Suami Suka Memukul Istri Tanpa Alasan Syar’i
Syaikh Abdurrazaq Al-Abbad hafdzohullah menjelaskan bahwa sebagian suami yang masih awam menyangka bahwa menampakan kekuatannya kepada sang istri sehingga menjadikannya takut adalah metode yang terbaik untuk mendidik sang istri. Oleh karenanya, ada sebagian orang tatkala malam pertama langsung memukul istrinya agar istrinya tahu kekuatannya dan takut kepadanya di kemudian hari. Sebagian lagi ada yang di malam pertama mendatangkan ayam jantan dan dinampakkan di hadapan istrinya lalu dengan sekali genggaman maka iapun mematahkan leher ayam jantan tersebut. Hal ini tidak lain adalah untuk menakut-nakuti istrinya[1].
Sebagian suami langsung memukul istrinya jika melakukan kesalahan. Memang benar bahwasanya Islam membolehkan untuk memukul istri sebagaimana firman Allah
وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً (النساء : 34 )
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan jauhilah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. 4:34)
Dan sebagian suami yang suka memukuli istrinya selalu mengulang-ngulang ayat ini, seakan-akan mereka berkata kami sedang menjalankan perintah Allah.
Namun janganlah dipahami dari ayat ini bahwasanya memukul wanita itu adalah wajib, bahkan yang terbaik adalah tidak memukul mereka.
Berkata Ibnul ‘Arobi, “Atho’ berkata, “Janganlah sang suami memukul istrinya, meskipun jika ia memerintah istrinya dan melarangnya ia tidak taat, akan tetapi hendaknya ia marah kepada istrinya” [2]
Berkata Al-Qodhi, “Ini diantara fakihnya ‘Atho’…ia mengetahui bahwasanya perintah untuk memukul dalam ayat ini adalah untuk menjelaskan bahwa hukumnya adalah dibolehkan (bukan diwajibkan)”[3]
Rasulullah ﷺ bersabda,
لاَ تَضْرِبُوْا إِمَاءَ اللهِ!! فَجَاءَ عُمَرُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ ﷺ فَقَالَ ذَئِرْنَ النِّسَاءُ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ فَرَخَّصَ فِي ضَرْبِهِنَّ فَأَطَافَ بِآلِ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ نِسَاءٌ كَثِيْرٌ يَشْكُوْنَ أَزْوَاجَهُنَّ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ لَقَدْ طَافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيْرٌ يَشْكُوْنَ أَزْوَاجَهُنَّ لَيِسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ
“Janganlah kalian memukul para wanita (istri-istri kalian[4])!”. Lalu Umarpun datang menemui Nabi ﷺ dan berkata, “Para istri berani dan membangkang suami-suami mereka !!”, maka Nabi ﷺpun memberi keringanan untuk memukul mereka, maka para istripun dipukul. Para istripun banyak yang berdatangan menemui istri-istri Nabi ﷺ (para ummahatul mukminin) mengeluhkan tentang suami mereka. Nabi ﷺpun berkata, “Sungguh para istri banyak yang telah mendatangi istri-istri Muhammad ﷺ mengeluhkan tentang suami-suami mereka, bukanlah mereka (para suami yang memukul) adalah yang terbaik diantara mereka”[5]
Dalam hadits yang lain Rasulullah ﷺ bersabda, لَنْ يَضْرِبَ خِيَارُكُمْ “Orang-orang terbaik diantara kalian tidak akan memukul”[6]
Berkata Imam Asy-Syafi’i, “Sabda Nabi ﷺ “Orang-orang terbaik diantara kalian tidak akan memukul” merupakan dalil bahwa memukul wanita hukumnya adalah mubah (dibolehkan) dan tidak wajib mereka dipukul. Dan kami memilih apa yang telah dipilih oleh Rasulullah ﷺ, maka kami suka jika seorang suami tidak memukul istrinya tatkala mulut istrinya lancang kepadanya atau yang semisalnya”[7]
Beliau juga berkata, “Jika seandainya sang suami tidak memukul maka hal ini lebih aku sukai karena sabda Nabi ﷺ “Orang-orang terbaik diantara kalian tidak akan memukul””[8]
Berkata Ibnu Hajar, “Jika sang suami mencukupkan dengan ancaman (tanpa memukul) maka lebih afdhol. Dan jika masih memungkinkan untuk mencapai tujuan dengan isyarat (perkataan keras) maka janganlah ia berpindah pada tindakan (pemukulan) karena hal itu menyebabkan rasa saling menjauh yang bertentangan dengan sikap menggauli istri dengan baik”[9]
Jika seorang suami memilih untuk memukul istrinya dalam rangka mendidiknya maka diperbolehkan dalam syari’at, namun syari’at tatkala membolehkan hal ini bukan berarti membolehkannya tanpa kaidah dan syarat. Oleh karena itu pemukulan tidak boleh dilakukan kecuali mengikuti kaidah-kaidah yang dibenarkan, diantaranya
- Sang istri memang benar-benar bersalah (bermaksiat) menurut syari’at[10]
- Bahwasanya sang suami telah menasehatinya dan telah menghajr (menjauhinya) dari tempat tidur namun tetap tidak bermanfaat.[11]
Berkata Ibnul ‘Arobi, “Termasuk yang paling bagus yang pernah aku dengar tentang tafsiran ayat ini adalah perkataan Sa’id bin Jubair, ia berkata, “Ia (sang suami) menasehati sang istri mka jika ia menerima nasehat (maka tercapailah maksud). Namun jika ia tidak menerima nasehat maka sang suami menghajrnya. Jika ia berubah (maka tercapailah maksud) namun jika ia tidak berubah maka sang suami memukulnya. Jika ia berubah (maka tercapailah maksud), namun jika ia tidak berubah maka sang suami mengutus seoarang hakim dari keluarganya dan seorang hakim dari keluarga istrinya, lalu keduanya melihat permasalahan darimanakah timbulnya mudhorot. (Dan jika tidak bisa lagi perbaikan antara mereka berdua), maka tatkala itu dipisahlah keduanya”[12]
- Pukulan harus sesuai dengan kesalahan yang dilakukan. Kesalahan yang banyak dilakukan oleh para istri biasanya merupakan kesalahan yang ringan dan tidak terus-terusan. Kesalahan seperti ini tidaklah menjadikan sang istri berhak untuk dipukul.
- Tujuan dari pemukulan adalah untuk mengobati[13] bukan untuk menghina sang istri apalagi untuk melepaskan dendam yang telah terpendam. Apalagi yang sangat disayangkan sebagian suami memukul istrinya dihadapan anak-anaknya sehingga anak-anakpun belajar jadi berani terhadap ibunya atau timbul hal-hal yang lain yang merupakan penyakit psikologi pada anak-anak. Dan bayangkanlah wahai para pembaca yang budiman..bagaimanakah perasaan seorang wanita yang selalu dipukul oleh suaminya apalagi dihadapan anak-anaknya…???
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “…Kemudian hal ini juga memberi pengaruh terhadap anak-anak. Anak-anak jika melihat percekcokan yang terjadi antara ayah dan ibunya maka mereka akan merasa sakit dan terganggu, dan jika mereka melihat kasih sayang antara ayah dan ibunya maka mereka akan riang gembira…”[14]
Betapa banyak anak-anak yang akhirnya tidak terawat dan menjadi anak-anak jalanan dikarenakan cekcok yang yang terjadi antara kedua orang tua mereka.
- Menjauhi pemukulan terhadap tempat-tempat yang rawan seperti perut, kepala, dada, dan wajah[15]. Kebanyakan suami yang tukang memukul istri jika marah maka mereka akan mengambil apa saja yang ada di dekat mereka untuk dihantamkan kepada istri mereka. Terkadang mereka mengambil panci, atau piring, atau gelas, dan terkadang sesuatu dari besi…. Dan terkadang benda-benda itu dihantamkan ke wajah wanita…???. Padahal Nabi ﷺ melarang memukul wajah secara mutlak, bahkan Nabi ﷺ melarang memukul wajah hewan.
عَنْ جَابِرٌ قَالَ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ ﷺ عَنِ الضَّرْبِ فِي الْوَجْهِ وَعَنِ الْوَسْمِ فِي الْوَجْهِ
Dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah ﷺ melarang memukul di wajah dan memberi alamat (dengan menggores) di wajah”[16]
Berkata Imam An-Nawawi, “Adapun pemukulan di wajah maka dilarang pada seluruhnya…, pada manusia, keledai, kuda, unta, begol, kambing, dan yang lainnya. Akan tetapi pada manusia lebih terlarang lagi karena wajah manusia tempat terkumpulnya keindahan padahal wajah itu lembut (halus) yang mudah nampak bekas pemukulan. Terkadang bekas tersebut menjadikan wajah menjadi jelek atau bahkan terkadang mengganggu panca indra yang lain”[17].
Jika Rasulullah ﷺ melarang memukul wajah hewan, maka bagaimanakah dengan memukul wajah manusia..??, bagaimana lagi jika wajah seorang wanita??. Oleh karena itu Rasulullah ﷺ melarang secara khusus untuk memukul wajah istri
أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ ﷺ مَا حَقُّ الْمَرْأَةِ عَلَى الزَّوْجِ؟ قَالَ أَن يُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمَ وَأَنْ يَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَى وَلاَ يَضْرِبَ الْوَجْهَ وَلاَ يُقَبِّحَ وَلاَ يَهْجُرَ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
Seseorang bertanya kepada Nabi ﷺ, “Apa hak seorang wanita terhadap suaminya?”, Rasulullah ﷺ berkata, “Memberi makan kepadanya jika ia maka, memberi pakaian kepadanya jika ia berpakaian, dan tidak memukul wajahnya, tidak menjelekannya[18], serta tidak menghajr (menjauhi istrinya dari tempat tidur) kecuali di dalam rumah”[19]
Bagaimana dengan suami yang memukul wajah istri dengan apa saja yang ada ditangannya…???. Ini menunjukan lemahnya agama dan pendeknya akal sang suami.
- Pemukulan tidak boleh sampai mematahkan tulang, tidak sampai merusak anggota tubuh, dan tidak sampai mengeluarkan darah[20]. Pemukulan terhadap istri adalah obat maka harus diperhatikan jenis pemukulannya, kapan dilakukan pemukulan tersebut, bagaimana cara pemukulan tersebut, dan ukuran pemukulan tersebut
وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُوْنَهُ فَإِنَْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
“Dan merupakan hak kalian agar mereka (istri-istri kalian) untuk tidak membiarkan seorangpun yang kalian benci untuk masuk ke dalam rumah kalian[21], dan jika mereka melakukan maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas”[22]
Syaikh Utsaimin mengomentari hadits ini, “Jika perkara yang besar ini (yaitu sang istri memasukan seorang lelaki ke dalam rumahnya tanpa izin suami-pen) dan sang wanita hanya dipukul dengan pukulan yang tidak keras maka bagaimana lagi dengan bentuk-bentuk ketidaktaatan istri yang lain (yang lebih ringan)??, maka (tentunya) lebih utama untuk tidak dipukul hingga membekas…”[23]
Berkata Ibnul ‘Arobi, “ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ yaitu pukulan yang tidak ada bekasnya di badan berupa darah maupun patah”[24]
Yang sangat menyedihkan sebagian suami yang keras hatinya memukul istrinya seperti memukul hewan…???
Rasulullah ﷺ bersabda,
لاَ يَجْلِدْ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِي آخِرِ الْيَوْمِ
“Janganlah salah seorang dari kalian mencambuk (memukul)[25] istrinya sebagaimana mencambuk (memukul) seorang budak lantas ia menjimaknya di akhir hari”[26]
Berkata Ibnu Hajar, “(yaitu) kemungkinan jauhnya terjadi hal ini (digabungkannya) dua perkara dari seorang yang memiliki akal, yaitu memukul istri dengan keras kemudian menjimaknya di akhir harinya atau akhir malam. Padahal jimak hanyalah baik jika disertai kecondongan hati dan keinginan untuk berhubungan, dan biasanya orang yang dicambuk lari dari orang yang mencambuknya…dan jika harus memukul maka hendaknya dengan pukulan yang ringan dimana tidak menimbulkan pada sang istri rasa yang amat sangat untuk lari (menjauh), maka janganlah ia berlebih-lebihan dalam memukul dan jangan juga kurang dalam memberi pelajaran bagi sang istri”[27]
Peringatan :
Barangsiapa yang berbuat aniaya dengan memukul istrinya padahal istrinya telah taat kepadanya, atau dia memukul istrinya karena merasa tinggi dan ingin merendahkan istrinya maka sesungguhnya Allah lebih tinggi darinya dan akan membalasnya.
Allah berfirman
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً (النساء : 34 )
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. 4:34)
Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan ancaman bagi para lelaki jika mereka berbuat sewenang-wenang terhadap wanita tanpa ada sebab karena sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar yang merupakan wali para wanita dan Allah akan membalas siapa saja yang menzholimi mereka dan menganiaya mereka”[28]
________
Penulis: Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema: Suami Sejati (Kiat Membahagiakan Istri) – Series
________
Footnote:
[1] Sebagaimana yang beliau sampaikan dalam syarah kitab “Al-Kabaair” karya Adz-Dzhabi di masjid Al-Qiblatain di kota Nabi pada pagi hari tanggal 7 Juni 2006
[2] Ahkamul Qur’an I/536
[3] Ahkamul Qur’an I/536
[4] ‘Aunul Ma’bud VI/129
[5] HR Abi Dawud II/245 no 2146, Ibnu Majah no 1985 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, dari hadits sahabat Abdullah bin Abi Dzubab t
[6] HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrok II/208 no 2775, Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro VII/304 no 14553 dari Shohabiah Ummu Kultsum binti Abu Bakar As-Shiddiq.
[7] Al-Umm V/194
[8] Al-Umm VI/145
[9] Fathul Bari IX/304
[10] Karena sebagian suami memerintahkan istrinya untuk melakukan perkara yang diharamkan oleh Allah, tatkala sang istri menolak untuk mentaatinya maka iapun memukulnya, ia menyangka apa yang dilakukannya adalah boleh. Dalam kondisi seperti ini berarti sang suami telah mengumpulkan dua kesalahan, yang pertama ia telah memerintahkan istrinya untuk berbuat perkara yang haram, dan yang kedua ia telah melakukan pemukulan yang tidak sesuai dengan kaidah syari’at.
[11] Sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir I/493
[12] Ahkamul Qur’an I/535
Berkata Al-Kaasaani, “Dzohir ayat meskipun datang dengan huruf (و) wawu yang diletakkan untuk mutlak pengumpulan akan tetapi yang dimaksud di sini adalah pengumpulan secara tertib” (Bada’i As-Shona’i II/334)
[13] Lihat Al-Mughni VII/242
[14] Asy-Syarhul Mumti’ XII/382
[15] Lihat Al-Mughni VII/242
[16] HR Muslim III/1673 no 2116
[17] Al-Minhaj syarh Shahih Muslim XIV/97
[18] Ada yang mengatakan maksudnya adalah tidak mengatakan “Wajahmu jelek” atau mengatakan, “Semoga Allah menjelekkan wajahmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Maksudnya adalah janganlah sang suami mensifati sang istri dengan keburukan. Dan zhohir hadits menunjukan bahwa sang suami tidak mensifati istrinya dengan keburukan baik yang berkaitan dengan tubuhnya ataupun dengan akhlaknya. Yang berkaitan dengan tubuhnya misalnya ia mensifati kejelekan di matanya atau hidungnya atau telinganya atau tingginya atau pendeknya. Yang berkaitan dengan akhlaknya misalnya ia mengatakan kepada istrinya, “Kamu goblok”, “Kamu gila” dan yang semisalnya. Karena jika sang suami mensifatai istrinya dengan keburukan maka hal ini akan menjadikan sang istri terus mengingat celaannya tersebut hingga waktu yang lama” (Syarah Bulughul Maram kaset no 12)
[19] HR Abu Dawud no 2142 dan Ibnu Majah no 1850 dari hadits Mu’awiyah bin Haidah. Ibnu Hajar menyatakan hadits ini bisa dijadikan hujjah (Al-Fath IX/301). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani.
[20] Lihat Al-Mughni VII/242 dan Al-Um V/194
[21] Inilah makna yang di pilih oleh Imam An-Nawawi (Al-Minhaj VIII/184)
[22] HR Muslim II/890 no 1218
[23] Asy-Syarhul Mumti’ XII/444
[24] Ahkamul Qur’an I/535
[25] Dalam riwayat-riwyat dari jalan-jalan yang lain dengan lafal لا يضرب“Janganlah memukul” sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar (Fathul Bari IX/303)
[26] HR Al-Bukhari V/1997 no 4908 dan Muslim IV/2191 no 2855 dari hadits Abdullah bin Zam’ah
[27] Fathul Bari IX/303, lihat juga HR Al-Bukhari V/2009
[28] Tafsir Ibnu Katsir I/493