103. لَّا تُدْرِكُهُ ٱلْأَبْصَٰرُ وَهُوَ يُدْرِكُ ٱلْأَبْصَٰرَ ۖ وَهُوَ ٱللَّطِيفُ ٱلْخَبِيرُ
lā tudrikuhul-abṣāru wa huwa yudrikul-abṣār, wa huwal-laṭīful-khabīr
103. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
Tafsir :
Pada ayat ini menggunakan kata الإِدْرَاكُ, yang artinya mencapai atau meliputi secara keseluruhan.
Kaum Muktazilah menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa Allah ﷻ tidak dapat dilihat, baik di dunia maupun di Akhirat. Mereka memaknai الإِدْرَاكُ dengan ‘melihat’, sehingga makna ayat adalah bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan penglihatan mata. Pendapat ini dibantah oleh para ulama dari kalangan Ahlusunah maupun Asya’irah, meskipun Asya’irah sedikit berbeda dengan Ahlusunah dalam masalah ini.
Di antara bantahan terhadap muktazilah dalam masalah ini adalah sebagai berikut:
Pertama: Secara bahasa, makna الإِدْرَاكُ adalah الإِحَاطَةُ (meliputi secara keseluruhan), bukan الرُّؤيَة (melihat).
Di antara dalilnya adalah firman Allah ﷻ,
﴿فَلَمَّا تَرَاءَى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَىٰ إِنَّا لَمُدْرَكُونَ﴾
“Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. (QS. Ash Shu’ara: 61)
Di sini kata الإِدْرَاكُ tidak dimaknai dengan melihat, akan tetapi dengan tersusul (terkepung/terliputi). Tidak tepat jika الإِدْرَاكُ pada ayat ini dimaknai dengan melihat, karena kedua golongan itu memang sudah saling melihat sebelumnya.
Kedua: Kelanjutan ayat 103 dari surah Al-An’am ini, yaitu:
﴿وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَۖ ﴾
“… sedang Dia dapat meliputi seluruh penglihatan ...”
Sungguh tidak tepat apabila الإِدْرَاكُ pada ayat di atas dimaknai dengan penglihatan, sehingga maknanya “Sedang Dia dapat melihat seluruh penglihatan”, karena penglihatan adalah sesuatu yang abstrak. Makna yang tepat dari الإِدْرَاكُ pada ayat di atas adalah meliputi, yakni meliputi seluruh penglihatan secara mutlak nan sempurna.
Ketiga: Ayat ini ditujukan untuk memuji Allah ﷻ, sedangkan tidak dapat terlihatnya sesuatu bukanlah merupakan suatu pujian.
Allah ﷻ tidak sedang memuji diri-Nya karena tidak dapat terlihat. Akan tetapi Allah ﷻ hendak memuji diri-Nya, lantaran meskipun Dia ﷻ dapat terlihat, namun tiada suatu penglihatan pun yang dapat meliputiNya secara keseluruhan. Sebagaimana Allah ﷻ dapat diketahui, namun tiada satu pengetahuan atau akal pun yang dapat meliputi dan mengetahui segala sesuatu tentang Allah ﷻ. Oleh karenanya Allah ﷻ berfirman,
﴿يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا﴾
“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” (QS. Ta Ha:110).
Allah ﷻ juga dapat dipuji, namun tiada apa pun yang mampu memujiNya secara sempurna. Nabi Muhammad ﷺ pernah berdoa,
لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ ، أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Aku tidak bisa menyebut semua pujian untuk-Mu. Sungguh Engkau sebagaimana Engkau memuji diri-Mu sendiri.”([1])
Di akhir ayat, Allah ﷻ menyebut salah satu asma-Nya, yaitu Al-Lathif, yakni Mahahalus. Terdapat dua penafsiran di kalangan ulama terkait makna Al-Lathif.
Pertama, yakni bahwa Allah ﷻ Maha mengetahui segala sesuatu yang halus/pelik.
Kedua, yakni Allah ﷻ menyampaikan kebaikan kepada para makhluk dengan cara yang halus, tanpa disadari oleh mereka. Sebagaimana disebutkan dalam kisah Nabi Yusuf ‘Alahissalam, ketika Allah ﷻ menyampaikan kenikmatan kepada beliau ‘Alahissalam secara halus, di sela-sela berbagai ujian yang menerpa beliau ‘Alahissalam. beliau ‘Alahissalam pun menyadari sifat Allah ﷻ yang luar biasa nan sempurna ini, sehingga beliau ‘Alahissalam berkata, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an,
﴿وَقَالَ يَاأَبَتِ هَٰذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِن قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقًّاۖ وَقَدْ أَحْسَنَ بِي إِذْ أَخْرَجَنِي مِنَ السِّجْنِ وَجَاءَ بِكُم مِّنَ الْبَدْوِ مِن بَعْدِ أَن نَّزَغَ الشَّيْطَانُ بَيْنِي وَبَيْنَ إِخْوَتِيۚ إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِّمَا يَشَاءُۚ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ﴾
“Yusuf pun berkata, “Wahai ayahku inilah takbir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. Dan sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu dari dusun padang pasir, setelah syaitan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Yusuf: 100)
Sedangkan makna asma-Nya, Al-Khabir, adalah Maha mengetahui secara detail. Dapat dikatakan bahwa secara makna, Al-Khabir tidak jauh berbeda dengan Al-Lathif pada maka al-Lathif yang pertama.
________________
Footnote :