8. ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ لَهُ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ
allāhu lā ilāha illā huw, lahul-asmā`ul-ḥusnā
8. Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang baik),
Tafsir:
Di dalam ayat ini Allah ﷻ menyebutkan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Ia ﷻ, dengan argumen bahwa hanya milikNya lah segala al-asma’ al-husnaa, nama-nama yang mahaindah nan mahasempurna. Setiap nama tersebut mengandung sifat yang sempurna pula, seperti Al-Khaliq yang berarti Allah ﷻ yang menciptakan. Al-‘Alim yang berarti Allah ﷻ mengetahui segala sesuatu, Al-Khabir yang berarti Allah ﷻ mengetahui segala sesuatu dengan detail, Ar-Razzaq yang berarti Allah ﷻ lah yang memberikan rezeki kepada seluruh alam semesta, Al-Muhyi dan Al-Mumit yang berarti hanya Allah ﷻ lah yang menghidupkan dan yang mematikan, Al-Mutakabbir yang berarti hanya Allah ﷻ lah yang berhak menyombongkan diri-Nya, Al-‘Ali yang berarti Allah Mahatinggi, Al-Akbar yang berarti Allah Mahabesar, Al-‘Azhim yang berarti Allah Mahaagung, dan seterusnya.
Al-asma’ al-husnaa, adalah nama-nama yang mahaindah nan mahasempurna, yang hanya dimiliki oleh Allah ﷻ. Para ulama berusaha menyebutkan beberapa uncur keindahan dan kesempurnaan tersebut, seperti pada poin-poin berikut:
Pertama: Setiap nama Allah ﷻ menunjukkan pujian, dan memanggilNya dengannya adalah bentuk pujian terhadapNya.
Kedua: Setiap nama Allah ﷻ bukan hanya sekedar nama, akan tetapi dia mengandung makna hakiki nan sempurna. Ketika Allah ﷻ menyebut diri-Nya sebagai Al-Ghafur, itu bukanlah sekedar sebutan atau panggilan saja, melainkan juga pernyataan bahwa Allah ﷻ lah yang suka mengampuni dosa para hamba. Ketika Allah ﷻ menyebut diri-Nya sebagai Al-‘Aliim, itu bukanlah sekedar sebutan atau panggilan saja, melainkan juga pernyataan bahwa Allah ﷻ lah yang Maha Mengetahui segala sesuatu tanpa terkecuali dengan ilmu-Nya yang sempurna.
Setiap sifat hakiki yang terkandung dalam setiap nama Allah ﷻ adalah sifat yang sempurna, benar-benar berada pada puncak kesempurnaan mutlak. Oleh karenanya kita menterjemahkan nama-nama tersebut dengan awalan “Maha”.
Hal ini berbeda dengan manusia, yang seringkali namanya menyelisihi sifat aslinya. Seorang lelaki yang bernama Saleh, belum tentu merupakan seorang yang saleh. Seorang wanita yang bernama Syakira, belum tentu merupakan seorang yang bersyukur.
Seandainya pun seseorang yang bernama Saleh itu benar-benar saleh, namun manusia tetaplah manusia, pasti memiliki kekurangan dan kesalahan. Sifat-sifat baik yang ada pada manusia pastilah disertai kekurangan atau catat tertentu. Berbeda dengan Allah ﷻ Yang Mahasempurna.
Ketiga: Nama-nama Allah ﷻ adalah sarana untuk berdoa kepadaNya, sebagaimana yang Allah ﷻ firmankan,
﴿وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴾
“Hanya milik Allah ﷻ asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 180)
Bahkan di antara sebab dikabulkannya doa, adalah bertawasul dengan nama-nama Allah ﷻ sebelum berdoa. Bertawasul dengan nama-nama Allah ﷻ adalah dengan menyebut nama Allah ﷻ yang sesuai dengan permintaan kita dalam doa. Seperti ketika meminta diberikan rahmat, maka sebutlah , maka sebutlah Yaa Rahmaan Yaa Rahiim. Ketika meminta rezeki, sebutlah Yaa Razzaaq, Yaa Wahhaab, Yaa Mu’thii. Ketika meminta pengampunan, maaf, dan taubat, sebutlah Yaa Ghaffaar Ya Ghafuur, Yaa Tawwab Yaa Haliim.
Ini juga merupakan motivasi bagi kita untuk mengetahui makna al-asmaa’ al-husnaa, sehingga kita bisa memaksimalkan tawasul dengannya ketika berdoa.
Keempat: Pengetahuan tentang nama-nama-Nya akan membuat seseorang semakin cinta kepadaNya ﷻ.
Setelah Allah ﷻ menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah pembawa rahmat dan kebahagiaan kepada Nabi Muhammad ﷺ dan juga mereka yang beriman kepada beliau, bukanlah pembawa kesengsaraan dan penderitaan, Allah ﷻ kemudian menyebutkan kisah yang dapat lebih menghibur dan meyakinkan beliau ﷺ, yaitu kisah Nabi Musa AS. Kisah seorang nabi mulia yang menggambarkan bahwa bagaimana pun kesulitan yang menghadang seorang mukmin, kesudahan yang indah nan membahagiakan pastilah akan ia dapatkan. Dan sebaliknya, bagaimana pun kenikmatan duniawi yang didapatkan para kafir nan pembangkang, kesudahan yang buruk nan menyengsarakan pastilah akan ia rasakan.
Sebagaimana surah Maryam, surah Thaha juga Allah ﷻ turunkan sebelum Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah, pada masa di mana beliau dan para sahabat ditindas, dihina, dikucilkan, dan dimusuhi habis-habisan oleh penduduk Mekkah, bahkan oleh kerabat terdekat mereka sendiri. Masa-masa ini sangatlah berat, sehingga tidak heran jika surath-surah Makkiyyah banyak berisi hiburan kepada Rasulullah ﷺ dan para sahabat ketika itu, agar keimanan mereka tidak goyah dengan berbagai rintangan dan ujian yang menerpa.
Allah ﷻ berfirman,
﴿وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ﴾
“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan,” (QS. Al-Hijr: 97)
Allah ﷻ juga berfirman,
﴿وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ ۚ وَجَاءَكَ فِي هَٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَىٰ لِلْمُؤْمِنِينَ﴾
“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Hud: 120)