39. وَٱلَّذِينَ كَذَّبُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَا صُمٌّ وَبُكْمٌ فِى ٱلظُّلُمَٰتِ ۗ مَن يَشَإِ ٱللَّهُ يُضْلِلْهُ وَمَن يَشَأْ يَجْعَلْهُ عَلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ
wallażīna każżabụ bi`āyātinā ṣummuw wa bukmun fiẓ-ẓulumāt, may yasya`illāhu yuḍlil-hu wa may yasya` yaj’al-hu ‘alā ṣirāṭim mustaqīm
39. Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita. Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus.
Tafsir :
Dalam ayat ini, Allah ﷻ menjelaskan keadaan orang-orang yang mendustakan Al-Quran. Allah ﷻ menyatakan bahwa mereka tuli dan bisu dari kebenaran. Sebagian mereka tahu bahwa apa yang dibawa oleh Nabi ﷺ adalah kebenaran, namun mereka seakan-akan tuli dari mendengar kebenaran tersebut dan bisu untuk menyampaikannya, karena lebih mengutamakan syahwat duniawi di atas kebahagiaan ukhrawi.
Seperti Al-Walid bin Al-Mughirah, ia telah mengetahui bahwa apa yang dibawa oleh Nabi ﷺ pasti merupakan kebenaran, namun ia enggan beriman karena khawatir akan kehilangan status dan ketenaran. Ia tahu pasti bahwa hanya pujian dan dukungan mutlak yang pantas untuk Rasulullah ﷺ, namun hatinya telah terbutakan, telinganya telah tuli, dan mulutnya telah bisu dari kebenaran, sehingga ia malah memutar otaknya untuk mencari ungkapan terburuk yang bisa ia lemparkan kepada Rasulullah ﷺ. Tentangnya Allah ﷻ telah berfirman,
﴿إِنَّهُ فَكَّرَ وَقَدَّرَ ١٨ فَقُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ ١٩ ثُمَّ قُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ ٢٠ ثُمَّ نَظَرَ ٢١ ثُمَّ عَبَسَ وَبَسَرَ ٢٢ ثُمَّ أَدْبَرَ وَاسْتَكْبَرَ ٢٣ فَقَالَ إِنْ هَٰذَا إِلَّا سِحْرٌ يُؤْثَرُ﴾
“Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya), maka celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan?, kemudian celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan?, kemudian dia memikirkan, sesudah itu dia bermasam muka dan merengut, kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri, lalu dia berkata: “(Al Quran) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu)…” (QS. Al Muddatsir:18- 24)
Apakah yang dimaksud dengan “kegelapan-kegelapan” dalam ayat ini? Sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud adalah kegelapan yang dimaksud adalah kegelapan maknawi, yakni mereka benar-benar berada di dalam kesesatan dan jauh dari cahaya hidayah. Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah kegelapan hakiki, yakni kegelapan yang kelak akan menyelimuti mereka di Padang Mahsyar.
Kemudian Allah ﷻ menutup ayat ini dengan pernyataan bahwa barang siapa yang Ia kehendaki baginya kesesatan, maka dia akan tersesat, dan barang siapa yang Ia kehendaki baginya petunjuk, niscaya Dia akan menjadikannya menempuh jalan yang lurus. Tentunya ini semuanya Allah ﷻ lakukan dengan hikmah-Nya yang sempurna, dan sedikit sekali dari hikmah tersebut yang kita ketahui.
Ahlusunah meyakini bahwa Allah ﷻ adalah Al-Hakim, Mahabijaksana, dan memiliki hikmah yang sempurna. Adapun menurut Asya’irah, Allah ﷻ bertindak tanpa ada hikmah dan tujuan di baliknya. Keyakinan mereka ini sejatinya adalah perpanjangan dari filsafat Yunani.
Orang-orang Yunani yang hidup pada sekitar 7 abad SM bergelimang dalam sekian banyak keyakinan berbau mitos yang jauh dari bimbingan wahyu. Mereka meyakini adanya dewa-dewa yang tinggal di gunung Olympus. Di antara yang paling hebat menurut mereka adalah dewa Zeus([1]). Masyarakat Yunani tatkala itu senantiasa mengaitkan kejadian alam dengan perilaku para dewa.
Keyakinan yang sarat akan khayalan dan jauh dari penjelasan ilmiah inilah yang akhirnya melahirkan generasi para pemikir Yunani yang lebih ilmiah, seperti Sokratos, Plato, Aristoteles, dll. Mereka pun mulai berbicara tentang hakikat ketuhanan, dan mempertanyakan bahkan menentang keyakinan generasi pendahulu mereka yang sangat tidak masuk akal tersebut. Mereka ini dikenal dengan sebutan Falasifah ‘Aqlaniyyun, atau para filsuf yang rasional. Hal ini dikarenakan kosongnya mereka dari wahyu, maka mereka menuangkan gagasan ketuhanan yang dikenal dengan sebutan Prima Causa([2]). Kesempurnaan dari sang Prima Causa berkonsekuensi pada munculnya makhluk-makhluk dengan kesempurnaannya. Menurut teori mereka, Tuhan tidak memiliki tujuan dalam aktivitasnya. Hal ini karena jika Tuhan berkehendak dengan adanya tujuan di baliknya, berarti Tuhan tersebut tidak sempurna secara azali, dan Ia hanya akan sempurna jika tujuannya telah tercapai. Menurut mereka, makhluk dan Tuhan sama-sama azali, yakni makhluk tidaklah datang setelah Tuhan. Munculnya makhluk merupakan konsekuensi dari kesempurnaan Tuhan.
Dari sinilah orang-orang Asya’irah terpengaruh dengan teori mereka, sehingga mereka mengatakan bahwa Allah ﷻ melakukan sesuatu tanpa ada hikmah di baliknya. Ini semua tentu murni berdasar pada logika semata dan bertentangan dengan wahyu. Bukankah banyak sekali dalam Al-Qur’an ayat-ayat yang menjelaskan tentang tujuan dari perbuatan Allah ﷻ?! Bahkan Allah ﷻ seringkali menyebut diri-Nya dengan Al-Hakim, yaitu Dzat yang melakukan sesuatu dengan hikmah. Akan tetapi demikianlah keadaan mereka yang sudah termakan oleh jebakan filsafat. Mereka rela menakwil sekian banyak ayat, demi memenuhi syarat-syarat Tuhan yang diprakarsai oleh akal-akal mereka kecil nan terbatas. Allaahul Musta’aan!
________________
Footnote :
([1]) Zeus (Yunani: Ζεύς) atau Dias (Δίας) adalah raja para dewa dalam mitologi Yunani. Dalam Theogonia karya Hesiodos, Zeus disebut sebagai “Ayah para Dewa dan manusia”. Zeus tinggal di Gunung Olimpus. Zeus adalah dewa langit dan petir. Simbolnya adalah petir, elang, banteng, dan pohon ek. Zeus sering digambarkan oleh seniman Yunani dalam posisi berdiri dengan tangan memegang petir atau duduk di tahtanya. Zeus juga dikenal di Romawi Kuno dan India kuno. Dalam bahasa Latin disebut Iopiter sedangkan dalam bahasa Sanskerta disebut Dyaus-pita.
Zeus disebut sebagai putra dari Kronos dan Rea, disebut juga Kronide, dan merupakan yang termuda di antara saudara-saudaranya. Zeus menikah dengan kakak perempuannya, Hera, yang menjadi dewi penikahan. Zeus terkenal karena hubungannya dengan banyak wanita dan memiliki banyak anak. Anak-anaknya antara lain Athena, Apollo dan Artemis, Hermes, Ares, Hebe, Hefaistos, Persefon, Dionisos, Perseus, Herakles, Helene, Minos, dan Mousai. [Hamilton, Edith (1942). Mythology (edisi ke-1998). New York: Back Bay Books. hlm. 467] sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Zeus
([2]) Prima causa adalah sebuah kalimat bahasa Latin yang berarti penyebab atau faktor utama tanpa diawali oleh faktor lain. Prima artinya pertama atau yang utama, causa artinya penyebab atau faktor dari sesuatu [https://id.wikipedia.org/wiki/Prima_causa ].