Muqaddimah
بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
إنَّ الـحَمْدَ لله نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ ونتوب إليه، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه لا نبي بعده
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَديِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحَدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلةٌ، وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
lmu tafsir merupakan ilmu yang sangat penting yang dengannya kita mempelajari makna dan kandungan dari firman Allah Subhanallahu wata’ala. Al-Qur’an adalah mukjizat yang Allah Subhanallahu wata’ala turunkan kepada Nabi Shallahu ‘alaihi wassallam, yang merupakan kitabul huda yaitu kitab yang membawa kepada petunjuk. Barang siapa yang ingin mencari petunjuk dari Al Qur’an maka dia akan meraihnya. Al-Quran diturunkan bukan hanya untuk dibaca tetapi yang lebih utama adalah untuk diamalkan. Dan seseorang tidak akan bisa mengamalkan Al Quran dengan baik kecuali setelah memahami makna dan tafsir dari ayat-ayat yang terkandung dalam Al Quran tersebut. Oleh karena itu, Al-Fudhail bin ‘Iyadh pernah berkata :
إِنَّمَا أُنْزِلَ الْقُرْآَنُ لِيُعْمَلَ بِهِ، فَاتَّخَذَ النَّاسُ قِرَاءَتَهُ عَمَلًا
“Al-Qur’an diturunkan oleh Allah untuk diamalkan, akan tetapi orang-orang menjadikan bacaannya sebagai amalan”. (Akhlak Ahli Al-Qur’an hal 102 No. 37)
Suatu perkara yang menggembirakan menyaksikan orang-orang mulai bersemangat untuk mempelajari dan menekuni bagaimana cara membaca al-Qur’an dengan baik. Mereka mempelajari hukum-hukum tajwidnya dan juga makharijul huruf (cara yang benar dalam mengucapkan huruf-huruf al-Qur’an). Akan tetapi yang menjadi masalah adalah jika hanya mencukupkan diri sekedar mempelajari hukum-hukum tajwid saja tanpa mempelajari kandungan isi dari al-Qur’an itu sendiri. Karena tujuan utama diturunkannya al-Qur’an bukan semata dibaca tetapi membacanya adalah sarana untuk bisa mengamalkan Al Qur’an.
Tidak mungkin seseorang mengamalkan Al-Quran dengan baik kecuali setelah memahami tafsir dan kandungan Al Quran tersebut. Sebagaimana seseorang sulit untuk khusyuk di dalam shalatnya jika tidak memahami apa yang dia baca. Seseorang ketika melantunkan ayat-ayat Allah Subhanallahu wata’ala di dalam shalatnya, semakin ia memahami kandungan ayat-ayat yang ia baca maka semakin memungkinkan baginya untuk khusyuk. Seseorang yang membaca surat Al-Fatihah kemudian dia membaca terjemahannya –bukan tafsirannya tetapi hanya terjemahannya saja-, maka dia akan merasakan sesuatu yang lain didalam shalatnya.
Hal itu bisa terjadi karena dia mengerti terjemah lafdziah (secara lafadz) surat Al-Fatihah. Berbeda dengan seseorang yang melantunkan surat Al-Fatihah dengan membacanya semata tanpa mengetahui terjemahan dari surat tersebut. Berbeda lagi dengan seseorang yang membaca surat Al-Fatihah, selain dia membaca terjemahannya dia juga membaca tafsiran ringkasnya. Seperti apakah maksud firman Allah الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ dan seterusnya maka dia akan lebih khusyuk lagi di dalam shalatnya. Dan berbeda lagi ketika orang itu membaca surat Al-Fatihah disertai dengan mengetahui tafsirannya yang begitu luas -sebagaimana yang dijelaskan oleh ahli tafsir dalam kitab-kitab mereka- maka dia akan merasakan kekhusyukan yang lebih lagi.
Renungkanlah pernyataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah di akhir hayat beliau, dimana beliau berkata :
وَنَدِمْتُ عَلَى تَضْيِيْعِ أَكْثَرِ أَوْقَاتِي فِي غَيْرِ مَعَانِي الْقُرْآنِ
“Dan aku menyesal karena menghabiskan kebanyakan waktuku pada selain memahami makna-makna (tafsir) al-Qur’an” (Dzail Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Rajab, 4/519)
Padahal beliau banyak sekali menulis tentang tafsir ayat-ayat al-Qur’an, dan penjelasan-penjelasan beliau tentang tafsir ayat-ayat al-Qur’an sangat menakjubkan. Hanya saja memang kebanyakan tulisan beliau adalah tentang aqidah dan fiqh.
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata tentang Ibnu Taimiyyah dalam ilmu tafsir :
برع فِي تفسير الْقُرْآن، وغاص فِي دقيق معانيه بطبع سيال، وخاطر إِلَى مواقع الإِشكال ميال، واستنبط منه أشياء لَمْ يسبق إِلَيْهَا
“Ibnu Taimiyyah unggul dalam tafsir al-Qur’an, beliau menyelami dengan dalam akan makna-makna yang detail dengan insting yang mengalir. Beliau masuk ke dalam makna-makna yang sulit dipahami. Beliau mengeluarkan faidah-faidah dari al-Qur’an yang tidak pernah dikeluarkan oleh orang-orang sebelumnya.” (Mu’jam Syuyukh Adz-Dzhabi sebagaimana dinukil dalam Dzail Thabaqat al-Hanabilah 4/496-497)
Adz-Dzahabi juga berkata :
وَأَمَّا التفسير فَمُسَلَّمٌ إِلَيْهِ. وَلَهُ مِنِ اسْتِحْضاَرِ الآيَاتِ مِنَ الْقُرْآنِ – وَقْتَ إِقَامَةِ الدَّلِيْلِ بِهَا عَلَى الْمَسْأَلَةِ – قُوَّةٌ عَجِيْبَةٌ. وَإِذَا رَآهُ الْمُقْرِئُ تَحَيَّرَ فِيْهِ. وَلِفَرْطِ إِمَامَتِهِ فِي التَّفْسِيْرِ، وَعِظَمِ إِطْلاَعِهِ يُبَيِّنُ خَطْأَ كَثِيْرٍ مِنَ أَقْوَالِ الْمُفَسِّرِيْنَ
“Adapun ilmu tafsir maka tidak diragukan lagi akan kehebatan Ibnu Taimiyyah. Beliau memiliki kemampuan menakjubkan dalam hal menghadirkan ayat-ayat al-Qur’an ketika berdalil untuk suatu permasalahan. Jika seorang qari’ melihat beliau maka dia akan terheran-heran dengan beliau. Karena begitu kuat keimaman beliau dalam tafsir dan begitu luas penelaahan beliau, sampai-sampai beliau menjelaskan kesalahan banyak pendapat para ahli tafsir.” (Tarikh adz-Dzahabi al-Kabir, sebagaimana dinukil dalam Dzail Thabaqat al-Hanabilah 4/501)
Di akhir hayat beliau -tatkala beliau di penjara- banyak waktu beliau gunakan untuk merenungkan ayat-ayat al-Qur’an. Sepertinya beliau begitu tenggelam dalam kebahagiaan merenungkan kandungan ayat-ayat al-Qur’an sehingga muncullah penyesalan dalam diri beliau tersebut. Penyesalan yang keluar dari seorang yang ahli dan pakar tafsir. Penyesalan ini memberi isyarat dan seruan kepada para ulama -apalagi orang awam- untuk memperhatikan ilmu tafsir.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :
فقراءة آيَة بتفكر وتفهم خير من قِرَاءَة ختمة بِغَيْر تدبر وتفهم وأنفع للقلب وأدعى الى حُصُول الايمان وذوق حلاوة الْقُرْآن وَهَذِه كَانَت عَادَة السّلف يُرَدِّدُ أَحَدُهُمْ الآيةَ إِلى الصَّباح وَقد ثَبت عَن النَّبِي إِنَّهُ قَامَ بِآيَة يُرَدِّدهَا حَتَّى الصَّباح وَهِي قَوْله {إِن تُعَذبهُمْ فَإِنَّهُم عِبَادك وَإِن تغْفر لَهُم فَإنَّك أَنْت الْعَزِيز الْحَكِيم} فقراءة الْقُرْآن بالتفكر هِيَ أَصْلُ صَلَاح الْقلب
“Membaca satu ayat dengan perenungan dan pemahaman lebih baik dari membaca al-Qur’an hingga khatam namun tanpa tadabbur dan pemahaman. Hal itu juga lebih bermanfaat bagi hati dan lebih mendorong untuk meraih keimanan dan merasakan manisnya al-Qur’an. Dan inilah kebiasaan para salaf dimana salah seorang dari mereka mengulang-ngulang satu ayat hingga pagi hari. Telah valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasaya beliau shalat malam dengan mambaca satu ayat, beliau mengulang-ngulanginya hingga subuh, yaitu firman Allah, “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS Al-Maidah : 118) (HR Ahmad No. 21328 dengan sanad yang hasan). Maka membaca al-Qur’an dengan perenungan adalah pokok dari baiknya hati.” (Miftaah Daaris Sa’aadah hal. 187)
Tafsir Juz’ ‘Amma :
Juz ‘amma atau juz ke 30, merupakan juz yang sangat penting mengingat juz ‘amma berisi surat-surat yang banyak dihafalkan oleh kaum muslimin, sering dibaca oleh para imam di masjid-masjid. Dan dalam juz ‘amma Allah Subhanallahu wata’ala sering menyebutkan tentang perkara-perkara yang berkaitan dengan pokok-pokok aqidah. Seperti al–iman billah (iman kepada Allah), kemudian al–iman bi ar-rusul (beriman kepada rasul-rasul Allah), dan al–iman bi al-yaumi al-akhir (beriman pada hari akhirat). Akan kita dapati tatkala kita membaca surat-surat yang terdapat dalam juz amma, Allah Subhanallahu wata’ala banyak menyinggung ke-3 perkara ini, terutama tentang hari kiamat, tentang hari dibangkitkannya manusia di akhirat kelak. Di samping itu, kebanyakan surat-surat yang terdapat dalam juz ‘amma adalah surat-surat makiyyah, bukan surat-surat madaniyyah.
Surat makiyyah atau ayat makiyyah yaitu surat atau ayat yang diturunkan oleh Allah Subhanallahu wata’ala sebelum Nabi Shallahu ‘alaihi wassallam berhijrah ke madinah. Adapun surat atau ayat yang diturunkan kepada Nabi Shallahu ‘alaihi wassallam setelah hijrah ke Madinah disebut surat madaniyah atau ayat madaniyyah, meskipun surat dan ayat tersebut turun di mekkah. Jadi, penamaan surat madaniyyah dan makiyyah meskipun secara sekilas penamaannya ditinjau dari sisi tempat namun pada hakikatnya ditinjau dari sisi waktu bukan dari sisi tempat. Sebagai contoh surat An-Nashr :
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (1) وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (2) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (3)
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS An-Nashr 1-3)
Surat ini turun tatkala Nabi di Mekah -yaitu di Mina pada hari-hari tasyriq ketika haji wada’-, akan tetapi surat ini dinamakan dengan surat Madaniyah karena turun setelah Nabi berhijrah ke Madinah.
Contoh lain firman Allah :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan aku sempurnakan nikmatKu atas kalian dan aku ridha Islam sebagai agama bagi kalian.” (QS Al-Maidah : 3).
Ayat ini turun di padang ‘Arafah (di Mekah) tatkala Nabi haji wada’, akan tetapi ayat ini adalah ayat madaniyah, karena turun setelah Nabi berhijrah ke Madinah.
Surat-surat dalam juz ‘amma kebanyakannya adalah surat makiyyah, karenanya kita dapati surat-surat yang ada di juz amma kandungannya terkonsentrasi pada pokok-pokok aqidah dan iman. Mengapa demikian? Hal itu disebabkan karena surat-surat tersebut turun kepada Nabi Shallahu ‘alaihi wassallam tatkala beliau masih di Mekah untuk mendakwahi orang-orang musyirikin arab, dimana mereka mengingkari pokok-pokok keimanan. Berbeda tatkala Nabi Shallahu ‘alaihi wassallam sudah berpindah ke madinah, yang turun kebanyakannya adalah ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum-hukum fiqih seperti ayat-ayat zakat, puasa, haji, demikian juga hukum-hukum islam yang lain. Ini semua turun tatkala Nabi Shallahu ‘alaihi wassallam sudah tinggal di madinah. Hal ini dikarenakan kaum muslimin sudah memiliki negara islam sehingga kondisi kaum muslimin lebih stabil dan aqidah mereka juga sudah semakin kuat. Namun bukan berarti Nabi tidak konsentrasi ke Aqidah. Nabi tetap konsentrasi dengan dakwah aqidah sejak dakwah beliau di Mekah hingga akhir hayat beliau di Madinah, hanya saja di Madinah lebih banyak syari’at-syari’at fiqih yang turun.
Berbeda tatkala Nabi Shallahu ‘alaihi wassallam Shallalahu ‘alaihi wassallam berada dimekah selama 13 tahun, konsentrasi dakwah Nabi Shallahu ‘alaihi wassallam adalah mengenai perkara aqidah, tidak ada hukum-hukum islam yang turun kecuali shalat. Karena shalat diturunkan oleh Allah Subhanallahu wata’ala dan mulai diwajibkan tatkala Nabi Shallahu ‘alaihi wassallam berada di mekkah. Adapun hukum-hukum yang lain, diturunkan tatkala Nabi Shallahu ‘alaihi wassallam sudah di kota madinah. Karenanya kita dapati isi kandungan surat-surat dari juz ‘amma terkonsentrasi pada pembahasan aqidah. Selain untuk mengokohkan aqidah para sahabat, ayat-ayat aqidah yang turun pada saat itu adalah bantahan kepada pemikiran kaum musyirikin arab yang mengingkari adanya hari kiamat. Mereka mengingkari Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wassallam sebagi seorang rasul sehingga berkonsekuensi mereka juga mengingkari kabar-kabar yang datang dari Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassallam diantaranya tentang hari kiamat.