77. أَفَرَءَيْتَ ٱلَّذِى كَفَرَ بِـَٔايَٰتِنَا وَقَالَ لَأُوتَيَنَّ مَالًا وَوَلَدًا
a fa ra`aitallażī kafara bi`āyātinā wa qāla la`ụtayanna mālaw wa waladā
77. Maka apakah kamu telah melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami dan ia mengatakan: “Pasti aku akan diberi harta dan anak”.
Tafsir:
Kemudian Allah ﷻ berfirman,
﴿أَفَرَأَيْتَ الَّذِي كَفَرَ بِآيَاتِنَا وَقَالَ لَأُوتَيَنَّ مَالًا وَوَلَدًا. أَطَّلَعَ الْغَيْبَ أَمِ اتَّخَذَ عِنْدَ الرَّحْمَنِ عَهْدًا. كَلَّا سَنَكْتُبُ مَا يَقُولُ وَنَمُدُّ لَهُ مِنَ الْعَذَابِ مَدًّا. وَنَرِثُهُ مَا يَقُولُ وَيَأْتِينَا فَرْدًا﴾
“Lalu apakah engkau telah melihat orang yang mengingkari ayat-ayat Kami dan dia mengatakan, “Pasti aku akan diberi harta dan anak. “Adakah dia melihat yang gaib atau dia telah membuat perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pengasih?.” Sama sekali tidak! Kami akan menulis apa yang dia katakan, dan Kami akan memperpanjang azab untuknya secara sempurna.” Dan Kami akan mewarisi apa yang dia katakan itu, dan dia akan datang kepada Kami seorang diri.” (QS. Maryam: 77-80)
Di antara sebab turunnya ayat ini, adalah kisah([1]) Khabbab bin Al-Arat RA yang mendatangi Al-‘Ash bin Wa’il As-Sahmi([2]) untuk menagih hutangnya, yaitu pembayaran atas sebuah alat dari besi yang telah dibuatkan oleh Khabbab radhiallahu ‘anhu atas permintaan dan pesanan dari A;-‘Ash. Namun ternyata ketika ditagih, Al-‘Ash malah menjawab, “Aku tidak akan membayarnya sampai kau kafir kepada Muhammad ﷺ!”
Mendengar itu, Khabbab radhiallahu ‘anhu pun mengatakan, “Aku tidak akan kafir! Dan kau akan mati kemudian dibangkitkan!”
Al-‘Ash pun berkata, “Apakah aku akan mati kemudian dibangkitkan?” Khabbab radhiallahu ‘anhu pun menjawab, “Ya, tentu!”
Maka Al-‘Ash pun berkata, “Sungguh di Akhirat kelak aku akan mempunyai harta dan anak, dan di sanalah kelak aku akan membayarmu dengan hartaku itu.”
Lalu ayat ini pun turun untuk membantah klaim Al-‘Ash ini, bahwa ia memastikan akan diberi harta dan anak di Akhirat kelak.
Dengan ayat ini Allah ﷻ mengajak kaum mukminin untuk merenungi pola pikir kaum musyrikin yang salah, di mana mereka beranggapan bahwa kehidupan mereka di dunia yang sangat mewah adalah cerminan akan kehidupan yang akan mereka raih di Akhirat. Dengan ayat ini Allah ﷻ kembali mengingatkan bahwa keadaan di dunia bukanlah barometer kondisi seseorang di Akhirat kelak.
Allah ﷻ membantah pernyataan Al-‘Ash bin Wa’il dan orang-orang kafir yang semacamnya, dengan menanyakan kepada mereka, apakah mereka pernah melihat takdirnya di Lauh Al-Mahfuzh, sehingga dengan lantangnya mereka dapat memastikan bahwa di Akhirat ia akan meraih kenikmatan?! Ataukah mereka sudah memiliki kontrak dari Allah ﷻ berupa jaminan untuk menempati Surga kelak? Ataukah mereka memiliki amal saleh yang dengannya mereka berhak untuk menjadi penghuni Surga?! Pertanyaan semacam ini biasa disebut dengan metode as-sabr wa-t taqsiim, yakni mengumpulkan segala kemungkinan yang ada, kemudian mengeliminasinya satu persatu untuk kemudian menyisakan satu kemungkinan yang merupakan kebenaran.
Dasar dari pengakuan Al-‘Ash bin Wa’il ini pastilah satu dari tiga kemungkinan, yaitu:
– Pertama, pengetahuannya yang pasti akan takdir Allah ﷻ terkait kesudahannya, yang tercatat pada Lauh Al-Mahfuzh.
– Kedua, kontrak, janji, dan jaminan kebahagiaan yang Allah ﷻ berikan kepadanya.
– Ketiga, dusta dan omong kosong belaka.
Kemungkinan pertama dan kedua sudah pasti tereliminasi, sehingga dapat dipastikan bahwa klaimnya hanyalah berdasarkan kedustaan dan omong kosong belaka.
Kemudian Allah ﷻ mengakhiri rangkaian ayat ini dengan sebuah ancaman yang justru bertolak belakang dengan apa yang diklaim oleh Al-‘Ash bin Wa’il. Ia mengklaim bahwa dia akan memiliki harta dan anak yang akan menolongnya di Akhirat kelak, namun ternyata Allah ﷻ menyatakan bahwa Allah ﷻ akan memperpanjang siksa baginya, dia akan mati dengan meninggalkan seluruh harta dan keturunannya, dan ia akan datang pada Hari Kiamat seorang diri tanpa ada harta atau pun keturunan yang menyertai dan menolongnya. Seperti yang sudah sering kita dengar, bahwa kesombongan dan keangkuhan, tidaklah akan membuahkan di Akhirat kelak melainkan kehinaan dan kerendahan.
________
Footnote:
([2]) Al-‘Ash bin Wa’il As-Sahmi adalah salah seorang tokoh kafir Quraisy. Namun demikian, putranya (‘Amr bin Al-‘Ash bin Wa’il As-Sahmi RA) dan cucunya (‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash bin Wa’il As-Sahmi RA) adalah dua sahabat Rasulullah SAW yang mulia. [Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 11/145]