31. فَبَعَثَ ٱللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِى ٱلْأَرْضِ لِيُرِيَهُۥ كَيْفَ يُوَٰرِى سَوْءَةَ أَخِيهِ ۚ قَالَ يَٰوَيْلَتَىٰٓ أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَٰذَا ٱلْغُرَابِ فَأُوَٰرِىَ سَوْءَةَ أَخِى ۖ فَأَصْبَحَ مِنَ ٱلنَّٰدِمِينَ
fa ba’aṡallāhu gurābay yab-ḥaṡu fil-arḍi liyuriyahụ kaifa yuwārī sau`ata akhīh, qāla yā wailatā a ‘ajaztu an akụna miṡla hāżal-gurābi fa uwāriya sau`ata akhī, fa aṣbaḥa minan-nādimīn
31. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.
Tafsir :
Setelah Qabil membunuh adiknya, maka dia kebingungan apa yang harus dilakukan dengan jasad Habil tersebut. Ada yang mengatakan bahwa ia hanya menggeletakkannya di atas tanah. Ada juga yang menyatakan bahwa Qabil malu dengan ayahnya sehingga dia memasukkan jasad Habil ke dalam sebuah tempat dari kulit lalu membawanya ke mana-mana. Ada yang mengatakan bahwa Qabil membawa jasad adiknya selama setahun([1]) dan ada yang mengatakan selama 100 tahun.([2]) Umur mereka sangat panjang, bahkan ada yang menyebutkan usia mereka mencapai 1000 tahun. Semua perkataan-perkataan ini disebutkan dalam kitab-kitab tafsir namun tidak ada sanadnya. Intinya, Qabil kebingungan terhadap apa yang harus dia lakukan.
Firman Allah ﷻ,
فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْءَةَ أَخِيهِ
“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya.”
Ada yang mengatakan bahwa Allah ﷻ mengirim dua ekor gagak yang bertengkar di hadapan Qabil. Kemudian salah satunya mati, lalu gagak tersebut menggali-gali lubang di tanah dan menguburkan gagak yang mati. Akhirnya Qabil pun tahu cara mengurus jasad Habil setelah melihat perbuatan burung tersebut.
Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa berdasarkan zahir ayat ini Allah ﷻ hanya mengutus seekor gagak. Gagak tersebut membawa suatu benda yang ia kemudian menggali-gali tanah untuk mengubur benda tersebut. Melihat hal tersebut, Qabil pun terinspirasi untuk mengubur saudaranya.([3])
Ini menunjukkan bahwa seseorang terkadang belajar dari apa yang ia lihat. Di antara cara Allah ﷻ mengajarkan manusia berbagai hal adalah dengan membuatnya terinspirasi dari apa yang dilihatnya.
Kita dapati di dunia ini banyak obat ditemukan untuk mengobati berbagai macam penyakit. Banyak jenis makanan yang dipadukan dengan beberapa bumbu sehingga menjadi makanan yang enak. Semua ini tidak terjadi secara kebetulan. Ini menunjukkan bahwa manusia banyak belajar, dan Allah ﷻ yang mengajarkan mereka. Memang benar manusia memiliki pemikiran dan intuisi, namun sejatinya Allah ﷻ yang mengajarkan, karena Allah ﷻ yang memberikan semua itu kepada manusia.
Dalam ayat ini, Allah ﷻ mengajarkan Qabil melalui burung gagak untuk mengubur, sehingga dia pun belajar.
Jika seseorang telah meninggal maka dia harus dikubur dan jangan biarkan dia terbuka. Mayat yang dibiarkan akan menimbulkan bau yang sangat busuk.
Para ulama menyebutkan tentang orang yang meninggal di lautan sementara daratan masih jauh dan orang-orang tidak tahan dengan baunya, maka dalam kondisi demikian, dia dilemparkan ke dalam lautan. Jika memungkinkan diberikan besi pemberat sehingga dia bisa tenggelam dan tanah dasar lautan bisa menutupinya. Namun, para ulama menegaskan bahwa pada asalnya manusia tidak boleh dikuburkan di lautan kecuali jika tubuhnya benar-benar akan rusak.([4]) Selama masih memungkinkan untuk dikuburkan di daratan maka tidak boleh dikuburkan di lautan.([5])
Ada juga yang mengatakan jika kapal sudah dekat dengan suatu pulau, maka mayat tersebut dilarungkan dalam peti ke arah pulau itu. Harapannya peti tersebut terdampar di pulau itu sehingga orang-orang yang ada di sana bisa menguburkannya.
Ibnu Hibban meriwayatkan kisah Abu Thalhah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu yang wafat di kapal. Para sahabat kebingungan. Mereka menunggu hingga satu minggu untuk bisa menguburkannya di daratan. Padahal pada waktu itu tidak ada alat untuk mengawetkan jasad mayat. Biasanya jasad dalam waktu satu atau dua hari sudah mulai membusuk. Namun ternyata selama waktu menunggu tersebut ternyata tidak terjadi apa-apa dengan jasad beliau tersebut hingga akhirnya bisa dikuburkan di daratan.([6])
Jenazah wajib dikubur, baik jenazah mukmin maupun kafir. Oleh karenanya ketika Abu Thalib meninggal maka Ali radhiyallahu ‘anhu datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, pamanmu telah wafat.” Maka Rasulullah ﷺ berkata kepadanya,
اذْهَبْ فَوَارِهِ
“Pergi dan kuburkanlah.”
Lalu Ali menjelaskan bahwa ayahnya meninggal dalam keadaan musyrik. Namun Rasulullah ﷺ tetap menjawab,
اذْهَبْ فَوَارِهِ
“Pergi dan kuburkanlah.”([7])
Begitu juga ketika perang Badr, yang Abu Jahal tewas dalam perang tersebut maka Rasulullah ﷺ tetap menguburkannya.
Dalam ayat ini Allah ﷻ menamakan jenazah dengan سَوْءَةَ yang artinya aurat.([8]) Ini menunjukkan bahwa asal dari mayat adalah ditutup dan jangan dibiarkan terbuka, sehingga bau yang tidak sedap menyebar atau menjadi bahan cercaan orang. Bahkan para ulama mengatakan bahwa mayat harus dikuburkan dengan galian yang dalam sehingga tidak bisa digali oleh hewan buas.
Firman Allah ﷻ,
فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ
“Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.”
Para ulama menjelaskan bahwa penyesalannya itu tanpa disertai tobat. Al-Qurthubi mengatakan, “Sekiranya Qabil bertobat maka tentu Allah ﷻ akan menerima tobatnya.”([9]) Namun dia tidak bertobat kepada Allah ﷻ. Karena itulah Nabi ﷺ bersabda,
لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا، إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا، لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ القَتْلَ
“Tidak satu pun jiwa yang terbunuh secara zalim melainkan anak Adam yang pertama ikut menanggung dosa pertumpahan darah itu. Karena dialah orang pertama yang mencontohkan pembunuhan.” ([10])
Ketika Nabi Adam ‘alaihissalam melakukan kesalahan, beliau langsung bertobat kepada Allah ﷻ, maka Allah ﷻ pun mengampuninya.
Orang yang melakukan dosa-dosa jariah hendaknya dia bertobat dengan sungguh-sungguh kepada Allah ﷻ. Nabi ﷺ bersabda,
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Siapa yang membuat contoh yang baik dalam Islam maka dia akan memperoleh pahala dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya, dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Sebaliknya, siapa yang membuat contoh yang buruk dalam Islam maka ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengikutinya setelahnya, dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”([11])
Salah satu dosa yang buruk adalah bidah. Jika dosa tersebut diikuti oleh banyak orang maka orang yang mencontohkan kebidahan tersebut akan menanggung dosanya dan dosa yang mengikutinya hingga hari kiamat tanpa mengurangi dosa mereka.
Hendaknya orang yang pernah melakukan dosa jariah segera bertobat kepada Allah ﷻ. Jika tidak, maka dikhawatirkan nasibnya akan seperti anak Nabi Adam ‘alaihissalam tersebut, yang menyesal namun tidak bertobat. Dia menyesal dengan penyesalan yang tidak mengantarkannya bertobat kepada Allah ﷻ. Di antara syarat tobat bukan hanya sekedar menyesal.
Setelah membunuh Habil, ternyata Qabil pun tetap tidak mendapatkan apa yang dia inginkan untuk menikahi saudarinya. Itu seperti halnya yang dialami oleh Iblis dan orang-orang Yahudi. Iblis yang hasad kepada Adam ‘alaihissalam hanya memperoleh neraka Jahanam dan tidak menjadi lebih mulia dibandingkan Adam ‘alaihissalam. Yahudi pun juga demikian. Mereka hasad kepada Rasulullah ﷺ namun mereka tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan, melainkan justru terusir dari kota Madinah dan ditaklukkan dalam perang Khaibar.
_______________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Al-Thabari, vol. X, hlm. 225.
([2]) Lihat: Tafsir Al-Thabari, vol. X, hlm. 227.
([3]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 141.
([4]) Lihat: Muhktashar Al-Khalil, hlm 52.
([5]) Lihat: Khulashah Al-Fiqhiyah ‘Ala Madzhab Al-Sadah Al-Malikiyyah, hlm. 157.
([6]) HR Ibnu Hibban no. 7184.
([7]) HR Al-Nasai no. 190 dan dinyatakan sahih oleh Al-Albani.
([8]) Lihat: Tafsir Ibn ‘Athiyyah, vol. II, hlm. 181.
([9]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 142.