131. وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِۦٓ أَزْوَٰجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ ۚ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ
wa lā tamuddanna ‘ainaika ilā mā matta’nā bihī azwājam min-hum zahratal-ḥayātid-dun-yā linaftinahum fīh, wa rizqu rabbika khairuw wa abqā
131. Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.
Tafsir:
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah ﷻ melarang Nabi Muhammad ﷺ untuk memandangi dengan penuh kekaguman kenikmatan duniawi yang ada pada orang-orang kafir Quraisy([1]). Adapun sekedar memandang, baik karena memang terlihat atau karena penasaran ingin melihatnya sebentar, maka tidaklah dilarang.
Allah ﷻ menyebut kenikmatan duniawi yang Ia ﷻ berikan kepada kaum kafir, sebagai bunga. Bunga adalah sesuatu yang indah, harum semerbak, dan memiliki warna yang bervariasi yang sedap untuk dipandang mata. Namun, bunga cepat sekali layu dan gugur. Demikianlah kenikmatan duniawi, memang ia tampak indah, menarik, dan memuaskan, akan tetapi tak lama ia akan fana dan hilang dari si hamba. Maka, sangat menyedihkan jika seseorang terpedaya dengan kehidupan dunia, sehingga ia mati-matian mencarinya, sampai-sampai ia mengorbankan agamanya. Waktunya yang sangat singkat di dunia, yang seharusnya ia pergunakan untuk mengumpulkan bekal kehidupan Akhirat yang abadi, malah ia habiskan untuk mencari bunga-bunga yang cepat layu dan gugur. Sungguh meruginya! Allah ﷻ berfirman,
﴿يَتَخَافَتُونَ بَيْنَهُمْ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا عَشْرًا . نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَقُولُونَ إِذْ يَقُولُ أَمْثَلُهُمْ طَرِيقَةً إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا يَوْمًا﴾
“Mereka berbisik-bisik di antara mereka: “Kamu tidak berdiam (di dunia) melainkan hanyalah sepuluh (hari)”. Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan, ketika berkata orang yang paling lurus jalannya di antara mereka: “Kamu tidak berdiam (di dunia), melainkan hanyalah sehari saja.” (QS. Thaha: 103-104)
Kemudian Allah ﷻ menjelaskan, bahwa Ia ﷻ memberikan limpahan nikmat duniawi itu kepada kaum kafir, adalah sebagai ujian bagi mereka. Kelak di Hari Kiamat, barulah mereka menyadari itu semua, dan akhirnya mereka akan menyesal karena dahulu di dunia mereka tidak menyadari hal itu([2]). Segala kenikmatan yang seharusnya mereka gunakan untuk beribadah kepada Allah ﷻ, malah mereka pergunakan untuk berbangga-bangga, menyombongkan diri, serta mendurhakaiNya. Namun, apalah guna penyesalan di hari itu?
Kemudian Allah ﷻ menyebutkan bahwa rezeki-Nya lah yang lebih baik dan lebih kekal. Apa yang dimaksud dengan rezeki Allah ﷻ di sini? Sebagian ulama menafsirkannya dengan rezeki dunia yang halal, sedangkan sebagian lagi menafsirkannya dengan rezeki Akhirat, yaitu Surga.([3]) Memang semua rezeki pastilah berasal dari Allah ﷻ, namun Allah ﷻ secara khusus menyebut rezeki orang-orang yang beriman sebagai rezeki-Nya, karena ialah rezeki yang baik, halal, tidak membuat seseorang melupakan Akhirat, dan yang menjadi sarana untuk mencapai kebahagiaan abadi di Surga.
Ayat ini menjadi peringatan kepada kita semua agar tidak terpedaya dengan dunia. Di zaman dahulu, orang-orang sangat jarang bisa melihat kenikmatan-kenikmatan yang dimiliki oleh orang-orang kafir, sehingga ketika mereka melihatnya, maka mereka akan memandangnya dengan penuh kekaguman. Namun, pada zaman sekarang, dengan perkembangan media yang meluap-luap, berbagai penampakan kemewahan dunia dengan mudahnya diketahui oleh setiap orang. Bahkan, berbagai acara secara khusus diadakan untuk menayangkan berbagai jenis kemewahan duniawi, dan dengan mudah dan cepatnya disaksikan oleh jutaan orang setiap harinya di seluruh belahan bumi. Maka, benteng keimanan dan kesadaran beragama jauh lebih urgen di zaman seperti ini. Jangan sampai semua itu menipu kita, hingga kita terlalaikan dari Allah ﷻ, atau bahkan menjadi hamba yang tidak bersyukur kepadaNya.
Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallaahu anha mengatakan,
“Pernah suatu ketika, dapur rumah-rumah Nabi ﷺ tidak menyala selama dua bulan berturut-turut.” ([4])
Suatu hari Nabi ﷺ keluar menuju masyruubah -suatu tempat yang menyerupai kamar yang berukuran kecil-. Umar bin Khaththab pun menemui beliau ﷺ di tempat tersebut, sedangkan beliau ﷺ dalam keadaan berbaring di atas tikar yang dianyam dari daun-daun kurma, yang mana anyaman-anyaman tersebut membekas di perut Nabi ﷺ. Kamar tersebut benar-benar kosong, tidak berisikan apa pun selainkan beberapa kulit. Umar RA pun berkata kepada Nabi ﷺ,
يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى أُمَّتِكَ، فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّومَ قَدْ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ وَأُعْطُوا الدُّنْيَا، وَهُمْ لاَ يَعْبُدُونَ اللَّهَ
“Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar memberikan kelapangan harta kepada umatmu. Sungguh Persia dan Romawi telah diberikan (harta) kenikmatan dunia, padahal mereka tidak menyembah Allah.”
Mendengar hal itu, dalam keadaan berbaring, Nabi ﷺ bersabda,
أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الخَطَّابِ أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Apakah kau meragukan sesuatu, wahai ‘Umar?! Mereka adalah kaum yang telah disegerakan kenikmatan mereka di kehidupan dunia ini.” ([5])
Allah ﷻ berfirman,
﴿وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِينَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا﴾
“Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): “Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya.” (QS. Al-Ahqaf: 20)
Suatu ketika Abdullah bin Mas’ud RA melihat Nabi Muhammad ﷺ tidur di sebuah tikar anyaman yang kasar, hingga meninggalkan bekas di perut beliau ﷺ. Abdullah RA pun menawarkan untuk membuatkan sebuah kasur untuk beliau ﷺ. Perhatikan, Abdullah bin Mas’ud RA hanya menawarkan kepada beliau ﷺ sebuah kasur, bukan rumah mewah, mobil mewah, atau istana. Namun, ternyata Rasulullah ﷺ menjawab,
مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Apa urusanku dengan dunia? Tidaklah aku di dunia ini melainkan seperti seorang yang sedang menunggang hewan, lalu berteduh di bawah sebuah pohon, kemudian pergi dan meninggalkannya.” ([6])
Dunia hanyalah persinggahan sementara, sementara kehidupan hakiki adalah di alam Barzakh hingga alam Akhirat. Setiap kita sejatinya hanya singgah berteduh di di bawah sebuah pohon bernama ‘dunia’ sebentar saja, maka janganlah kita menyia-nyiakan bekal kita di persinggahan sementara ini, karena perjalanan yang sesungguhnya masih sangat panjang.
Waktu kita di dunia sangatlah sebentar. Di alam janin selama sembilan bulan, lalu hidup di alam dunia selama 40-60 tahun, jadi totalnya hanya sekitar 60 sampai 70 tahun. Setelah itu ada alam barzakh, yang kita mungkin akan hidup di dalamnya selama ratusan hingga ribuan tahun. Kemudian kita dikumpulkan di Padang Mahsyar, lalu hidup di situ selama 50.000 tahun. Kemudian akhirnya kehidupan kita yang sesungguhnya akan ditentukan, apakah abadi di dalam Surga atau kah kekal di dalam Neraka. Sadarilah ini, wahai saudaraku.
Abdurrahman bin Auf RA adalah salah satu sahabat terkaya. Suatu ketika saat sedang berbuka puasa, sebuah jamuan dihidangkan di hadapan beliau RA. Beliau pun berkata,
قُتِلَ مُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ وَهُوَ خَيْرٌ مِنِّي، كُفِّنَ فِي بُرْدَةٍ، إِنْ غُطِّيَ رَأْسُهُ، بَدَتْ رِجْلاَهُ، وَإِنْ غُطِّيَ رِجْلاَهُ بَدَا رَأْسُهُ أُعْطِينَا مِنَ الدُّنْيَا مَا أُعْطِينَا – وَقَدْ خَشِينَا أَنْ تَكُونَ حَسَنَاتُنَا عُجِّلَتْ لَنَا
“Seorang manusia yang lebih baik dariku, Mush’ab bin ‘Umair, ia telah mati syahid, lalu dikafani dengan hanya sehelai kain, yang kepalanya ditutup dengannya maka tampaklah kedua kakinya, dan jika ditutup dengannya kedua kakinya, maka tampak kepalanya.
Sementara kita?! Dunia telah dihamparkan kepada kita! Sungguh aku khawatir, semua kebaikan yang berhak aku dapatkan telah habis disegerakan di dunia…”
Setelah mengucapkan itu, beliau pun terus menangis, hingga akhirnya beliau RA pergi meninggalkan jamuan tersebut.([7])
Pertaanyaannya adalah, pernahkah kekhawatiran yang dirasakan oleh Abdurrahman bin Auf RA itu hadir di hati kita? Pernahkah kita khawatir jika ternyata seluruh jatah kenikmatan kita telah Allah ﷻ berikan di dunia, sehingga kita berakhir bangkrut di Akhirat? Pernahkah semua itu hadir di benak kita? Saudaraku, kesadaran-kesadaran semacam ini adalah pengingat, agar kita tidak terlena dengan kenikmatan duniawi yang kita rasakan, dan agar kita berusaha memaksimalkannya untuk meraih keridaan Allah ﷻ.
Bagaimanapun juga, kecintaan dunia dengan kecintaan akhirat tidak mungkin digabungkan. Namun, jika seseorang mencari harta untuk akhirat, maka hal itu tidaklah dilarang, seperti dengan tujuan menafkahi keluarganya dengan baik, agar dapat melaksanakan zakat dan haji, menyedekahkannya kepada fakir miskin dan siapa pun yang membutuhkan, menyokong penyebaran agama Allah ﷻ, dan niatan-niatan baik lainnya.
______
Footnote:
([1]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 5/326
([2]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 11/262
([3]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 11/263
([5]) Lihat redaksi lengkap hadis di dalam kitab Sahih Bukhari 3/133 no. 2468.
([6]) HR Tirmidzi no. 2377 dan Ibnu Majah no. 4109 dan sahihkan oleh Al-Albani