سَلْ فَقُلْتُ أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ قَالَ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ قُلْتُ هُوَ ذَاكَ قَالَ فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Saya bermalam bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku membawakan air wudhunya dan air untuk hajatnya, maka beliau bersabda kepadaku, ‘Mintalah kepadaku.’ Maka aku berkata, ‘Aku meminta kepadamu agar aku menemanimu di surga -dia berkata, ‘Atau dia selain itu’. Aku menjawab, ‘Itulah yang dia katakan-maka beliau menjawab, ‘Bantulah aku untuk mewujudkan keinginanmu dengan banyak melakukan sujud’.” (HR Muslim no. 754)
Kemudian Allah berfirman:
- بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
“Sedangkan kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan dunia”
- وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ
“Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan kekal”
Ini adalah sesuatu yang mengherankan dari perkara manusia, dimana kebanyakan dari mereka lebih mendahulukan dunia daripada akhirat. Padahal apabila kita renungi kemudian kita bandingkan, dunia tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan akhirat. Karenanya Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda tentang dunia:
لَوْ كَانَتِ الدُّنْـيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ ، مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
“Seandainya dunia di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk, maka Dia tidak memberi minum sedikit pun darinya kepada orang kafir.” (HR Tirmidzi no. 2320 dan Ibnu Majah no. 4110)
Namun karena dunia ini ringan dan rendah di sisi Allah maka Allah berikan minuman kepada orang kafir, Allah berikan kekayaan kepada orang kafir. Oleh karena itu, hendaknya dunia ini dijadikan sarana semata menuju akhirat, jangan dijadikan keutamaan. Sebagaimana doa Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam:
وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا، وَلَا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا، وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا
“Ya Allah, Janganlah Engkau jadikan musibah yang menimpa kami dalam urusan agama kami, dan jangan pula Engkau jadikan (harta dan kemewahan) dunia sebagai cita-cita kami yg paling besar, dan tujuan utama dari ilmu yg kami miliki.” (HR Tirmidzi no.3502)
Tetapi barang siapa yang justru menjadikan dunianya sebagai puncak kehidupannya niscaya dia tergolong sebagai orang yang celaka. Sebagaimana sindiran Allah dalam ayat ini bahwasanya manusia itu lebih mendahulukan dunia daripada akhirat.
Jika kita mencoba membandingkan antara kenikmatan dunia dan kenikmatan akhirat maka tidak akan bisa kita dibandingkan. Pertama kata Allah kenikmatan akhirat itu lebih baik daripada kenikmatan dunia, apapun bentuk kenikmatan tersebut. Kedua kata Allah kenikmatan akhirat itu lebih kekal daripada kenikmatan dunia. Seandainya kita membuat suatu perbandingan, misalnya seseorang yang diberi emas kemudian dia menikmatinya hanya sekedar waktu tertentu, lantas tidak berselang lama emas itu tidak lagi menjadi miliknya, dibanding apabila dia diberi secangkir susu tetapi dia bisa menikmatinya sepanjang hayatnya, maka dia akan lebih memilih kenikmatan yang meskipun sedikit akan tetapi bisa dinikmati lebih lama. Akal yang sehat akan memilih kenikmatan yang lebih lama meskipun sedikit. Maka bagaimana lagi jika kenikmatan itu sempurna ditambah bisa menikmatinya selamanya, sebagaimana akhirat.
Secara ringkas, beberapa perbandingan antara dunia dan akhirat berikut ini:
Pertama, kenikmatan akhirat abadi sedangkan kenikmatan dunia fana. Dan sesuatu yang fana tidak pantas dibandingkan dengan sesuatu yang abadi.
Kedua, kenikmatan surga itu sempurna sedangkan kenikmatan dunia penuh dengan kekurangan. Seperti seorang istri, istri yang dimiliki oleh seorang lelaki merupakan kenikmatan. Secantik-cantiknya seorang wanita, pasti ia memiliki kekurangan, apakah dari tubuhnya keluar bau badan, terkadang dia akan buang angin, atau sering marah. Adapun wanita di akhirat mereka adalah istri-istri yang disucikan, tidak ada bau yang tidak enak dari badannya, tidak ada kotoran di matanya, dari hidungnya, dan dari sekujur tubuhnya. Semuanya bersih tidak ada kekurangannya sama sekali. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan bahwasanya seorang laki-laki dari penduduk surga akan memeluk istrinya dari kalangan bidadari selama 70 tahun, dia tidak bosan begitupun istrinya. Demikianlah perbandingan antara kenikmatan dunia dan surga, jika khamr di dunia memabukkan dan memudharatkan maka khamr di akhirat adalah khamr yang lezat yang tidak menimbulkan kemudharatan, jika rumah kita di dunia terbuat dari batu bata maka di surga kelak Allah menyediakan istana-istana besar yang terbuat dari mutiara yang lantainya dari emas.
Ketiga, kenikmatan surga mudah diraih sedangkan kenikmatan dunia perlu perjuangan. Ketika kita ingin makan maka terlebih dahulu harus beli bahan-bahan kemudian memasaknya, adapaun di surga tinggal diambilkan oleh para pelayan yang disediakan Allah. Ketika di dunia kita harus mencarikan nafkah untuk istri agar dia mau melayani kita sedangkan di surga langsung dilayani oleh para bidadari.
Keempat, kenikmatan surga ada setiap saat tanpa bergantung kepada musim. Jika durian, rambutan, mangga dan buah-buahan lainnya bisa dinikmati ketika musimnya tiba maka di akhirat semua buah-buahan mudah di dapatkan kapanpun waktunya.
Kelima, kenikmatan akhirat tidak menimbulkan kotoran sedangkan kenikmatan dunia akan menghasilkan kotoran. Jika kita makan sesuatu maka kita pasti buang air seenak apapun makanannya, adapun di akhirat jika kita makan maka tidak ada buang air meskipun makan sekenyang-kenyangnya.
Kemudian Allah berfirman:
- إِنَّ هَٰذَا لَفِي الصُّحُفِ الْأُولَىٰ
“Sesungguhnya ini terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu”
- صُحُفِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ
“(yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa”
Sebagian mengatakan bahwa yang dimaksud dengan suhuf Nabi Musa adalah taurat itu sendiri, ada pula yang berpendapat bahwasanya suhuf itu adalah lembaran-lembaran yang lain. Adapun suhuf Nabi Ibrahim kita tidak mengetahui namanya.
Intinya adalah bahwasanya kabar-kabar tentang masalah akhirat yang lebih baik daripada dunia adalah perkara-perkara yang disepakati oleh seluruh Nabi dan sudah termaktub dalam kitab-kitab mereka. Begitupun setiap kitab-kitab suci yang Allah turunkan kepada para Nabi pasti juga mengandung pengagungan terhadap Allah, pensucian terhadap Allah dari sifat-sifat yang buruk, dan kabar-kabar lainnya.