68. وَإِذَا رَأَيْتَ ٱلَّذِينَ يَخُوضُونَ فِىٓ ءَايَٰتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا۟ فِى حَدِيثٍ غَيْرِهِۦ ۚ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ ٱلشَّيْطَٰنُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ ٱلذِّكْرَىٰ مَعَ ٱلْقَوْمِ ٱلظَّٰلِمِينَ
wa iżā ra`aitallażīna yakhụḍụna fī āyātinā fa a’riḍ ‘an-hum ḥattā yakhụḍụ fī ḥadīṡin gairih, wa immā yunsiyannakasy-syaiṭānu fa lā taq’ud ba’daż-żikrā ma’al-qaumiẓ-ẓālimīn
68. Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).
Tafsir :
Arahan pada ayat ini ditujukan kepada seluruh umat Islam([1]), bahwa jika kita mendapati majelis yang diisi dengan olok-olokan terhadap ayat-ayat Allah ﷻ, baik dengan mendustakannya, membantahnya, menghinanya, atau yang semacamnya, maka hendaknya kita meninggalkan majelis tersebut, sampai topik pembicaraan mereka berubah. Adapun jika kita terlalaikan, sehingga terlarut dan hanyut dalam majelis yang demikian, maka hendaklah kita segera meninggalkannya saat kita tersadarkan, dan janganlah sekali-kali kita kembali kepada majelis-majelis semacam itu.
Mujahid (RH) mengatakan tentang mereka yang memperolok-olok ayat-ayat Allah ﷻ,
هُمُ الَّذِينَ يَقُولُونَ فِي الْقُرْآنِ غَيْرَ الْحَقِّ
“Mereka adalah orang-orang yang berbicara tentang Al-Qur’an tanpa kebenaran.”([2])
Orang-orang seperti ini di zaman ini adalah kaum liberal, di mana mereka menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan hawa nafsu mereka, yang biasa mereka bungkus dengan istilah tafsir hermeneutika.
Ketahuilah, tidak semua orang berbicara tentang Al-Qur’an pasti benar. Begitu juga halnya dengan hadits-hadits Rasulullah ﷺ. Bisa disaksikan saat ini, begitu banyak perkara haram yang diklaim sebagai perkara halal, dengan menggunakan ayat-ayat Allah ﷻ sebagai landasannya, seperti khamar, membuka hijab bagi wanita, musik, zina, mengucapkan selamat terhadap hari raya agama lain, dan yang lainnya.
Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi (RH) menegaskan akan bahaya membersamai ahli bidah dalam majelis-majelis mereka.([3])
Dikisahkan bahwa suatu ketika seorang ahli bidah berkata kepada Ibrahim An-Nakha’i (RH), “Dengarlah satu kata saja dariku!”. Ibrahim An-Nakha’i (RH) pun berpaling darinya seraya mengatakan, “Bahkan setengah kata pun aku tidak mau mendengarnya darimu!”([4])
Perhatikan bagaimana Ibrahim An-Nakha’i (RH) sangat memahami bahaya bermajelis dengan ahli bidah, yang seringkali memperalat dan mempermainkan ayat-ayat Allah ﷻ guna memuaskan hawa nafsu mereka.
Ini merupakan peringatan bagi sebagian kita yang suka berlagak mendengar perkataan-perkataan ahli bidah. Jika saja mendengar dengan tujuan meneliti dan membantah yang tentunya dengan landasan ilmu yang cukup, maka tidak mengapa. Adapun mendengar tanpa memiliki landasan ilmu yang cukup, sekadar hendak memuaskan rasa penasaran, maka tentu ini sangat berbahaya. Akibatnya, syubhat akan bercokol di kepalanya, sehingga menimbulkan keraguan dalam dirinya terkait kebenaran yang selama ini telah ia yakini.
Maka penulis nasihatkan bagi para pembaca sekalian agar hendaknya menjauhi majelis-majelis yang tidak jelas atau meragukan. Carilah majelis-majelis yang jelas, sehingga kita terhindar dari syubhat-syubhat yang menyebar. Para salaf dahulu pernah berkata,
أَنَّ القُلُوبَ ضَعِيْفَةٌ، وَالشُّبَهُ خَطَّافَةٌ
“Sesungguhnya hati itu lemah, sedangkan syubhat itu menyambar dengan cepat.”([5])
__________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi (7/12).
([2]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi (7/12).
([3]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi (7/13).