129. وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّى بَعْضَ ٱلظَّٰلِمِينَ بَعْضًۢا بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ
wa każālika nuwallī ba’ḍaẓ-ẓālimīna ba’ḍam bimā kānụ yaksibụn
129. Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.
Tafsir :
Pada asalnya ayat ini berkaitan dengan jin dan manusia. Allah ﷻ menjelaskan bahwa Allah ﷻ menjadikan kalangan yang zalim itu saling berteman di antara mereka, sebagai hukuman atas kezaliman yang mereka perbuat. Jadi, para manusia ini dapat dikuasai oleh jin, semata-mata dikarenakan kezaliman yang mereka lakukan. Ketika mereka berbuat zalim, maka Allah ﷻ jadikan rekan-rekan pergaulan mereka adalah kalangan yang zalim pula. Sehingga mereka pun merasa semakin nyaman dalam kezaliman, maka terus menumpuklah dosa-dosa mereka.
Dari sini juga dapat disimpulkan, bahwa kalangan saleh yang jauh dari kezaliman, dengan izin Allah ﷻ tidak akan didekati oleh jin-jin zalim tersebut.([1])
Meskipun ayat ini terkait dengan interaksi antara jin dan manusia, namun ia juga bisa diberlakukan pada hubungan antar manusia. Kesimpulan ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi,
الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Yang menjadi acuan adalah keumuman lafal, bukan kekhususan sebab.”
Senada dengan kaidah di atas, apa yang dinyatakan oleh para ahli usul fikih, bahwa hukum asal apapun yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad ﷺ adalah disyariatkan bagi umatnya, hingga datang dalil yang menyatakannya sebagai kekhususan bagi Nabi Muhammad ﷺ saja.([2])
Implementasi umum dari ayat ini, adalah apa yang dijelaskan oleh para ulama terkait at-tadawul antara kaum yang zalim. Yakni, sudah merupakan sunnatullah (hal yang pasti terjadi), bahwa setiap kalangan zalim pasti akan dibinasakan oleh kaum zalim yang datang setelahnya. Demikian pula, masyarakat yang zalim akan dipimpin oleh pemimpin yang zalim. Inilah sunnatullah yang berlaku.([3])
Fir’aun tidak selamanya berkuasa, begitu juga dengan kaum ‘Ad dan kaum Tsamud. Ajal mereka akan tiba, lalu digantikan dengan orang-orang zalim yang datang setelahnya untuk berkuasa. Inilah sunnah at-tadawul yang selalu berlaku di dunia ini. Karenanya, Abul Baqa’ Ar-Rundy ketika meratapi terlepasnya Andalusia dari kekuasaan umat Islam mengatakan,
لِكُلّ شَيءٍ إذا مَا تَمَّ نُقْصَانُ … فلا يُغَرَّ بطِيْبِ العيش إنسانُ
“Setiap sesuatu yang sudah sempurna, pasti dia akan mulai berkurang (menurun). Maka, janganlah seseorang teperdaya dengan indahnya kehidupan.”
Seseorang yang sudah sempurna kehidupannya, pastilah selanjutnya ia akan kembali menurun. Seseorang tidak akan terus berada di puncak kehidupannya, tetapi dia akan menurun, entah hartanya yang mulai berkurang, atau kesehatannya, ingatannya, keturunannya, dan seterusnya. Dan akhirnya, ia pun akan wafat, dan meninggalkan segala yang ia miliki di dunia.
Abul Baqa’ melanjutkan,
هي الأمورُ كَما شَاهَدْتَهَا دُوَلُ … مَن سَرَّهُ زمنٌ سَاءَتْهُ أزْمَانُ
“Demikianlah dunia ini, ia silih berganti, sebagaimana yang engkau saksikan. Barang siapa yang bahagia pada suatu waktu, ia pasti juga akan merasakan kesengsaraan di waktu lainnya.”
وعَالَم الكَوْنِ لا تَبقَى محاسِنُه … ولا يَدُوْمُ على حالٍ لَهَا شَانُ
Keindahan dunia ini tidak akan kekal. Dan tidak akan tetap selamanya dalam satu kondisi saja. (Kehidupan seseorang tidak akan kekal selamanya di dunia ini, karena dia akan meninggal dunia).([4])
__________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi (7/85).
([2]) Lihat: Tafsir as-Sa’di, (1/660).