6. ٱلنَّبِىُّ أَوْلَىٰ بِٱلْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ ۖ وَأَزْوَٰجُهُۥٓ أُمَّهَٰتُهُمْ ۗ وَأُو۟لُوا۟ ٱلْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُهَٰجِرِينَ إِلَّآ أَن تَفْعَلُوٓا۟ إِلَىٰٓ أَوْلِيَآئِكُم مَّعْرُوفًا ۚ كَانَ ذَٰلِكَ فِى ٱلْكِتَٰبِ مَسْطُورًا
an-nabiyyu aulā bil-mu`minīna min anfusihim wa azwājuhū ummahātuhum, wa ulul-ar-ḥāmi ba’ḍuhum aulā biba’ḍin fī kitābillāhi minal-mu`minīna wal-muhājirīna illā an taf’alū ilā auliyā`ikum ma’rụfā, kāna żālika fil-kitābi masṭụrā
6. Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).
Tafsir :
Syeikh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah dalam tafsir ayat ini menjelaskan bahwa Allah ﷻ memberitahukan kepada kaum mukmin tentang keadaan Rasul dan kedudukannya agar mereka menyikapi Beliau dengan sikap yang pantas, yaitu hendaknya orang-orang yang beriman mencintai Nabi mereka lebih dari mencintai diri mereka sendiri dalam segala urusan. Hal ini karena Nabi ﷺ memiliki jasa yang sangat besar kepada mereka sehingga beliau harus lebih utama dari diri orang-orang yang beriman([1]). Diriwayatkan dalam Sahih Bukhari bahwa ‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi ﷺ dan beliau memegang tangan Umar bin Khaththab –radiyallahu ’anhu-. Lalu Umar –radhiyallahu ’anhu- berkata, لَأَنتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِن كُلِّ شَيءٍ إِلَّا مِن نَفْسِي ”Ya Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.” Kemudian Nabi ﷺ berkata, لَا وَالَّذِي نَفسِي بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيكَ مِن نَفسِكَ ”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, فَإِنَّهُ الآنَ وَاللهِ لَأَنتَ أَحَبُّ إِليَّ مِنْ نَفسِي ”Sekarang, demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi ﷺ berkata, الآنَ يَا عُمَر ”Saat ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).”([2])
Firman Allah ﷺ,
النَّبِىُّ أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ ۖ
“(Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri)”
Terdapat beberapa penafsiran terkait makna “lebih utama bagi orang-orang mukmin” di antaranya([3]) :
Pertama: Maksudnya bahwa Nabi lebih utama bagi orang-orang beriman daripada sesama mereka. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi ﷺ,
أنا أولى بالمؤمنينَ من أنفسِهِم، فمن توفِّيَ وعليْهِ دينٌ فعليَّ قضاؤُهُ، ومن ترَكَ مالًا فَهوَ لورثتِهِ
“Aku lebih berhak terhadap orang-orang yang beriman dari pada diri mereka sendiri, maka barang siapa yang meninggal dalam keadaan memiliki hutang maka akulah yang akan melunasinya dan barang siapa yang meninggalkan harta maka harta tersebut untuk ahli warisnya”([4])
Dari sini juga dapat disimpulkan sebagaimana dijelaskan oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya bahwa wajib bagi para penguasa apabila ada orang miskin yang meninggal dunia dalam keadaan berhutang untuk dilunasi dari baitulmal sebagai bentuk mencontoh Nabi ﷺ.([5])
Kedua: Nabi ﷺ lebih utama daripada orang-orang yang beriman dari pada diri mereka sendiri karena jiwa-jiwa mereka menyeru kepada kebinasaan sedangkan Nabi ﷺ menyeru kepada keselamatan. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah ﷻ,
لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌۭ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌۭ رَّحِيمٌۭ
Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman. (QS. At-Taubah: 128)
Dalam salah satu hadisnya Nabi ﷺ juga pernah bersabda,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا مَثَلِي وَمَثَلُ أُمَّتِي كَمَثَلِ رَجُلٍ اسْتَوْقَدَ نَارًا فَجَعَلَتْ الدَّوَابُّ وَالْفَرَاشُ يَقَعْنَ فِيهِ فَأَنَا آخِذٌ بِحُجَزِكُمْ وَأَنْتُمْ تَقَحَّمُونَ فِيهِ
Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah ﷺ bersabda, “Perumpamaanku dengan umatku ialah bagaikan seorang yang menyalakan api. Maka serangga-serangga dan laron beterbangan menjatuhkan diri ke dalam api itu. Maka aku memegang pinggang kalian (untuk mencegah kalian semua agar tidak jatuh ke api -red), tetapi kalian menjatuhkan diri kalian ke api“([6])
Ketiga: Maksudnya apabila hawa nafsu memerintahkan pada perkara yang bertentangan dengan perintah Nabi ﷺ maka perintah Nabi ﷺ wajib didahulukan. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah ﷻ,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا۟ فِىٓ أَنفُسِهِمْ حَرَجًۭا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًۭا
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)
Al-Alusi rahimahullah ketika menjelaskan makna ayat ini beliau membandingkan antara perintah Nabi ﷺ dan perintah jiwa. Perintah Nabi ﷺ pasti memberikan manfaat dan kemaslahatan pada jiwa serta menjauhkan dari perkara yang memberikan kemudaratan padanya. Adapun perintah jiwa maka ada dua kemungkinan; pertama jiwa yang menyeru kepada keburukan maka tidak boleh diikuti, kedua jiwa yang menyeru kepada kebaikan namun terkadang dalam poin ini seseorang tidak tahu apakah yang diseru oleh jiwanya merupakan hal yang baik atau tidak. Atas dasar inilah kenapa seseorang harus mengedepankan perintah Nabi ﷺ dari pada perintah jiwanya. ([7])
Firman Allah ﷺ,
وَأَزْوٰجُهُۥٓ أُمَّهٰتُهُمْ ۗ
“Dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka”
Terdapat perbedaan pendapat terkait siapakah istri-istri Nabi ﷺ yang dimaksud? Bagaimana dengan yang sudah diceraikan oleh Nabi ﷺ?
Pendapat pertama: Siapa pun wanita yang pernah dinikahi oleh Nabi ﷺ meski sudah dicerai maka statusnya adalah Ummul Mukminin meskipun belum digauli.([8])
Pendapat kedua: Siapa pun wanita yang pernah dinikahi oleh Nabi ﷺ meski sudah dicerai dengan syarat sudah digauli maka statusnya adalah Ummul Mukminin. Pendapat ini merupakan zahir pendapat Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu.([9])
Pendapat ketiga: Siapa pun wanita yang pernah dinikahi oleh Nabi ﷺ dan belum diceraikan hingga beliau ﷺ wafat haram hukumnya untuk dinikahi karena mereka adalah istri-istri Nabi ﷺ di dunia dan di akhirat.([10])
Adapun yang dimaksud dengan ‘ibu-ibu mereka’ adalah dalam hal kehormatan dan keharaman untuk dinikahi (mahram). Dari sini muncul pertanyaan, apakah ummahatul mukminin boleh dilihat oleh lelaki kaum mukminin? Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini namun pendapat yang kuat bahwa hukumnya tidak boleh (haram)([11]). Di antara dalilnya bahwa dahulu ketika Nabi ﷺ masih hidup kaum mukminin diperintahkan untuk bertanya atau meminta sesuatu kepada istri-istri Nabi ﷺ maka mereka diperintahkan untuk meminta dari balik tabir. Allah ﷻ berfirman,
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَٰعًۭا فَسْـَٔلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍۢ
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir” (QS. Al-Ahzab 53)
Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha juga pernah menutup wajahnya ketika Shafwan bin al Mu’atthal Assulami mendapatinya tertinggal dibelakang pasukan kaum mukminin, dalam hadis yang panjang Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
فَرَأَى سَوَادَ إِنْسَانٍ نَائِمٍ فَأَتَانِي فَعَرَفَنِي حِينَ رَآنِي وَقَدْ كَانَ يَرَانِي قَبْلَ أَنْ يُضْرَبَ الْحِجَابُ عَلَيَّ فَاسْتَيْقَظْتُ بِاسْتِرْجَاعِهِ حِينَ عَرَفَنِي فَخَمَّرْتُ وَجْهِي بِجِلْبَابِي وَ وَاللَّهِ مَا يُكَلِّمُنِي كَلِمَةً وَلَا سَمِعْتُ مِنْهُ كَلِمَةً غَيْرَ اسْتِرْجَاعِهِ حَتَّى أَنَاخَ رَاحِلَتَهُ فَوَطِئَ عَلَى يَدِهَا فَرَكِبْتُهَا فَانْطَلَقَ يَقُودُ بِيَ الرَّاحِلَةَ حَتَّى أَتَيْنَا الْجَيْشَ
“Shafwan bin al Mu’atthal Assulami melihat ada seseorang yang masih tertidur, maka dia mendatangiku dan dia telah mengenaliku karena dia telah melihatku sebelum diwajibkan memakai hijab atasku. Seketika saya terbangun dan saya mendengar dia ber-istirja’ (mengucapkan, inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un) tatkala ia mengetahuiku. Saya langsung menutupi wajahku dengan jilbabku. Demi Allah, dia tidak berbicara sepatah kata pun dan saya sama sekali tidak mendengar satu patah kata pun kecuali kata istirja’-nya. Akhirnya ia pun merundukkan untanya dan saya pun menaikinya. Lalu ia pergi dan menuntun unta (yang saya naiki) hingga kami berhasil menyusul pasukan kaum muslimin”([12])
Dari ayat ini juga dapat disimpulkan bahwa jika istri-istri Nabi ﷺ adalah Ummul Mukminin maka Nabi ﷺ adalah Abul Mukminin (Bapak kaum mukminin). Hal ini dikuatkan dengan dalil qiraah Ubay bin ka’ab pada ayat ini yaitu وَأَزْوٰجُهُۥٓ أُمَّهٰتُهُمْ وَهُوُ أَبٌ لَّهُم yang artinya “Dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka sedangkan Nabi adalah bapak mereka” . Selain itu kedudukan para Nabi adalah sebagai bapak untuk umatnya. Allah ﷺ berfirman,
مِّلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَٰهِيمَ
“(Ikutilah) agama bapak (nenek moyang) kalian Ibrahim” (QS. Al-Hajj: 78)
Begitu juga firman Allah ﷻ ketika mengisahkan tentang Nabi Luth ‘alaihissalam yang memerintahkan kaumnya para lelaki yang suka dengan sesama jenis agar menikahi para wanita,
قَالَ يَٰقَوْمِ هَٰٓؤُلَآءِ بَنَاتِى هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ ۖ فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُخْزُونِ فِى ضَيْفِىٓ ۖ أَلَيْسَ مِنكُمْ رَجُلٌۭ رَّشِيدٌۭ
Wahai kaumku! Inilah putri-putriku([13]) mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu orang yang pandai?” (QS. Hud: 78)
Dalam hadisnya Nabi ﷺ juga pernah bersabda,
إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ مِثْلُ الْوَالِدِ
“Sesungguhnya kedudukanku dengan kalian seperti kedudukan seorang ayah”([14])
Adapun firman Allah ﷻ ,
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍۢ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّينَ
“Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi.” (QS. Al-Ahzab: 40)
Yang dinafikan oleh ayat ini adalah bapak secara nasab, jadi Nabi Muhammad ﷺ bukanlah bapak secara nasab bagi salah seorang di antara mereka. Penjelasan yang ada pada ayat-ayat sebelumnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan bapak bagi orang-orang yang beriman bahwa kedudukan Nabi bagi kaum muslimin adalah bagaikan bapak mereka bahkan lebih.
Dari ayat ini kita juga dapat mengambil pelajaran bahwasanya seorang yang beriman wajib menghormati ummahatul mukminin (ibunda-ibunda kaum mukminin), jika ada yang mencela salah satu dari mereka maka telah mencela Nabi Muhammad ﷺ. Hal ini berdasarkan firman Allah ﷺ,
ٱلْخَبِيثَٰتُ لِلْخَبِيثِينَ وَٱلْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَٰتِ ۖ وَٱلطَّيِّبَٰتُ لِلطَّيِّبِينَ وَٱلطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَٰتِ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ ۖ لَهُم مَّغْفِرَةٌۭ وَرِزْقٌۭ كَرِيمٌۭ
Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga). (QS. An-Nur: 26)
Maka wajib bagi seorang muslim untuk membela istri-istri Nabi ﷺ dari celaan dan hinaan karena kedudukan istri-istri Nabi bagaikan ibunda bagi orang-orang yang beriman.
Firman Allah ﷻ,
وَأُولُو الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama).”
Ayat ini terdapat padanya dua penafsiran berdasarkan makna مِنْ pada ayat ini;
Pertama, مِنْ didatangkan untuk menjelaskan “lebih Utama” sehingga memansukhkan التَوَارُثُ hukum waris antara kaum Muhajirin dan Anshar yang dipersaudarakan oleh Nabi ﷺ. Hal ini karena dahulu Nabi mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar di antaranya seperti; Abdurrahman bin ‘Auf dengan Sa’ad bin Rabi’, Salman Al-Farisi dengan Abu Darda’, Zubair dengan Ka’ab bin Malik yang mana persaudaraan ini melazimkan adanya hukum waris di antara mereka, yang berarti jika salah satu di antara keduanya ada yang meninggal maka yang lain akan memperoleh warisan dari saudaranya yang meninggal. Hukum ini berlaku hingga akhirnya turun ayat ini yang memansukhkan (menghapus) hukum waris antara Muhajirin dan Anshar yang dipersaudarakan oleh Nabi ﷺ.
Kedua, مِنْ dalam ayat ini adalah مِنْ البَيانِية yang didatangkan untuk memperkuat hubungan silaturahmi dan tidak didatangkan untuk memansukhkan hukum waris di antara mereka. Sehingga makna ayat tersebut adalah
وَأُولُو الأرْحَامِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah dari kalangan Muhajirin dan Anshar lebih berhak untuk menolong satu sama lain di antara mereka di dalam Kitab Allah”([15])
Adapun makna فِي كِتَابِ اللَّهِ “Di dalam kitab Allah” dalam ayat ini maka terdapat dua penafsiran; ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah Lauhul Mahfudz dan ada juga yang mengatakan bahwa maknanya adalah Al-Qur’an.([16])
Firman Allah ﷻ,
إِلا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا
“kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu”
Ayat ini terdapat padanya Istisna’ munqhati’ bermakna وَلَكِن “Akan tetapi”([17]) yang didatangkan untuk ihtiraz yaitu menghilangkan dugaan yang keliru sehingga maknanya meskipun hukum waris hanya berlaku kepada ahli waris saja bukan berarti mereka tidak boleh berbuat baik kepada yang bukan ahli waris dengan memberikan hadiah, bersedekah atau memberikan wasiat kepada mereka.
Firman Allah ﷻ, كَانَ ذَلِكَ (yang demikian itu) Yakni penghapusan hukum waris dengan dasar hijrah dan perjanjian, kemudian menjadikan warisan bagi para kerabat (ahli waris). فِي الْكِتَابِ مَسْطُورًا “Telah tertulis di dalam Kitab (Allah)” Yakni tercantum dalam Lauhul Mahfuhz atau dalam Al-Qur’an sehingga wajib untuk diterapkan.([18])
_________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir As-Sa’di hlm. 559
([3]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi (14/122)
([4]) HR. . Ibnu Majah No. 1974 dan dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Sahih Sunan Ibnu Majah.
([5]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi (14/122)
([7]) Lihat: Tafsir al-Alusi (11/149)
([8]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi (14/89)
([9]) Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Umar pernah melarang Abu Bakar radhiallahu ‘anhu yang hendak menghukum salah satu istri Nabi ﷺ yang pernah diceraikan oleh beliau karena suatu hal (yaitu; Qutailah bintu Qais al-Asadi) dan belum sama sekali disentuh oleh Nabi ﷺ, dalam hal ini Umar berkata kepada Abu Bakar,
مَا هِيَ مِنْ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ، وَلَا دَخَلَ بِهَا، وَلَا ضَرَبَ عَلَيْهَا الْحِجَابَ
“Dia bukan termasuk ummahatul mukminin karena Nabi tidak pernah menggaulinya, dan tidak pernah Nabi julurkan hijab (menutup wajahnya dan dimasukan dalam keranda yang berkelambu)….” [Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak No. 6817 (4/40)], dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Umar lah yang ingin merajam wanita yang telah diceraikan oleh Rasulullah ﷺ kemudian menikah setelahnya, namun hal itu tidak jadi dilakukan karena wanita tersebut membantah bahwa ia tidak diperintahkan untuk menutupi diri di dalam keranda yang berkelambu dan ia juga tidak disebut sebagai ummul mukminin. [Tafsir al-Qurthubi 14/125)]
([10]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi (14/229)
([11]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi (14/125)
([13]) Sebagian ahli tafsir menjelaskan bahwa putri Nabi Luth ‘alaihissalam hanya berjumlah dua orang oleh karenanya yang dimaksud dengan “Putri-putriku” dalam ayat ini adalah putri-putri kaumnya karena Nabi berkedudukan sebagai ayah untuk kaumnya.
([14]) HR. Nasa’i No. 40 dan Ahmad No. 7403, Syeikh al-Albani berkata bahwa hadis ini hasan sahih [Sahih sunan an-Nasa’i (1/38)]
([15]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi (14/124)
([16]) Lihat: Tafsir al-Baghawi (3/381)