75. وَكَذَٰلِكَ نُرِىٓ إِبْرَٰهِيمَ مَلَكُوتَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ ٱلْمُوقِنِينَ
wa każālika nurī ibrāhīma malakụtas-samāwāti wal-arḍi wa liyakụna minal-mụqinīn
75. Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin.
Tafsir :
Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam adalah hamba yang beriman kepada Allah ﷻ. Namun keimanan tersebut semakin bertambah ketika ditampakkan kepada beliau ‘Alaihissalam kerajaan-kerajaan Allah ﷻ di langit dan bumi([1]). Demikianlah Allah ﷻ menguatkan keimanan kekasih-Nya, yang ketika itu menghadapi dan mendakwahi kaumnya, yang mereka semua kafir dan ingkar kepada Allah ﷻ. Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam adalah satu-satunya hamba Allah ﷻ yang beriman di Babil ketika itu. Tugas beliau ‘Alaihissalam tentu jauh lebih berat dibandingkan Ashhabul Kahfi, yang ketika itu berjumlah 7 orang, bertentangan dengan penduduk satu negeri yang kafir.
PERHATIAN
Sebagian orang memahami dari ayat ini dan beberapa ayat selanjutnya, bahwa Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam dahulunya belum bertauhid, dan beliau ‘Alaihissalam sempat melalui proses pencarian Tuhan. Menurut mereka, awalnya Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam meyakini bahwa bintang adalah Tuhan. Namun ketika bintang itu hilang dari pandangan beliau ‘Alaihissalam, beliau ‘Alaihissalam pun menyadari bahwa bintang bukanlah Tuhan. Kemudian beliau ‘Alaihissalam meyakini bahwa bulan adalah Tuhan. Namun ketika bulan itu terbenam dan hilang dari pandangan beliau ‘Alaihissalam, beliau ‘Alaihissalam pun menyadari bahwa bulan bukanlah Tuhan. Akhirnya beliau ‘Alaihissalam melihat matahari yang ukuran dan cahayanya jauh lebih besar dari pada bintang dan bulan. Beliau ‘Alaihissalam pun meyakini bahwa matahari adalah Tuhan. Namun ketika matahari itu terbenam dan hilang dari pandangan beliau ‘Alaihissalam, beliau ‘Alaihissalam pun menyadari bahwa matahari bukanlah Tuhan. Setelah melalui proses pencarian ini, pada akhirnya beliau ‘Alaihissalam pun menyadari bahwa Tuhan yang sebenarnya adalah Sang Pencipta bintang, bulan, matahari, dan seluruh alam semesta.
Pemahaman di atas tidaklah benar. Ibnu Katsir Radhiallahu ‘anhu dalam Tafsir-nya menggarisbawahi kesalahtafsiran ini. Beliau menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam berasal dari Babil, Irak, dan beliau ‘Alaihissalam diutus untuk mendakwahi dua kaum. Kaum yang pertama adalah penduduk negeri asalnya sendiri, yaitu Babil. Penduduk Babil ketika itu berada di bawah kekuasaan Raja Namrud, dan mereka merupakan para penyembah benda-benda bumi, seperti patung dan berhala-berhala. Sedangkan kaum yang kedua adalah para penduduk Syam, yang merupakan para penyembah benda-benda langit, seperti bintang, bulan dan matahari.
Dakwah pertama Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam adalah di Babil. Beliau mendakwahi ayahnya, serta raja dan penduduk negeri tersebut. Setelah melalui berbagai pergumulan lisan dan fisik, akhirnya penduduk Babil seluruhnya sepakat untuk menyingkirkan Nabi Ibrahim AS dan menghentikan dakwah beliau untuk selamanya, dengan membakar beliau ‘Alaihissalam. Namun ternyata usaha mereka tersebut digagalkan oleh Allah ﷻ, dengan memerintahkan api yang dipersiapkan untuk membakar Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam agar menjelma menjadi kesejukan dan keselamatan bagi beliau ‘Alaihissalam. Pada akhirnya, mereka pun memutuskan untuk mengusir Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam dari Babil.
Selanjutnya Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam pun pergi menuju negeri Syam, bersama istrinya, Sarah. Beliau ‘Alaihissalam pun kemudian mendakwahi penduduk Syam, yang ketika itu berbuat syirik dengan menyembah benda-benda langit.
Dialog antara Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam dengan kaumnya di Babil, telah Allah ﷻ abadikan dalam surah Al-Anbiya’. Allah ﷻ berfirman,
﴿وَلَقَدْ آتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ ، إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ ، قَالُوا وَجَدْنَا آبَاءَنَا لَهَا عَابِدِينَ ، قَالَ لَقَدْ كُنْتُمْ أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ ، قَالُوا أَجِئْتَنَا بِالْحَقِّ أَمْ أَنْتَ مِنَ اللَّاعِبِينَ ، قَالَ بَلْ رَبُّكُمْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الَّذِي فَطَرَهُنَّ وَأَنَا عَلَى ذَلِكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ ، وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُمْ بَعْدَ أَنْ تُوَلُّوا مُدْبِرِينَ ، فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلَّا كَبِيرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ ، قَالُوا مَنْ فَعَلَ هَذَا بِآلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ ، قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ ، قَالُوا فَأْتُوا بِهِ عَلَى أَعْيُنِ النَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَشْهَدُونَ ، قَالُوا أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا بِآلِهَتِنَا يَاإِبْرَاهِيمُ ، قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ، فَرَجَعُوا إِلَى أَنْفُسِهِمْ فَقَالُوا إِنَّكُمْ أَنْتُمُ الظَّالِمُونَ ، ثُمَّ نُكِسُوا عَلَى رُءُوسِهِمْ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا هَؤُلَاءِ يَنْطِقُونَ ، قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكُمْ شَيْئًا وَلَا يَضُرُّكُمْ ، أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ ،﴾
“Dan sungguh, sebelum dia (Musa dan Harun) telah Kami berikan kepada Ibrahim petunjuk, dan Kami telah mengetahui dia. (Ingatlah), ketika dia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya dan kaumnya, “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun menyembahnya?” Mereka menjawab, “Kami mendapati nenek moyang kami menyembahnya.” Dia (Ibrahim) berkata, “Sesungguhnya kamu dan nenek moyang kamu berada dalam kesesatan yang nyata.” Mereka berkata, “Apakah engkau da-tang kepada kami membawa kebenaran atau engkau main-main?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan (pemilik) langit dan bumi; (Dialah) yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang yang dapat bersaksi atas itu.” Dan demi Allah, sungguh, aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu setelah kamu pergi meninggalkannya. Maka dia (Ibrahim) menghancurkan (berhala-berhala itu) berkeping-keping, kecuali yang terbesar (induknya); agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata, “Siapakah yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami? Sungguh, dia termasuk orang yang zalim.” Mereka (yang lain) berkata, “Kami mendengar ada seorang pemuda yang mencela (berhala-berhala ini), namanya Ibrahim.” Mereka berkata, “(Kalau demikian) bawalah dia dengan diperlihatkan kepada orang banyak, agar mereka menyaksikan.” Mereka bertanya, “Apakah engkau yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami, wahai Ibrahim?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Sebenarnya (patung) besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka, jika mereka dapat berbicara. Maka mereka pun tersadarkan dan lantas berkata, “Sesungguhnya kamulah yang menzalimi (diri sendiri).” Kemudian mereka menundukkan kepala (lalu berkata), “Engkau (Ibrahim) pasti tahu bahwa (berhala-berhala) itu tidak dapat berbicara.” Dia (Ibrahim) berkata, “Mengapa kamu menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun, dan tidak (pula) mendatangkan mudarat kepada kamu?! Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Tidakkah kamu mengerti?” (QS. Al-Anbiya’ : 51-67)
Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam hendak menyadarkan mereka, bahwa patung-patung yang mereka sembah itu tidak bisa berbuat apa-apa.
Adapun dialog yang disebutkan pada surah Al-An’am ini, dari ayat 75 sampai ayat 82, adalah percakapan beliau ‘Alaihissalam dengan penduduk negeri Syam ketika sedang mendakwahi mereka. Dialog tersebut bukan menceritakan Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam yang sedang mencari Tuhan. Ia tidak pula menyatakan bahwa Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam pernah mengakui bintang, bulan, dan matahari sebagai Tuhan. Melainkan ia memuat bantahan beliau ‘Alaihissalam terhadap penduduk Syam yang ketika itu menyembah benda-benda langit. Beliau ‘Alaihissalam mendakwahi mereka dengan mengajukan dialog yang mengandung argumentasi kebenaran tauhid, sesuai dengan kesyirikan yang mereka lakoni.
Ibnu Katsir Radhiallahu ‘anhu berkata,
وَالْحَقُّ أَنَّ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ، كَانَ فِي هَذَا الْمَقَامِ مُنَاظِرًا لِقَوْمِهِ، مُبَيِّنًا لَهُمْ بُطْلَانَ مَا كَانُوا عَلَيْهِ مِنْ عِبَادَةِ الْهَيَاكِلِ وَالْأَصْنَامِ
“Yang benar adalah bahwa Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam ketika itu sedang mendebat kaumnya, sembari menjelaskan kebatilan ibadah yang mereka kerjakan, berupa penyembahan terhadap haykal-haykal[2] dan berhala-berhala.”([3])
Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam sama sekali tidak pernah berbuat kesyirikan, berdasarkan firman Allah ﷻ,
﴿مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ﴾
“Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus, Muslim dan dia tidaklah termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)
﴿إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ﴾
“Sungguh, Ibrahim adalah seorang imam (yang dapat dijadikan teladan), patuh kepada Allah dan hanif. Dan dia bukanlah termasuk orang musyrik (yang mempersekutukan Allah)…” (QS. An-Nahl: 120)
Penggunaan وَمَا كَانَ dan وَلَمْ يَكُ pada kedua ayat tersebut untuk menunjukkan masa lalu, yakni bahwa Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam sama sekali tidak pernah berbuat syirik.
________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir (3/290).
[2] Perwujudan dari benda-benda langit, dalam bentuk patung atau yang semacamnya.