12. يَٰيَحْيَىٰ خُذِ ٱلْكِتَٰبَ بِقُوَّةٍ ۖ وَءَاتَيْنَٰهُ ٱلْحُكْمَ صَبِيًّا
yā yaḥyā khużil-kitāba biquwwah, wa ātaināhul-ḥukma ṣabiyyā
12. Hai Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak.
Tafsir:
Kemudian firman Allah ﷻ,
﴿يَا يَحْيَىٰ خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ ۖ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا وَحَنَانًا مِنْ لَدُنَّا وَزَكَاةً ۖ وَكَانَ تَقِيًّا وَبَرًّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا وَسَلَامٌ عَلَيْهِ يَوْمَ وُلِدَ وَيَوْمَ يَمُوتُ وَيَوْمَ يُبْعَثُ حَيًّا﴾
“Hai Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak. Dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan kesucian (dan dosa). Dan ia adalah seorang yang bertakwa. Dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka. Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam: 12-15)
Empat ayat ini berbicara tentang Nabi Yahya ‘alaihissalam, putra Nabi Zakariyya ‘Alaihissalam. Semenjak kecilnya, Allah ﷻ telah mengangkat Nabi Yahya ‘alaihissalam sebagai nabi dengan memerintahkannya untuk mengambil al-kitab. Ada dua pendapat dikalangan para ulama terkait apa yang dimaksud dengan al-kitab([1]):
Pertama: Taurat, karena Nabi Yahya hanya melanjutkan risalah Nabi Musa AS.
Kedua: Kitab khusus yang diberikan kepada Nabi Yahya ‘alaihissalam.
Pendapat yang masyhur di kalangan ulama adalah pendapat pertama, bahwa yang dimaksud dengan adalah Taurat. Adapun Injil, maka ia saat itu belum ada, karena Injil diturunkan kepada Nabi Isa ‘alaihissalam, sedangkan Nabi Yahya lahir lebih dulu dari Nabi Isa ‘alaihissalam.
Yang dimaksud dengan mengambil al-kitab di sini adalah mempelajarinya, memahaminya, serta menjalankan ajaran-ajaran di dalamnya dengan baik dan sungguh-sungguh.([2])
Ada dua pendapat para ahli tafsir terkait al-hukm pada firman-Nya,
﴿وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا﴾
“Dan kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak.”
Yaitu([3]):
Pertama: Pemahaman terhadap Taurat.
Kedua: Nubuwwah (kenabian).
Kata al-hukm dalam Al-Quran terkadang datang dengan makna kenabian, seperti firman Allah ﷻ,
﴿وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ﴾
“Dan tatkala dia cukup dewasa Kami berikan kepadanya kenabian dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: 22)
Dan pendapat kedua inilah, yakni bahwa yang dimaksud adalah bahwa Nabi Yahya ‘alaihissalam telah diangkat menjadi nabi semenjak masa kecilnya, adalah pendapat kebanyakan para ulama.
Kemudian firman-Nya,
﴿وَحَنَانًا مِنْ لَدُنَّا وَزَكَاةً﴾
“Dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan kesucian (dan dosa)”
Terdapat dua pendapat di kalangan ahli tafsir berkaitan dengan kata حَنَانًا:
Pertama: Bahwa kenabian atau pemahaman yang sempurna tentang hukum Taurat tersebut telah Kami anugerahkan kepada Yahya ‘alaihissalam di masa kecil, sebagai bentuk rahmat dari Kami untuknya. Jadi makna hanaanan adalah rahmat dan kasih sayang Allah ﷻ untuk Nabi Yahya ‘alaihissalam. Kemudian kata زَكَاةً bermakna pensucian dan penjauhan dari dosa.
Kedua: Bahwa Kami tanamkan kecintaan kepada dirinya, sehingga semua orang yang melihat Nabi Yahya ‘alaihissalam akan cinta kepadanya([4]). Ini seperti firman Allah ﷻ tentang Nabi Musa AS,
﴿وَأَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِنِّي﴾
“Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku;” (QS. Thaha: 39)
Sehingga setiap orang yang melihat Nabi Musa AS menjadi mencintainya.
Sifat Nabi Yahya ‘alaihissalam berikutnya adalah taqiyyan, yakni bahwa beliau AS adalah seorang yang bertakwa. Bahkan sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa Nabi Yahya ‘alaihissalam tidak pernah berdosa sama sekali.
Kemudian firman-Nya:
﴿وَبَرًّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا﴾
“Dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.”
Ini adalah sifat Nabi Yahya berikutnya, yaitu beliau AS adalah seorang anak yang amat berbakti kepada kedua orang tuanya. Memanglah sebuah kelaziman, jika Allah ﷻ telah menyifati Nabi Yahya ‘alaihissalam sebagai orang yang bertakwa, maka sudah pasti beliau adalah seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Namun sifat berbakti kepada kedua orang tua disebutkan secara khusus, sebagai isyarat bahwa ini adalah salah satu bukti ketakwaan seseorang yang utama, dan merupakan salah satu bentuk ketakwaan tingkat tinggi yang pahalanya sangat besar jika dibandingkan dengan amalan-amalan ketakwaan lainnya. Hendaklah setiap kita yang masih memiliki orang tua, memanfaatkan momen emas ini sebaik-baiknya, sebelum penyesalan menghampiri.
Sifat Nabi Yahya ‘alaihissalam berikutnya adalah bahwa beliau bukanlah orang yang sombong dan durhaka. Ini merupakan kelaziman berikutnya dari ilmu dan takwa. Sungguh benar pepatah orang Indonesia “padi semakin berisi semakin merunduk”. Semakin bertambah ilmu dan ketakwaan seseorang, seharusnya dia semakin sadar bahwa dirinya memiliki banyak kekurangan. Semakin banyak ilmu yang didapatnya, ia pun semakin menyadari kejahilan dirinya, kekerdilan ilmunya di hadapan lautan ilmu yang sangat luas, serta semakin besar rasa hormat dan penghargaannya kepada para ulama terdahulu serta karya mereka. Ilmu dan takwa tidak sepatutnya membuat seseorang semakin pongah, tidak tahu diri, nan meremehkan orang lain.
Kemudian firman-Nya,
﴿وَسَلَامٌ عَلَيْهِ يَوْمَ وُلِدَ وَيَوْمَ يَمُوتُ وَيَوْمَ يُبْعَثُ حَيًّا﴾
“Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.”
Ada tiga fase kehidupan yang seharusnya sangat dikhawatirkan oleh seseorang, dan keselamatan pada ketiganya seharusnya selalu menjadi prioritas setiap orang. Dan Allah ﷻ telah menjamin keselamatan bagi Nabi Yahya ‘alaihissalam dalam 3 fase ini. Ketiganya adalah([5]),
- Ketika berpindah dari alam janin menuju alam kehidupan dunia.
- Ketika berpindah dari alam kehidupan di dunia menuju kehidupan di alam barzakh.
- Ketika berpindah dari alam barzakh menuju alam akhirat atau Padang M
Pertama, ketika baru lahir, setan sudah semangat dalam mengganggu manusia, sehingga banyak bayi-bayi yang menangis karena gangguan setan.
Kedua, ketika akan meninggal dunia, setan mengerahkan seluruh kekuatannya demi menjadikan manusia meninggal dalam keadaan su’ul khotimah, karena ini adalah kesempatan terakhirnya untuk menjerumuskan manusia ke neraka Jahanam. Jika seseorang tidak ditolong oleh Allah ﷻ dalam keadaan ini, maka dia bisa binasa menjelang kematiannya; entah meninggal dalam keadaan bermaksiat, sulit mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah, atau meninggal dalam keadaan ber-su’uzhan (buruk sangka) kepada Allah ﷻ.
Diriwayatkan bahwa ketika Imam Ahmad RH akan wafat, beliau mengatakan “belum..belum!”. Ketika ditanyai tentang itu, beliau menjelaskan bahwasanya baru saja Iblis datang kepadanya dan berkata “Kau telah selamat dariku wahai Ahmad!”. Imam Ahmad pun menegaskan bahwa selama manusia belum meninggal dunia, maka ia belumlah lolos dari Iblis dan bala tentaranya. Iblis ingin memasukkan rasa ujub pada diri Imam Ahmad di saat-saat terakhir kehidupannya, untuk mencelakakannya([6]).
Sakarotul maut adalah kondisi yang sangat genting, karena tidak ada yang bisa menjamin keadaan seseorang saat meninggal, apakah akan husnul khotimah, ataukah suu’ul khatimah. Oleh karenanya seseorang hendaknya selalu waspada dan meminta pertolongan kepada Allah ﷻ agar diselamatkan ketika sakarotul maut.
Ketiga, ketika dibangkitkan di Hari Kiamat. Hari kiamat adalah hari yang sangat dahsyat, sehingga pada hari tersebut seseorang sudah pasti sangat butuh penyelamatan dari Allah ﷻ.
Ada sebuah kisah populer di kalangan ahli tafsir tentang kematian Nabi Yahya ‘alaihissalam. Ada beberapa riwayat tentang detail kisah itu, di antaranya adalah bahwa ketika itu ada seorang wanita pezina yang menyukai Nabi Yahya ‘alaihissalam, namun Nabi Yahya tidak menyukainya. Ternyata ada seorang raja yang menyukai wanita dan hendak menikahinya. Lantaran dendamnya terhadap penolakan Nabi Yahya ‘alaihissalam, wanita tersebut pun meminta mahar kepada sang raja berupa kepala Nabi Yahya ‘alaihissalam. Akhirnya Nabi Yahya dibunuh oleh penguasa tersebut sebagai mahar bagi wanita tersebut. Perlu digarisbawahi bahwa walaupun kisah ini sangat masyhur, namun riwayat-riwayatnya tidaklah valid. Terlebih lagi ia bertentangan dengan jaminan keselamatan yang telah Allah ﷻ firmankan dalam ayat di atas.
Ayat ke-15 ini adalah akhir pemaparan kisah Nabi Zakariyya ‘Alaihissalam dan Nabi Yahya bin Zakariyya ‘Alaihissalam dalam surah Maryam. Berikutnya kita akan masuk pada pemaparan kisah Maryam dan putranya, Nabi Isa ‘alaihissalam. Allah ﷻ berpindah dari kisah yang ajaib menuju kisah lainnya yang lebih ajaib. Subhaanallah!
Sebelumnya telah disebutkan bahwa Nabi Zakariyya dianugerahi seorang putra dalam kondisi diri beliau yang sudah sangat tua dan istrinya yang juga tua dan mandul. Secara logika manusia, sepasang suami istri dengan kondisi di atas sudah mustahil akan mendapatkan keturunan, karena semua sebab untuk memiliki anak tidak ada kecuali hanya satu sebab saja, yaitu mereka adalah sepasang suami istri. Namun ternyata Allah ﷻ Yang Mahakuasa tetap menganugrahkan seorang anak kepada keduanya. Kemudian setelahnya Allah ﷻ menceritakan kisah yang lebih menakjubkan lagi, yaitu kisah tentang Maryam yang memiliki anak tanpa suami.
_______
Footnote:
([1]) Lihat: Fathul Qodir 3/384
([2]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 11/86
([3]) Lihat: Tafsir Al-Baghowi 3/227
([4]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 11/87