60. قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُم بِشَرٍّ مِّن ذَٰلِكَ مَثُوبَةً عِندَ ٱللَّهِ ۚ مَن لَّعَنَهُ ٱللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ ٱلْقِرَدَةَ وَٱلْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ ٱلطَّٰغُوتَ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ شَرٌّ مَّكَانًا وَأَضَلُّ عَن سَوَآءِ ٱلسَّبِيلِ
qul hal unabbi`ukum bisyarrim min żālika maṡụbatan ‘indallāh, mal la’anahullāhu wa gaḍiba ‘alaihi wa ja’ala min-humul-qiradata wal-khanāzīra wa ‘abadaṭ-ṭāgụt, ulā`ika syarrum makānaw wa aḍallu ‘an sawā`is-sabīl
60. Katakanlah: “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?”. Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.
Tafsir :
Para ulama menjelaskan bahwa maksud ayat ini adalah agar orang-orang beriman bersikap mengalah kepada orang Yahudi dan Nasrani dalam berdiskusi yang dimana Ahli kitab memandang buruk orang-orang beriman, padahal tentu Ahli kitab lebih buruk dibandingkan orang-orang beriman.([1]) Namun meskipun taruhlah anggapan Ahli kitab tersebut dibenarkan maka tetap saja orang-orang beriman lebih baik dari pada nenek moyang mereka.
Anggaplah orang-orang beriman itu buruk di mata orang Yahudi. Namun, hendaknya mereka berpikir, manakah yang lebih buruk antara orang-orang beriman atau nenek-moyang orang-orang Yahudi itu, yang mereka selalu banggakan dan dianggap sebagai suku terpilih? Bukankah nenek moyang mereka itu ada yang dirubah menjadi monyet dan babi?
Anggaplah kalaupun menurut mereka, kaum muslimin itu buruk, maka ada yang lebih buruk, yaitu:
مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
“Yaitu, orang yang dilaknat dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah Thaghut. Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.”
لَعْنَة “dijauhkan dari rahmat Allah”, sedangkan الْغَضَب “murka” maknanya lebih berat dari laknat. Karena jika seseorang dimurkai oleh Allah ﷻ, maka dia juga dijauhkan dari rahmat Allah ﷻ.
Di dalam surah Al-Fatihah, orang-orang Yahudi disebutkan sebagai الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ “orang yang dimurkai”. Mereka dimurkai karena memiliki ilmu tetapi mereka tidak mengamalkan ilmunya itu. Adapun orang-orang Nasrani maka disebutkan sebagai الضَّالِّينَ “orang-orang yang tersesat”. Mereka tersesat karena beramal tanpa ilmu.
Di dalam ayat di atas Allah ﷻ berbicara secara umum tentang Bani Israil yang mencakup kalangan Yahudi dan Nasrani. Oleh karena itu mereka bisa disifati dengan dimurkai dan dilaknat. Di antara mereka yang mengetahui ilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya maka mendapat murka dari Allah ﷻ.
Adapun orang-orang Nasrani zaman sekarang maka umumnya mereka sudah tahu ilmu tentang Rasulullah ﷺ. Tetapi mereka enggan mempelajarinya, hingga akhirnya mereka enggan beriman kepada Allah ﷻ dan Rasul-Nya.
Ayat ini merupakan bentuk dialog kaum muslimin dengan kalangan Yahudi dan Nasrani. Mereka menganggap kaum muslimin lebih buruk dari pada mereka. Padahal kenyataannya kaum Yahudi dan Nasrani itu lebih buruk, karena nenek moyang mereka ada yang pernah diubah menjadi monyet dan babi.
Sebab nenek moyang mereka diubah menjadi monyet adalah karena balasan yang ditimpakan itu sejenis dengan perbuatan yang mereka lakukan. Itu seperti halnya siksaan yang ditimpakan kepada kaum Nabi Luth ‘alaihissalam, berupa diangkatnya kampung mereka lalu dibalik dan dijatuhkan, kemudian ditambah dengan hujan batu yang mengenai mereka, maka azab itu pantas mereka dapatkan akibat fitrah mereka yang terbalik: laki-laki menyukai sesama laki-laki, dan perempuan suka dengan perempuan.
Begitu pula dengan orang Yahudi yang dahulu diubah menjadi monyet. Mereka disebut juga dengan “Ashhabus-Sabt” (para pelanggar di hari Sabtu). Allah ﷻ berfirman kepada mereka,
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
“Dan sungguh, kamu telah mengetahui orang-orang yang melakukan pelanggaran di antara kamu pada hari Sabtu, lalu Kami katakan kepada mereka, ‘Jadilah kamu kera yang hina!.’” (QS Al-Baqarah: 65)
Di dalam ayat yang lain, Allah ﷻ menjelaskannya lebih terperinci,
وَسْئَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كانَتْ حاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعاً وَيَوْمَ لا يَسْبِتُونَ لا تَأْتِيهِمْ كَذلِكَ نَبْلُوهُمْ بِما كانُوا يَفْسُقُونَ
“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, (yaitu) ketika datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, padahal pada hari-hari yang bukan Sabtu ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami menguji mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” (QS Al-A’raf: 163)
Pada kisah tersebut, Allah ﷻ melarang mereka untuk menangkap ikan pada hari Sabtu. Namun pada hari Sabtu itu jumlah ikan yang muncul sangat banyak. Sedangkan pada hari lainnya yang mereka dibolehkan untuk menangkap ikan justru tidak ada ikan yang muncul. Ini adalah ujian bagi mereka.
Mereka akhirnya memikirkan حِيْلَة “trik” atau “rekayasa” agar ikan-ikan yang muncul di hari Sabtu itu bisa tetap mereka ambil, tanpa perlu melakukan aktivitas melaut di hari Sabtu.
Caranya adalah mereka memasang perangkap di hari Jumat. Pada hari Sabtu mereka tidak melaut. Tapi ketika ikan-ikan itu muncul di hari Sabtu maka ikan-ikan itu pun masuk ke dalam perangkap dan tidak bisa kembali ke laut. Setelah lewat hari Sabtu, mereka pun tinggal mengambil ikan-ikan itu dengan mudah.
Mereka menyangka bahwa dengan trik dan rekayasa semacam itu mereka dapat lolos dari pelanggaran. Mereka mungkin berdalih bahwa mereka tidak melakukan aktivitas melaut di hari Sabtu, dan saat itu mereka tengah beristirahat di rumah. Lalu di mana letak kesalahan tersebut? Kesalahannya adalah mereka menyengaja memasang perangkap, dan perangkap itu tetap melakukan aktivitas penangkapan ikan di hari Sabtu, sesuai keinginan mereka.
Karena itulah mereka diubah menjadi monyet. Sebab mereka melakukan pelanggaran yang kemudian direkayasa agar mirip dengan kebenaran. Monyet itu hewan yang mirip manusia, namun jelas bukan manusia. Begitu pula halnya dengan pelanggaran mereka, mirip dengan kebenaran, tetapi bukan kebenaran.
Kenapa mereka diubah menjadi babi?
Sebagian pendapat di kalangan para ulama menyatakan bahwa yang diubah menjadi babi itu termasuk orang yang melakukan pelanggaran pada hari Sabtu tersebut. Kalangan muda mereka diubah menjadi monyet, sementara kalangan tua mereka diubah menjadi babi.([2])
Sebagian ulama lainnya, di antaranya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, memiliki pandangan yang berbeda. Menurut mereka, dalam hal ini ada trik dan rekayasa terkait upaya untuk menghalalkan zina. Kita tahu babi adalah hewan yang tidak memiliki rasa cemburu. Babi jantan membiarkan babi betinanya digauli oleh babi jantan lainnya. Dengan demikian, kesalahan mereka itu berkaitan dengan zina. Pandangan ini cukup kuat dan argumentatif.([3]) Di antara dalil pendukungnya adalah sabda Nabi ﷺ,
فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Berhati-hatilah dengan dunia dan berhati-hatilah dengan wanita, sesungguhnya fitnah pertama kali yang menimpa kepada bani Israil adalah karena wanita.”([4])
Jadi, mungkin saja karena mereka menghalalkan zina, maka Allah ﷻ pun mengubah mereka menjadi babi. Allahu a’lam. Sebagian ulama lainnya menukil dari Israiliyyat bahwa sebagian Bani Israil diubah menjadi babi karena mereka menjual agamanya untuk meraih dunia.
Apakah orang-orang yang diubah menjadi monyet dan babi tersebut memiliki keturunan sampai zaman sekarang?
Pada zaman sekarang tidak ada keturunan dari kalangan yang diubah menjadi monyet dan babi ﷻ. Rasulullah ﷺ bersabda,
مَا مُسِخَتْ أُمَّةٌ قَطُّ، فَيَكُونُ لَهَا نَسْلٌ
“Tidaklah satu umat yang diubah menjadi hewan, lalu dia memiliki keturunan.”([5])
Oleh karena itu, tidak boleh dan tidak benar bagi seseorang untuk berkata tentang kalangan Yahudi, Nasrani atau Bani Israil secara umum, dengan menyebut mereka sebagai keturunan monyet dan babi. Lain halnya jika menyebut mereka dengan “saudara-saudara babi dan monyet”, maka ucapan ini benar dan memang demikianlah faktanya. Karena di antara nenek moyang mereka memang ada yang pernah diubah menjadi monyat maupun babi.([6])
Namun tentunya, sekalipun benar, celaan seperti ini umumnya tidak pantas untuk disampaikan, terlebih dalam rangka dakwah. Apalagi jika ucapan tersebut hanya malah menimbulkan mudarat dan tidak merealisasikan maslahat apapun.
Ketika ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mendengar kalangan Yahudi mendoakan keburukan kepada Nabi Muhammad ﷺ dengan berkata,
السَّامُ عَلَيْكَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” وَعَلَيْكَ ” قَالَتْ: فَهَمَمْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ، قَالَتْ: ثُمَّ دَخَلَ الثَّانِيَةَ، فَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” وَعَلَيْكَ ” قَالَتْ: ثُمَّ دَخَلَ الثَّالِثَةَ، فَقَالَ: السَّامُ عَلَيْكَ، قَالَتْ: فَقُلْتُ: بَلِ السَّامُ عَلَيْكُمْ وَغَضَبُ اللهِ إِخْوَانَ الْقِرَدَةِ وَالْخَنَازِيرِ
“Semoga kematian atasmu.” Maka Nabi ﷺ menjawabnya, “Semoga atasmu juga.” ‘Aisyah berkata, “Aku berkeinginan untuk berbicara.” Lalu, orang Yahudi tersebut datang lagi dan kembali mengucapkan hal yang sama. Nabi ﷺ pun tetap menjawabnya, “Semoga atasmu juga.” Lalu, dia datang lagi ketiga kalinya dan berkata, “Semoga kematian atasmu.” Maka, ‘Aisyah berkata, “Semoga kematian dan kemurkaan Allah atas kalian wahai saudara-saudara monyet dan babi.”([7])
Perkataan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha itu benar dan faktual. Sekalipun mereka bukan keturunan babi dan monyet, tetapi mereka adalah saudara-saudaranya. Namun Rasulullah ﷺ tetap menegur ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan mengarahkannya untuk menyampaikan ucapan yang santun dan menjauhi ucapan yang buruk.
Di antara faedah dari ayat ini, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, bahwa yang terpenting adalah مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ “pembalasan di sisi Allah”. Jangan sampai kita teperdaya dengan pengagungan, pengakuan atau pujian orang lain terhadap kita. Bagaimana kedudukan kita nantinya di sisi Allah ﷻ, itulah yang paling penting. ([8])
Betapa banyak orang yang diakui dan disanjung oleh jutaan orang, tetapi dia tidak ada nilainya di sisi Allah ﷻ. Jangan teperdaya dengan banyaknya pengikut, followers, netizen, pengagum, dan seterusnya, serta begitu juga pujian mereka. Orang-orang itu tidak bisa mempengaruhi kedudukan kita di sisi Allah ﷻ. Jika kita baik, maka kita juga akan baik di sisi Allah ﷻ. Namun jika kita buruk, meskipun seluruh manusia di bumi memuji kita, maka pujian mereka tidak berpengaruh apapun terhadap kedudukan kita di sisi Allah ﷻ.
Hendaknya kita selalu berusaha melatih diri untuk memperbaiki kondisi kita tatkala bersendirian dan berusaha untuk senantiasa memperbaiki hubungan kita dengan Allah ﷻ.
________________
Footnote :
([1]) Lihat: At-Tahrir wat-Tanwir, vol. VI, hlm. 245.
([2]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi, vol. I, hlm. 440.
([3]) Tafsir Ibn ‘Utsaimin, vol. V, hlm. 85.
([5]) HR Al-Thabrani, no. 297.
([6]) Lihat: Tafsir Ibn ‘Utsaimin, vol. V, hlm. 94.
([7]) HR Ahmad no. 25073, dan dinilai valid oleh Al-Arnauth.