“Suami dibolehkan berdusta kepada istrinya jika ada kemaslahatannya selama tidak menjatuhkan hak sang istri”
Syari’at sangat memperhatikan keutuhan rumah tangga, sangat memperhatikan terjalinnya kasih sayang diantara dua sejoli, sampai-sampai syari’at membolehkan seorang suami berdusta kepada istrinya atau sebaliknya –selama masih dalam batasan-batasan yang dibolehkan– demi untuk menjaga ikatan kasih sayang diantara mereka berdua.
Rasulullah ﷺ bersabda
لاَ يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلاَّ فِي ثَلاَثٍ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذِبُ فِي الْحَرْبِ وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ
“Tidaklah halal dusta kecuali pada tiga perkara, seorang suami berbohong kepada istrinya untuk membuat istrinya ridho, berdusta tatkala perang, dan berdusta untuk mendamaikan (memperbaiki hubungan) diantara manusia”[1]
Berkata Ibnu Syihab, “Dan aku tidak pernah mendengar dibolehkan berdusta dari perkataan manusia kecuali pada tiga perkara, perang, mendamaikan diantara orang-orang (yang bertikai), dan perkataan seorang lelaki kepada istrinya dan perkataan seorang wanita kepada suaminya”[2]
Para ulama berbeda pendapat tentang makna dusta yang dibolehkan. Ada yang berpendapat bahwa dusta tersebut adalah dusta yang hakiki, karena dusta yang diharamkan adalah yang memberi mudhorot bagi kaum muslimin adapun dusta yang dibolehkan adalah yang ada maslahatnya bagi kaum muslimin, dan penyebutan tiga perkara di atas adalah hanya sebagai permisalan saja[3]. Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dusta yang diperbolehkan adalah tauriyah/ta’riidh (mengucapkan kalimat yang benar dan bukan dusta namun dengan tujuan agar sang pendengar memahami makna yang lain) dan bukanlah dusta yang hakiki.[4]
Imam An-Nawawi berkata, “Yang dzohir adalah bolehnya dusta secara hakiki pada tiga perkara tersebut, akan tetapi at-ta’riidh lebih utama”[5], dan inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hajar dan beliau membantah pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dusta di sini adalah ta’riid (tauriyah).[6]
Akan tetapi bolehnya dusta antara suami dan istri ada batasannya yaitu dengan syarat tidak boleh sampai tingkat menjatuhkan hak salah seorang dari keduanya.
Berkata Al-Qodhi ‘Iyadh, “Adapun penipuan (kedustaan) untuk menghalangi hak suami atau hak istri atau agar suami mengambil apa yang bukan haknya atau sang istri mengambil apa yang bukan haknya maka hal ini adalah haram berdasarkan ijmak (kesepakatan para ulama)”[7]
Namun dibolehkannya dusta antara suami istri maksudnya adalah demi menjaga kasih sayang diantara mereka.
Berkata An-Nawawi, “Adapun seorang suami berdusta kepada suaminya dan demikian juga seorang istri berdusta kepada suaminya, maksudnya adalah dalam rangka menampakan rasa kasih sayang atau untuk menjanjikan sesuatu yang tidak lazim untuk ditunaikan dan yang semisalnya”[8]
Misalnya seorang suami tatkala memakan masakan istrinya kemudian dia mendapati masakannya kurang lezat, dan biasanya seorang istri jika melihat suaminya makannya kurang selera maka ia akan bertanya, “Makanannya kurang enak?”, maka dalam kondisi seperti ini maka dibolehkan bagi sang suami untuk berdusta agar tidak menjadikan sang istri bersedih dan marah sehingga rengganglah cinta kasih diantara keduanya. Hendaknya sang suami berkata, “Maasya Allah masakannya lezaaat…”[9].
Akan tetapi yang perlu diingat janganlah sampai suami menjadikan dusta kepada istrinya merupakan pekerjaannya sehari-hari, akan tetapi hendaknya ia berdusta tatkala benar-benar dibutuhkan dan jelas kemaslahatannya. Karena jika sang istri sampai mengetahui bahwa ia telah dibohongi oleh suaminya apalagi sampai berulang-ulang maka ia akan tidak percaya pada perkataan-perkataan suaminya dikemudian hari, dan bisa jadi ia akan jadi penuh terliputi dengan sikap buruk sangka kepada suaminya.
________
Penulis: Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema: Suami Sejati (Kiat Membahagiakan Istri) – Series
________
Footnote:
[1] HR At-Thirmidzi IV/331 no 1939 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani kecuali lafal (Untuk membuat istrinya ridho)
[2] Atsar riwayat Muslim di shahihnya IV/2011 no 2605
[3] Al-Fath V/300
[4] Al-Minhaaj XVI/158, Umdatul Qori XIII/269
[5] Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath VI/159 bab الكذب في الحرب
[6] Al-Fath VI/159-160
[7] Umdathul Qoori XIII/270, demikian juga Ibnu Hajar menyampaikan kesepakatan ini (Al-Fath V/300)
[8] Al-Minhaj XVI/158
[9] Yang jadi masalah jika kemudian sang istri berkata, “Kalau begitu aku akan memasakkan bagimu setiap hari masakan ini ???!!!!”. Oleh karena itu suami harus pandai mengungkapkan kata-kata seperti misalnya ia berkata, “Masakannya lezat sekali tapi kalau bisa tambahkan ini dan itu…, atau ia berkata namun variasi makanan lebih baik agar tidak bosan…”