87. يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُحَرِّمُوا۟ طَيِّبَٰتِ مَآ أَحَلَّ ٱللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُعْتَدِينَ
yā ayyuhallażīna āmanụ lā tuḥarrimụ ṭayyibāti mā aḥallallāhu lakum wa lā ta’tadụ, innallāha lā yuḥibbul-mu’tadīn
87. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Tafsir :
Allah ﷻ berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ. وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengharamkan apa yang baik yang telah dihalalkan Allah kepada kamu, dan janganlah kamu melampaui batas Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepada kamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS Al-Maidah: 87-88)
Allah ﷻ memperingatkan orang-orang beriman untuk tidak mengharamkan apa yang telah Allah ﷻ halalkan kepada mereka.
Firman Allah
ﷻ, لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ
“Janganlah kamu mengharamkan apa yang baik yang telah dihalalkan Allah kepada kamu” mencakup tiga hal, yaitu:
- Mengharamkan yang Allah ﷻ
Yaitu, mengubah hukum Allah ﷻ dengan mengharamkan apa yang Allah ﷻ halalkan atau menghalalkan apa yang Allah ﷻ haramkan. Ini merupakan kekufuran dan terlarang dalam Islam. Di antara bentuk kekufuran adalah mengubah hukum Allah ﷻ setelah jelas hukum tersebut.
Menghalalkan yang haram itu seperti seseorang yang menghalalkan zina atau menghalalkan memakan daging babi, maka itu termasuk kekufuran. Adapun mengharamkan yang halal seperti seseorang yang mengharamkan bagi dirinya untuk memakan daging kambing, maka itu juga termasuk kepada kekufuran. Jika dia tahu dan sengaja mengubah hukum Allah ﷻ, maka sejatinya dia telah keluar dari agama Islam.
- Pengharaman sesuatu yang halal dengan bentuk kedustaan.
Perbuatan ini bukan termasuk dalam kategori mengubah hukum Allah ﷻ. Siapa yang menghukumi haram kepada orang lain terkait sesuatu yang sebenarnya halal, maka ini termasuk kedustaan. Misalnya ketika seseorang ditanya tentang hukum memakan daging kuda atau susu kuda, lalu dia menjawab haram, padahal hukumnya sebenarnya halal. Penjawab tidak bermaksud untuk mengubah hukum Allah, tetapi dia telah mengabarkan hukum yang salah. Ini termasuk kemaksiatan, atau bisa juga termasuk kekeliruan.
Karena itu hendaknya setiap orang berhati-hati dalam menyampaikan perkara halal dan haram. Jangan sampai dia terjerumus ke dalam perbuatan mengharamkan apa yang Allah ﷻ halalkan atau menghalalkan apa yang Allah ﷻ haramkan. Adapun sengaja mengubah hukum Allah ﷻ, maka merupakan kekufuran.
- Menahan diri dari perkara-perkara yang halal.
لَا تُحَرِّمُوا bermakna لَا تَمْتَنِعُوْا, artinya adalah janganlah menolak apa yang Allah ﷻ halalkan. Contohnya seseorang sengaja tidak memakan daging, atau makanan yang lezat, atau pakaian yang bagus, dalam rangka semakin mendekatkan diri kepada Allah. Perbuatan semacam ini dilarang oleh Allah ﷻ, dan inilah maksud utama dalam ayat ini.([1])
Karena itu para ulama menafsirkan agar orang-orang beriman tidak mencegah diri mereka dari perkara-perkara yang Allah ﷻ telah halalkan kepada mereka.
Ada tiga orang yang sangat bersemangat untuk ibadah :
فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا آكُلُ اللَّحْمَ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ، فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ. فَقَالَ: مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا؟ لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ، وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Orang pertama dari mereka berkata, “Aku tidak akan menikahi wanita.” Orang kedua berkata, “Aku tidak akan makan daging.” Yang lain lagi berkata, “Aku tidak akan tidur di kasur.” Maka Nabi ﷺ memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian bersabda, “Apa tujuan mereka berkata begini dan begitu? Padahal aku salat dan tidur, berpuasa dan berbuka, serta menikahi wanita. Siapa yang tidak suka dengan sunahku, maka dia bukan dari golonganku.”([2])
Pada hadis tersebut ada orang yang sengaja tidak akan menikahi wanita, seolah-olah wanita haram baginya. Padahal dia tahu bahwa menikah itu halal, hanya saja dia mencegah dirinya dari menikah. Perbuatan semacam ini dilarang oleh Allah ﷻ.
Kenapa meninggalkan apa yang telah Allah ﷻ halalkan, apakah untuk zuhud atau warak? Melalui ayat ini, Allah ﷻ mengajarkan bahwa zuhud dan warak tidaklah dengan cara demikian.
Sebagian orang tersebut ada yang menyengaja tidak tidur. Padahal tidur adalah perkara yang halal. Dia mencegah dirinya tidur karena hendak mendirikan salat malam terus-menerus. Ini tidak benar. Karena itu Allah ﷻ menjelaskan bahwa tidak boleh bagi orang-orang beriman untuk mengharamkan apa yang Allah ﷻ telah halalkan bagi mereka, yang sejatinya itu merupakan nikmat bagi mereka.([3])
Segala sesuatu yang halal maka kita boleh menikmatinya dengan dua syarat, yaitu فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ “Tanpa berlebih-lebihan dan tanpa sombong”.([4])
Oleh karena itu, ketika didatangkan kepada Nabi Muhammad ﷺ kurma yang baik, maka beliau memakannya. Begitu pula saat diberi makanan yang lezat. Termasuk ketika beliau diberi makanan oleh orang Yahudi, maka beliau juga memakannya, padahal makanan itu telah diracuni oleh mereka, dan awalnya beliau tidak mengetahuinya.
Hukum asal seorang memakai pakaian yang indah adalah boleh. Nabi ﷺ bersabda,
إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ
“Sesungguhnya Allah itu indah menyukai keindahan.”([5])
Berdasarkan hadis ini, seseorang boleh berpenampilan atau memakai pakaian yang indah. Itu adalah menikmati apa yang Allah ﷻ halalkan bagi hamba-Nya. Namun, apabila dia merasa khawatir menjadi sombong, berlebih-lebihan dan terbawa kemaksiatan, maka hendaknya dia menjauhinya dan meninggalkannya.([6])
Sebagian ulama bahkan berpendapat jika seseorang meninggalkan sesuatu yang bagus, maka dia justru seolah-olah tidak mau menerima pemberian yang halal dari Allah ﷻ, yang menunjukkan bahwa dia tidak bersyukur kepada Allah ﷻ.([7])
Firman Allah ﷻ,
وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Dan janganlah kamu melampaui batas Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Para ulama menafsirkan وَلَا تَعْتَدُوا dengan “janganlah kalian mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram”. Artinya, janganlah kalian melampaui batas dengan mengharamkan apa yang Allah ﷻ halalkan, atau menghalalkan apa yang Allah ﷻ haramkan. Sesungguhnya Allah ﷻ tidak menyukai orang-orang yang melampai batas, baik dengan mengharamkan yang halal atau dengan menghalalkan yang haram. Keduanya dibenci oleh Allah ﷻ.([8])
Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah ﷻ memiliki sifat mencintai. Karena Allah ﷻ tidak mencintai sikap berlebih-lebihan, maka konsekuensinya Allah ﷻ mencintai sikap yang tidak berlebih-lebihan. Inilah akidah Ahli Sunnah yang menetapkan bahwa Allah ﷻ memiliki sifat mencintai.
Akidah ini ditolak oleh ahli bidah. Orang pertama yang menolak Allah ﷻ memilki sifat mencintai adalah Ja’d bin Dirham. Dia mengingkari firman Allah ﷻ,
وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
“Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan(-Nya).” (QS An-Nisa`: 125)
Akhirnya, Ja’d bin Dirham dibunuh oleh Gubernur Khalid Al-Qasri pada saat Idul Adha. Dia membunuh Ja’d di hadapan khalayak manusia. Dia berkata,
أَيُّهَا النَّاسُ ضَحُّوا تَقَبَّلَ اللَّهُ ضَحَايَاكُمْ، فَإِنِّي مُضَحٍّ بِالْجَعْدِ بْنِ دِرْهَمٍ. فَإِنَّهُ زَعَمَ أَنَّ اللَّهَ لَمْ يَتَّخِذْ إبْرَاهِيمُ خَلِيلًا، وَلَمْ يُكَلِّمْ مُوسَى تَكْلِيمًا، ثُمَّ نَزَلَ فَذَبَحَهُ
“Wahai manusia, berkurbanlah kalian semoga Allah menerima hewan kurban kalian, sesungguhnya aku akan menyembelih Ja’d bin Dirham. Karena dia meyakini bahwa Allah tidak pernah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya dan Allah tidak pernah berbicara dengan Musa secara langsung. Lalu dia turun dari mimbarnya dan menyembelihnya.”([9])
Padahal, sudah sangat jelas disebutkan dalam Quran bahwa Allah ﷻ menjadikan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sebagai kekasih-Nya dan Allah ﷻ berbicara Nabi Musa ‘alaihissalam secara langsung. Namun, karena syubhat yang ada di kepala Ja’d bin Dirham, maka dia menolak meyakini itu semua.
Pemikiran Ja’d bin Dirham ini kemudian dilanjutkan oleh Jahm bin Shafwan. Lalu dilanjutkan oleh kelompok Mu’tazilah, dan akhirnya diikuti oleh orang-orang belakangan yang menolak sifat Allah ﷻ.
Firman Allah ﷻ,
وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا
“Dan makanlah dari apa yang telah Allah berikan kepada kamu sebagai rezeki yang halal dan baik.”
Allah ﷻ memperingatkan orang-orang beriman agar makan dari rezeki yang halal lagi thayib. Ada dua hal yang harus diperhatikan dari rezeki, yaitu: حَلَالًا, artinya dengan cara yang halal ketika memperolehnya, bukan dari hasil penipuan atau kezaliman, dan طَيِّبًا, artinya zatnya halal, tidak haram.
Harta di dunia ini ada yang halal dan tayib, juga haram dan tidak tayib. Allah ﷻ memerintahkan kita untuk memakan hanya dari rezeki yang halal lagi tayib. Contoh rezeki yang tidak halal dan tidak tayib, misalnya babi, khamar, hasil judi, hasil riba, hasil zina dan lain sebagainya.
Menurut Al-Qurthubi rahimahullah, maksud dari kata كُلُوا itu mencakup tentang pakaian, kendaraan, makanan, minuman dan seterusnya. Digunakan kata كُلُوا “makanlah” karena makan adalah hal yang paling diperhatikan manusia. Namun cakupan maknanya meliputi segala hal yang digunakan dan dikonsumsi oleh manusia.
Hal-hal yang dihalalkan oleh Allah ﷻ di dunia ini boleh dinikmati. Itu adalah rezeki dari Allah ﷻ. Apa yang Allah ﷻ halalkan janganlah ditolak, apalagi diharamkan.([10])
Firman Allah ﷻ,
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
“Dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”
__________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Ibn ‘Utsaimin, vol. II, hlm. 299-300.
([3]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 262.
([4]) Lihat: Tafsir Ibn Katsir, vol. III, hlm. 407.
([6]) Lihat: Mirqah Al-Mafatih, karya ‘Ali Al-Qari, vol. VIII, hlm. 3189-3190.
([7]) Lihat: At-Tahrir wat-Tanwir, vol. VII, hlm. 15-16.
([8]) Lihat: Tafsir Ibn Katsir, vol. III, hlm. 172.
([9]) Lihat: Al-Istiqamah, karya Ibnu Taimiyah, vol. II, hlm. 101-102.