12. وَإِذْ يَقُولُ ٱلْمُنَٰفِقُونَ وَٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌ مَّا وَعَدَنَا ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ إِلَّا غُرُورًا
wa iż yaqụlul-munāfiqụna wallażīna fī qulụbihim maraḍum mā wa’adanallāhu wa rasụluhū illā gurụrā
12. Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata: “Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya”.
Tafsir :
Pada ayat selanjutnya Allah ﷻ berfirman,
وَإِذْ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ مَا وَعَدَنَا اللهُ وَرَسُولُهُ إِلَّا غُرُوراً * وَإِذْ قَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ يَا أَهْلَ يَثْرِبَ لا مُقَامَ لَكُمْ فَارْجِعُوا وَيَسْتَأْذِنُ فَرِيقٌ مِنْهُمُ النَّبِيَّ يَقُولُونَ إِنَّ بُيُوتَنَا عَوْرَةٌ وَمَا هِيَ بِعَوْرَةٍ إِنْ يُرِيدُونَ إِلَّا فِرَاراً * وَلَوْ دُخِلَتْ عَلَيْهِمْ مِنْ أَقْطَارِهَا ثُمَّ سُئِلُوا الْفِتْنَةَ لَآتَوْهَا وَمَا تَلَبَّثُوا بِهَا إِلَّا يَسِيراً * وَلَقَدْ كَانُوا عَاهَدُوا اللهَ مِنْ قَبْلُ لا يُوَلُّونَ الْأَدْبَارَ وَكَانَ عَهْدُ اللهِ مَسْؤُولاً
“Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, “Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya”. Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata, “Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu”. Dan sebahagian dari mereka minta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata, “Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga)”. Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanya hendak lari. Kalau (Yatsrib) diserang dari segala penjuru, kemudian diminta kepada mereka supaya murtad, niscaya mereka mengerjakannya; dan mereka tiada akan bertangguh untuk murtad itu melainkan dalam waktu yang singkat. Dan sesungguhnya mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah, “Mereka tidak akan berbalik ke belakang (mundur)”. Dan adalah perjanjian dengan Allah akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Ahzab:12-15)
Pada ayat ini Allah ﷻ mulai bercerita tentang orang-orang munafik yang mereka tidak kuat menghadapi ujian yang begitu dahsyat. Orang-orang munafik yang selama ini menyembunyikan kemunafikan mereka maka pada perang Ahzab tampaklah keimanan mereka yang sesungguhnya. Sebagaimana dalam pepatah Arab disebutkan,
كُلُّ إِنَاءٍ بِمَا فِيهِ يَنضَحُ
“Setiap teko pasti akan menuangkan apa yang ada di dalamnya”([1])
Jika teko diisi dengan air teh maka yang akan dituangkan adalah air teh dan jika diisi dengan susu maka yang akan dituangkan adalah susu. Jika seseorang menyembunyikan kemunafikan pada dirinya maka suatu saat akan terungkap. Hal ini juga difirmankan oleh Allah ﷻ dalam Al-Qur’an,
وَلَوْ نَشَاءُ لَأَرَيْنَاكَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ وَاللهُ يَعْلَمُ أَعْمَالَكُمْ
“Dan sekiranya Kami menghendaki, niscaya Kami perlihatkan mereka kepadamu (Muhammad) sehingga engkau benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan engkau benar-benar akan mengenal mereka dari nada bicaranya, dan Allah mengetahui segala amal perbuatan kamu.” (QS. Muhammad: 30)
Dalam ayat 12-14 Allah ﷻ menjelaskan bahwa orang-orang munafik saat itu terbagi menjadi tiga kelompok:
- Mereka yang secara terang-terangan mengatakan bahwa Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ adalah penipu
- Mereka yang kabur dari medan pertempuran, menakut-nakuti pasukan dan memprovokasi agar kaum muslimin kabur dari medan pertempuran. Mereka memanggil penduduk Madinah dengan sebutan “Wahai penduduk Yastrib!” untuk membangkitkan semangat Jahiliah dan fanatik kesukuan([2]), padahal Nabi ﷺ telah mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah sebagaimana dalam sabdanya,
أُمِرْتُ بِقَرْيَةٍ تَأْكُلُ الْقُرَى يَقُولُونَ يَثْرِبُ وَهِيَ الْمَدِينَةُ تَنْفِي النَّاسَ كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ
“Aku diperintahkan (untuk berhijrah) ke suatu tempat yang daya tariknya lebih dominan daripada tempat-tempat lain, mereka menyebut tempat tersebut dengan Yatsrib padahal ia adalah kota Madinah, kota ini membersihkan manusia (yang jahat) sebagaimana alat tempa besi yang membersihkan karat besi”.([3])
- Mereka yang meminta izin untuk meninggalkan medan perang. Mereka beralasan bahwa rumah mereka tidak aman dan mereka berdusta dengan alasan tersebut. Dalam ayat tersebut Allah menggunakan kata يَسْتَأْذِنُ dalam bentuk fi’il mudhari’ yang menjelaskan bahwa izin tersebut mereka lakukan secara terus-menerus dan berulang-ulang.
Seandainya mereka diserang oleh para musuh dari segala penjuru kemudian mereka diminta الْفِتْنَةَ ada yang berpendapat makna الْفِتْنَةَ adalah untuk berbuat murtad (kembali kepada kesyirikan), pendapat lain mengatakan bahwa maknanya adalah berperang atas nama kabilah([4]), niscaya mereka akan langsung menurutinya. Di sini Allah menjelaskan tentang sifat orang-orang munafik yang sesungguhnya, yaitu seandainya mereka telah dikuasai oleh musuh kemudian diperintahkan untuk murtad atau berperang atas nama kabilah mereka dan bukan atas nama Islam niscaya mereka tidak akan berpikir panjang untuk memenuhi permintaan tersebut. Padahal mereka telah berjanji kepada Allah ﷻ agar tidak lari dari medan pertempuran dan sungguh mereka akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah atas janji tersebut.
_____________
Footnote :
([1]) Disebutkan oleh as-Sakhawi dalam Al-Maqashid al-Hasanah ketika menjelaskan kalimat yang semakna dengan perkataan ini, yaitu الْكَلامُ صِفَةُ الْمُتَكَلِّمِ yang artinya “Perkataan seseorang akan menunjukkan sifat aslinya [Al-Maqashid al-Hasanah (1/510)]