14. إِنَّنِىٓ أَنَا ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعْبُدْنِى وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِذِكْرِىٓ
innanī anallāhu lā ilāha illā ana fa’budnī wa aqimiṣ-ṣalāta liżikrī
14. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.
Tafsir:
Ada tiga makna yang disebutkan oleh ahli tafsir terkait firman-Nya ﴿وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي﴾, yaitu:
Pertama: Ia merupakan perintah untuk selalu berdzikir kepada Allah ﷻ dan selalu mengingatNya, karena ia adalah ibadah yang sangat agung dan sangat disenangi oleh Allah ﷻ.
Kedua: Perintah untuk mendirikan shalat, yang dengannya Allah ﷻ akan mengingat seseorang secara khusus. Jika anda ingin diingat dan diperhatikan secara khusus oleh Allah ﷻ, maka dirikanlah shalat. Sebagaimana dalam firman-Nya,
﴿فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ﴾
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152)
Allah ﷻ mengetahui dan mengingat keadaan semua hamba-Nya tanpa terkecuali, hanya saja Allah ﷻ mengingat secara lebih khusus mereka yang menegakkan shalat.
Ketiga: Ia adalah perintah untuk segera menegakkan shalat yang terlupakan, langsung ketika mengingatnya([1]). Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ ﴿وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي﴾
“Barang siapa yang lupa dari shalat, maka segeralah dia shalat ketika dia ingat. Dan tidak ada kaffaroh baginya, {dirikanlah shalat ketika mengingatku}.” ([2])
Jika seseorang ketiduran dan baru bangun jam 9 pagi, maka hendaknya ia langsung shalat subuh, meskipun pada jam 9 pagi. Atau ketika seseorang lupa untuk salat Zhuhur dan baru mengingatnya ketika akan memasuki waktu Maghrib, maka hendaknya ia segera salat Zhuhur saat itu juga, meskipun itu waktu terlarang.
Ayat ini merupakan dalil bahwa Allah ﷻ dapat berbicara dengan suara yang didengar, dengan bahasa apa saja yang Ia ﷻ kehendaki, dengan topik apa saja yang Ia ﷻ kehendaki, dengan siapa saja yang Ia ﷻ kehendaki, dan kapan pun Ia mengehendakinya. Oleh karenanya Allah ﷻ disebut dengan Maha Berbicara. Demikianlah akidah yang benar, akidah Ahlusunah waljamaah, bahwasanya Allah ﷻ berbicara dengan Nabi Musa AS, berbicara dengan Nabi Muhammad ﷺ, dan dengan siapa saja yang Ia ﷻ kehendaki.
Adapun para ahlul bid’ah, seperti para Asya’irah, mereka tidaklah bisa memahami dan menerima hal ini. Mereka mengklaim bahwa Allah ﷻ berbicara tanpa suara dan tanpa huruf. Menurut mereka, Allah ﷻ hanyalah berbicara dengan bahasa jiwa yang tidak ada bahasanya. Dasar keyakinan mereka ini diambil dari Aristoteles dan Plato, bahwasanya Tuhan haruslah statis sejak zaman azali, tidak boleh mengalami perubahan sama sekali. Jika Allah ﷻ berbicara dengan suara, maka berarti ada sesuatu yang baru didengar yang keluar dari Allah ﷻ, yang dengannya Allah ﷻ tidak lagi bersifat jamid/statis. Mereka terkungkung dalam jeruji ideologi pada filsuf, yang akhirnya membuat mereka menolak ayat-ayat yang jelas menyatakan bahwasanya Allah ﷻ berbicara dengan Nabi Musa AS dengan sesuatu yang didengar.
Hal ini juga membuat mereka mengklaim bahwa Al-Quran bukanlah kalam (ucapan) Allah ﷻ, akan tetapi Al-Quran hanyalah bahasa jiwa Allah ﷻ, yang diungkapkan dengan kalam Nabi Muhammad ﷺ. Layaknya seorang bisu yang tidak bisa berbicara, yang isi hatinya haruslah diungkapkan kembali oleh si penterjemah. Ini adalah keyakinan yang sesat nan menyesatkan.
Perhatikanlah firman Allah ﷻ,
﴿إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي﴾
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah ﷻ, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”
Mungkinkah ketika mewakili Allah ﷻ, malaikat akan mengatakan hal semacam ini?! Tentu tidak mungkin! Ucapan semacam ini hanya berhak diucapkan oleh Allah ﷻ sendiri, dan siapa pun selainNya yang mengucapkannya, maka ia telah kafir!
Andai ayat ini berbunyi, “Sesungguhnya dia adalah Allah ﷻ…”, dan seterusnya dengan kata ganti “dia”, maka masih bisa kita terima jika dikatakan bahwa ini adalah perkataan malaikat.
Allah ﷻ berfirman tentang para malaikat,
﴿وَمَنْ يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَٰهٌ مِنْ دُونِهِ فَذَٰلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ﴾
“Dan barangsiapa di antara mereka, mengatakan: “Sesungguhnya Aku adalah tuhan selain daripada Allah, maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim.” (QS. Al-Anbiya: 29)
Manusia yang berkesempatan berbicara dengan para malaikat ada banyak, baik dari kalangan para nabi maupun selain mereka. Lantas, jika ternyata pada momen ini yang berbicara dengan Nabi Musa AS adalah malaikat, lalu apa makna gelar Kaliimullah dan Al-Kaliim bagi Nabi Musa AS?!
Perhatikan pula firman-Nya ﷻ sebelumnya,
﴿وَأَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَىٰ﴾
“Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu).”
Ini menunjukkan bahwa memang ketika itu Allah ﷻ berbicara dengan suara yang dapat didengar oleh Nabi Musa AS, yang berbunyi,
﴿إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي﴾
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah ﷻ, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”
Footnote
________