-
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَوْفُوا۟ بِٱلْعُقُودِ ۚ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ ٱلْأَنْعَٰمِ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّى ٱلصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
yā ayyuhallażīna āmanū aufụ bil-‘uqụd, uḥillat lakum bahīmatul-an’āmi illā mā yutlā ‘alaikum gaira muḥilliṣ-ṣaidi wa antum ḥurum, innallāha yaḥkumu mā yurīd
1. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
Tafsir :
Firman Allah ﷻ,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
“Hai orang-orang yang beriman”
Kalimat ini merupakan ciri-ciri dari surah madaniyyah karena audiensnya adalah para sahabat setelah mereka berhijrah ke kota Madinah.
Firman Allah ﷻ,
﴿ أَوْفُوا بِالْعُقُودِ﴾
“Penuhilah akad-akad itu”
Kataأَوْفُوا artinya bukan sekedar menunaikan. Asalnya adalah dari kata الوَفَاء yang artinya menyempurnakan.([1]) الْعُقُودِ artinya akad-akad atau perjanjian-perjanjian. Seolah-olah Allah ﷻ berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman sempurnakanlah janji-janji kalian.”
Allah ﷻ membuka ayat ini dengan panggilan “Hai orang-orang yang beriman” lalu melanjutkannya dengan perintah untuk menyempurnakan janji-janji. Hal ini karena yang bisa menunaikan janji dengan sempurna adalah orang yang beriman. Orang yang beriman menyakini adanya hari kebangkitan dan pertanggungjawaban. Sehingga ketika dia berjanji atau berakad maka dia berusaha untuk menyempurnakan akad tersebut, sebagai konsekuensi keimanan.
Al-Biqa’i menjelaskan relevansi awal surah Al-Maidah dengan bagian akhir surah sebelumnya, yaitu surah Al-Nisa`. Pada bagian akhir surah Al-Nisa`, Allah menjelaskan perilaku Yahudi yang melanggar perjanjian, sehingga Allah pun menghukum mereka dengan mengharamkan hal-hal baik yang sebelumnya dihalalkan bagi mereka. Oleh karena itu, menjadi relevan apabila di awal surah Al-Maidah tersebut Allah memerintahkan kepada kaum mukmin untuk menyempurnakan perjanjian, yang perealisasiannya dibangun dari hati (keimanan).([2])
Terkait dengan perjanjian dan akad tersebut, pembelajar ilmu agama seharusnya merupakan orang yang paling amanah ketika bermuamalah. Ketika pembelajar ilmu agama namun tidak amanah, sering menyelisihi janji dan akadnya maka keimanannya patut dipertanyakan. Syaikh Al-Sa’di menegaskan bahwa konsekuensi keimanan adalah menyempurnakan janji.([3])
Sebagian ulama mengatakan bahwa “janji-janji” di sini bersifat umum baik janji kepada Allah ﷻ maupun janji kepada manusia. Sehingga ketika kita berjanji kepada Allah ﷻ maka tunaikanlah. Demikian pula halnya janji kepada manusia. Ini juga mencakup kewajiban kita kepada orang tua, istri, suami, dan anak. Begitu pula berkaitan dengan akad-akad muamalah. Kita harus benar-benar memperhatikan janji-janji atau akad-akad kita, karena konsekuensi sebagai orang beriman adalah menjalankan hal tersebut dengan sebaik-baiknya.
Para ulama juga mengatakan bahwa ayat ini menjadi dalil bahwa hukum asal dari membuat persyaratan perjanjian adalah boleh. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Kaum Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati, kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram.” ([4])
Apapun syarat yang telah disepakati maka hendaklah dijalankan kecuali syarat tersebut bertentangan dengan syariat. Ini termasuk dari amanah yang telah Allah ﷻ perintahkan pada firmannya
أَوْفُوا بِالْعُقُودِ.
Penulis ingatkan kepada para pembaca untuk tidak menggampangkan perihal akad. Jika kita telah berakad, baik dengan tertulis maupun dengan lisan, maka kita berkewajiban memenuhinya dan semua itu ada pertanggungjawabannya di hadapan Allah ﷻ.
Firman Allah ﷻ,
﴿ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ ﴾
“Dihalalkan bagimu binatang ternak”
Para ulama berbeda pendapat terkait apa yang dimaksud بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ namun mereka sepakat bahwa kambing, sapi, dan unta termasuk dari بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ.([5])
Firman Allah ﷻ,
﴿ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ ﴾
“Kecuali yang akan dibacakan kepada kalian.”
Hukum asal dari بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ adalah halal kecuali keharaman yang akan dibacakan kepada kalian. Ini akan dibahas pada ayat ketiga.([6])
Firman Allah ﷻ,
﴿ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ ﴾
“(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan hewan buruan sedangkan kalian sedang mengerjakan ihram.”
Pada bagian ini Allah ﷻ menyebutkan hukum lainnya, yaitu pada asalnya kalian boleh berburu kecuali dalam keadaan ihram.
Maksud dari وَأَنْتُمْ حُرُمٌ “kalian sedang mengerjakan ihram” adalah sedang ihram haji dan ihram umrah, atau sedang di tanah haram yaitu Makkah dan Madinah.([7])
Firman Allah ﷻ,
﴿ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ ﴾
“Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”
Allah ﷻ mengatur seluruh hukum-hukum-Nya dan Allah ﷻ Maha Hikmah dalam menentukan hukum-Nya. Semua hukum-hukum yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa Allah ﷻ menetapkan hukum sesuai dengan kehendak-Nya, dan semua hukum yang Allah ﷻ kehendaki pasti ada hikmah atau maslahat di dalamnya. Sebagai hamba, kita tidak boleh protes tentang hal itu, karena kita semua adalah milik Allah ﷻ dan diciptakan oleh-Nya. Hanya orang sombong lagi tidak tahu diri yang memprotes hukum Allah ﷻ.
Kita lihat zaman sekarang ini banyak orang dari kalangan liberal yang memprotes hukum syariat karena merasa lebih pandai dan lebih tahu tentang maslahat. Maka kita katakan,
﴿ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ ﴾
“Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”
Al-Biqa’i menjelaskan terkait ayat di atas, “Apa yang kalian pahami hikmahnya maka itulah yang diharapkan. Adapun bagian yang belum kalian pahami maka serahkanlah kepada Allah, sembari berharap bahwa Allah akan memberi ilham kepada kalian untuk memahami hikmahnya tersebut.”([8])
______________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Al-Sa’di, vol. I, hlm. 218.
([2]) Lihat: Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat was-Suwar, vol. II, hlm. 6.
([3]) Lihat: Tafsir Al-Sa’di, vol. I, hlm. 218.
([4]) HR Al-Tirmidzi, no. 1352, dan dinyatakan sahih oleh Al-Albani.
([5]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 34.
([6]) Lihat: Tafsir Al-Sa’di, vol. I, hlm. 218.