Wasiat Rasulullah ﷺ kepada para suami untuk memperhatikan para wanita
Rasulullah ﷺ bersabda,
اِسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُُه كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ
“Berwasiatlah untuk para wanita karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk dan yang paling bengkok dari bagian tulang rusuk adalah bagian atasnya. Jika engkau ingin meluruskan tulang rusuk tersebut maka engkau akan mematahkannya, dan jika engkau membiarkannya maka ia akan tetap bengkok, maka berwasiatlah untuk para wanita”[1]
Makna dari sabda Rasulullah ﷺ “Berwasiatlah untuk para wanita” ada beberapa makna, diantaranya[2]:
- Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah “Hendaknya kalian saling berwasiat untuk memperhatikan dan menunaikan hak-hak para wanita”
- Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah “Hendaknya kalian meminta wasiat dari diri kalian sendiri atau dari orang lain untuk menunaikan hak-hak para wanita”. Sebagaimana seseorang yang ingin menjenguk saudaranya yang sakit maka disunnahkan baginya untuk berwasiat, dan berwasiat kepada wanita perkaranya lebih ditekankan lagi mengingat kondisi mereka yang lemah dan membutuhkan orang lain yang mengerjakan urusan mereka
- Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah “Terimalah wasiatku (Nabi ﷺ) tentang para wanita dan amalkanlah wasiat tersebut, bersikap lembutlah kepada mereka dan gaulilah mereka dengan baik”.[3]
Inti dari ketiga penafsiran di atas adalah hendaknya para suami memberikan perhatian yang serius dalam bersikap baik kepada para wanita.
Wanita ada makhluk yang lemah yang sangat membutuhkan kasih sayang dari suaminya…membutuhkan perhatian khusus….. oleh karena itu Rasulullah ﷺ membuka wasiatnya dengan sabdanya ((Berwasiatlah untuk para wanita)) dan menutup wasiatnya dengan mengulangi sabdanya ((Berwasiatlah untuk para wanita)) untuk menegaskan hal ini.
Rasulullah ﷺ bersabda –tatkala haji wada’-
أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَان عِنْدَكُمْ
“Hendaknya kalian berwasiat yang baik untuk para wanita karena mereka sesungguhnya hanyalah tawanan yang tertawan oleh kalian”[4]
Berkata Asy-Syaukani, “Maksudnya bahwasanya hukum para wanita seperti hukum para tawanan…dan seorang tawanan tidak bisa membebaskan dirinya tanpa idzin dari yang menawannya, demikianlah (kondisi) para wanita. Hal ini didukung dengan hadits إِنَّمَا الطَّلاَقُ لِمَنْ أَخَذَ بِالسَّاقِ ((Sesungguhnya perceraian berada di tangan yang memegang betis)) [5]. Maka wanita tidak memiliki kekuasaan untuk membebaskan dirinya dari suaminya kecuali ada dalil yang menunjukan akan bolehnya hal itu misalnya karena kondisi suami yang tidak mampu memberi nafkah atau adanya aib pada suami yang membolehkan untuk pembatalan akad nikah dan demikian juga jika sang wanita benar-benar sangat membenci sang suami[6]…”[7]
Terkadang seorang wanita dizholimi oleh suaminya…hak-haknya tidak ditunaikan oleh suaminya…omelan-omelan menjadi santapannya sehari-hari, tamparan demi tamparan ia rasakan…namun ia tak kuasa untuk memisahkan dirinya dari suaminya…
Apalagi jika sang wanita telah mencapai usia yang agak tua…jika ia meminta cerai maka siapakah yang akan menggantikan posisi suaminya kelak…, batinnya berkata “Apakah ada laki-laki yang mau menikah denganku yang sudah tua ini”??? Kesedihan dan ketakutan terus menyelimutinya….
Terkadang meskipun suaminya selalu mendzoliminya namun ia tak kuasa berpisah dari suaminya itu…cintanya terlalu dalam kepada suaminya…ia hanyalah tawanan suaminya yang diperlakukan seenak suaminya…hanya kepada Allahlah ia mengadukan penderitaannya…!!!!!
Oleh karena itu hendaknya para suami bertakwa kepada Allah…takut kepada Allah tatkala menunaikan kewajibannya kepada para wanita… hendaknya mereka tatkala bermuamalah dengan istri-istri mereka agar mengingat wasiat Nabi ﷺ berikut ini:
Rasulullah ﷺ juga bersabda –tatkala haji wada’ mengingatkan para sahabatnya-
فَاتَّقُوْا اللهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ
“Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah[8] Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah”[9]
Berkata Imam An-Nawawi, “Hadits ini menganjurkan untuk memperhatikan hak-hak para wanita dan wasiat (untuk berbuat baik) kepada mereka serta untuk menggauli mereka dengan baik. Telah datang hadits-hadits yang banyak yang shahih tentang wasiat tentang mereka dan penjelasan akan hak-hak mereka serta peringatan dari sikap kurang dalam hal-hal tersebut (menunaikan hak-hak mereka)”[10]
Sebagian ulama menyatakan bahwa meninggalkan hak-hak istri dosanya lebih besar daripada dosa karena meninggalkan penunaian hak-hak suami. Karena seorang suami jika istrinya tidak menunaikan hak-haknya maka ia bisa saja menceraikannya atau ia mampu untuk bersabar karena tubuhnya yang kuat dan pribadinya yang kuat. Berbeda dengan seorang wanita yang dizolimi oleh suaminya, hak-haknya tidak ditunaikan oleh suaminya, maka ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menangis, hatinya lemah. Wanita yang keadaannya seperti ini merasa bahwa ia telah gagal dalam kehidupannya, ia hanya bisa mengeluhkan kesedihannya kepada Allah, terkadang ia tidak mampu untuk berdo’a kepada Allah untuk membalas kezoliman suaminya karena kecintaannya kepada suaminya.[11]
Bertakwalah wahai para suami..!!!, takutlah kepada Allah..!!!, tunaikanlah hak-hak istri-istri kalian…!!!
________
Penulis: Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema: Suami Sejati (Kiat Membahagiakan Istri) – Series
________
Footnote:
[1] HR Al-Bukhari III/1212 no 3153 dan V/1987 no 4890 dari hadits Abu Hurairah
[2] Lihat Fathul Bari VI/368
[3] Pendapat yang terakhir inilah yang menurut Ibnu Hajar lebih pas (Al-Fath VI/368)
[4] HR At-Thirmidzi no 1163, Ibnu Majah no 1851 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani
[5] HR Ibnu Majah no 2081 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani (lihat Al-Irwa’ no 2041). Maksud dari (memegang betis) adalah kinayah dari jimak. Artinya perceraian itu berada di tangan suami (Syarh Sunan Ibni Majah karya As-Suyuthi I/151)
[6] Asy-Syaukani menyebutkan adanya khilaf dalam poin yang terakhir ini
[7] Nailul Author VII/135
[8] Dalam sebagian riwayat بِأَمَانَةِ الله (Al-Minhaj VIII/183)
[9] HR Muslim II/889 no 1218
[10] Al-Minhaj VIII/183
[11] Ceramah Syaikh Muhammad Mukhtaar Asy-Syinnqithi yang berjudul “Fiqhul Usroh”