16. يَهْدِى بِهِ ٱللَّهُ مَنِ ٱتَّبَعَ رِضْوَٰنَهُۥ سُبُلَ ٱلسَّلَٰمِ وَيُخْرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ بِإِذْنِهِۦ وَيَهْدِيهِمْ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ
yahdī bihillāhu manittaba’a riḍwānahụ subulas-salāmi wa yukhrijuhum minaẓ-ẓulumāti ilan-nụri bi`iżnihī wa yahdīhim ilā ṣirāṭim mustaqīm
16. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.
Tafsir :
Firman Allah ﷻ,
﴿ يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ ﴾
Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan-jalan keselamatan
Rida adalah sifat fi’liyyah Allah ﷻ. Maksudnya Allah ﷻ rida kepada siapa saja yang Allah ﷻ kehendaki dan Allah ﷻ murka kepada siapa saja yang Allah ﷻ kehendaki. Karena itu, kita senantiasa berusaha agar Allah ﷻ rida kepada kita. Namun, makna rida ditolak dan ditakwilkan (ke makna iradah, kehendak Allah) oleh kalangan Asya’irah. Adapun Ahli Sunnah menetapkan dan meyakini makna tersebut, bahwa Allah ﷻ bisa rida dan bisa marah. Jika seseorang menempuh jalan yang benar, maka Allah ﷻ akan rida dan cinta kepadanya.
Dalam ayat ini Allah ﷻ menjelaskan bahwa dengan Quran Allah ﷻ memberi petunjuk orang-orang yang mencari keridaan-Nya. Allah ﷻ membukakan kepada mereka jalan-jalan keselamatan.
سُبُلَ السَّلَامِ menunjukkan kepada dua hal:([1])
- Syariat/jalan Islam seluruhnya adalah keselamatan;
- Tujuannya ke darussalam ‘negeri keselamatan’ yaitu surga.
Di antara keistimewaan Islam adalah syariat-syariatnya dinamakan dengan jalan keselamatan. Karena syariat Islam seluruhnya keselamatan. Keselamatan untuk pribadi, keselamatan untuk keluarga, keselamatan untuk masyarakat, dan keselamatan untuk negara. Bahkan orang non muslim yang tinggal di negeri Islam pun akan ikut merasakan keselamatan tersebut.
Menjelang wafat, Rasulullah ﷺ mewasiatkan,
الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ، وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Perhatikanlah oleh kalian salat-salat dan budak-budak kalian.”([2])
Rasulullah ﷺ melarang menzalimi budak menjelang wafatnya. Beliau juga melarang kita menzalimi orang-orang kafir. Beliau bersabda,
أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا، أَوِ انْتَقَصَهُ، أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ، أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ، فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Ketahuilah bahwa orang yang menzalimi mu’ahad (non muslim yang terikat perjanjian damai) atau mengurangi haknya atau membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil darinya sesuatu yang ia relakan maka aku adalah musuhnya kelak pada Hari Kiamat.” ([3])
Ini semua menunjukkan bahwa syariat Islam semuanya berisi keselamatan. Termasuk di antara praktek kisas maupun potong tangan bagi pencuri maka itu pun menyebabkan keselamatan dalam masyarakat. Larangan zina menyebabkan keselamatan keluarga. Bahkan syariat poligami (poligini) pun menimbulkan keselamatan bagi masyarakat dan merupakan solusi bagi problem sosial. Tiada agama yang mengajarkan adab kepada orang tua dan tetangga sebaik ajaran Islam. Semua syariat Islam merupakan keselamatan dan tidak ada agama yang syariatnya sesempurna Islam. Meskipun kenyataannya tidak semua orang mau menjalani syariat Islam.
Semua syariat Islam menghantarkan kepada surga yang penuh keselamatan. Di surga tidak ada keletihan, kepayahan, benci, dan kekhawatiran. Karena surga adalah negeri yang penuh dengan keselamatan.
Firman Allah ﷻ,
﴿ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ ﴾
“Dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”
Ketika kita dahulu tidak mengenal agama, maka kita berada di dalam kegelapan, kejahilan, dan kegelapan hati. Namun, setelah mengenal Islam kita merasakan indahnya syariat Islam dan indahnya sunah. Orang yang mengenal Islam Allah ﷻ akan mengeluarkannya dari kegelapan menuju cahaya.
_________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 118.
([2]) HR. Ahmad no. 26483 dan Ibnu Majah no. 2697, serta dinyatakan valid oleh Al-Arnauth.
([3]) HR Abu Dawud no. 3052 dan dinyatakan sahih oleh Al-Albani.