18. كَذَّبَتْ عَادٌ فَكَيْفَ كَانَ عَذَابِى وَنُذُرِ
każżabat ‘ādun fa kaifa kāna ‘ażābī wa nużur
18. Kaum ‘Aad pun mendustakan (pula). Maka alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku.
Tafsir :
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَذَّبَتْ عَادٌ فَكَيْفَ كَانَ عَذَابِي وَنُذُرِ، إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِي يَوْمِ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ، تَنْزِعُ النَّاسَ كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ مُنْقَعِرٍ، فَكَيْفَ كَانَ عَذَابِي وَنُذُرِ، وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
“Kaum ‘Ad pun telah mendustakan. Maka betapa dahsyatnya azab-Ku dan peringatan-Ku. Sesungguhnya Kami telah mengembuskan angin yang sangat kencang kepada mereka pada hari sial yang terus menerus, yang (angina tersebut) mencabuti mereka sehingga mereka bagaikan pohon-pohon kurma yang tumbang dengan akar-akarnya. Maka betapa dahsyatnya azab-Ku dan peringatan-Ku. Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar : 18-22)
Setelah Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam, Allah kemudian menyebutkan kisah kaum ‘Ad yang Nabi diutus kepada mereka adalah Nabi Hud ‘alaihissalam. Dan kisah kaum ‘Ad ini tentunya juga menjadi hiburan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa bukan hanya beliau yang didustakan oleh kaumnya, akan tetapi telah berlalu kaum-kaum yang juga mendustakan Nabi-Nabi mereka, di antaranya adalah kaum ‘Ad.
Nabi Hud ‘alaihissalam telah berulang-ulang kali menyampaikan peringatan demi peringatan kepada kaumnya, akan tetapi ternyata mereka tidak peduli. Akhirnya, disebabkan pendustaan kaum ‘Ad terhadap Nabi Allah Hud ‘alaihissalam, maka Allah memberikan mereka azab berupa angin yang kencang. Allah Subhanahu wa ta’ala menyifati angin tersebut dengan kata صَرْصَرًا, yang para ulama menafsirkannya dengan dua penafsiran yaitu, angin tersebut sangat dingin dan memiliki suara yang keras sehingga memekakkan telinga mereka. ([1])
Terdapat beberapa hal yang perlu untuk kita bahas berkaitan dengan ayat ini,
Pertama, Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa kaum ‘Ad diterpa angin tersebut pada hari yang sial. Maka timbul pertanyaan, apakah dalam Islam ada hari sial? Para ulama menjelaskan bahwa tidak hari sial dalam Islam. Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang hari sial maksudnya adalah kaum ‘Ad ditimpa angin yang kencang di hari sial untuk menunjukkan kepada kaum ‘Ad bahwa itu adalah hari dimana mereka diazab. Tentunya bagi orang-orang yang beriman hari itu bukanlah hari sial, karena Nabi Hud ‘alaihissalam dan pengikutnya tidak sial, bahkan mereka selamat dari azab tersebut. Oleh karenanya sial yang dimaksud bukan menunjukkan hari, akan tetapi menunjukkan bahwa kaum ‘Ad yang sial. Sesungguhnya tidak ada hari yang sial kecuali akan dianggap baik oleh sebagian orang lainnya([2]), maka kesialan pada dasarnya bukan kembali kepada hari, akan tetapi kembali kepada pelakunya. Oleh karenanya tidak ada hari sial dalam Islam, bahkan ketika sebagian orang menganggap bulan Shafar adalah bulan sial, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَلاَ صَفَرَ
“Tidak ada (kesialan) dalam bulan Shafar.” ([3])
Dalam hal ini Thahir Ibnu ‘Asyur juga pernah berkata,
وَاشْتَهَرَ بَيْنَ كَثِيرٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ التَّشَاؤُمُ بِيَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ، وَأَصْلُ ذَلِكَ انْجَرَّ لَهُمْ مِنْ عَقَائِدِ مَجُوسِ الْفُرْسِ
“Dan tersebar di antara banyak kaum muslimin yang menganggap hari rabu adalah hari sial. Padahal asal dari akidah ini mereka adopsi dari akidah orang-orang Majusi Persia.”([4])
Maka dari itu, tidak ada yang namanya hari sial. Menganggap hari rabu merupakan hari sial adalah tidak benar, sehingga shalat Rebo Wekasan asalnya tidak ada karena shalat tersebut dibangun di atas keyakinan menganggap bahwa hari rabu adalah hari sial. Sebagian ulama memang mengatakan bahwa kaum ‘Ad disiksa di hari rabu, namun tetap saja tidak bisa katakan bahwa hari rabu adalah hari sial karena hari itu pula Nabi Hud ‘alaihissalam dan pengikutnya tidak sial, bahkan justru mereka beruntung karena pengganggu mereka telah dibinasakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Kedua, sifat angin yang menimpa kaum ‘Ad. Sebagaimana telah kita bahas sedikit bahwa sifat angin tersebut صَرْصَرًا yang artinya angin tersebut sangat dingin yang menyakitkan mereka hingga ke dalam tulang-tulang, dan memiliki suara yang keras sehingga memekakkan telinga mereka, dan membuat mereka seperti pohon kurma yang tumbang. Disebutkan bahwa kaum ‘Ad memiliki bentuk badan yang tinggi dan kuat, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ قَوْمِ نُوحٍ وَزَادَكُمْ فِي الْخَلْقِ بَسْطَةً
“Ingatlah ketika Dia menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah setelah kaum Nuh, dan Dia lebihkan kamu dalam kekuatan tubuh dan perawakan.” (QS. Al-A’raf : 69)
Akan tetapi karena saking kuatnya kaum ‘Ad, mereka menjadi sombong. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَأَمَّا عَادٌ فَاسْتَكْبَرُوا فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَقَالُوا مَنْ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللَّهَ الَّذِي خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ
“Maka adapun kaum ‘Ad, mereka menyombongkan diri di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran dan mereka berkata, ‘Siapakah yang lebih hebat kekuatannya dari kami?’ Tidakkah mereka memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan mereka. Dia lebih hebat kekuatan-Nya dari mereka? Dan mereka telah mengingkari tanda-tanda (kebesaran) Kami.” (QS. Fushshilat : 15)
Kaum ‘Ad sombong dengan kekuatan mereka, akan tetapi cara Allah Subhanahu wa ta’ala membinasakan mereka adalah hanya dengan udara. Disebutkan bahwa ketika angin tersebut datang, mereka kaum ‘Ad mulai berlarian mencari tempat sembunyi. Akan tetapi angin tersebut menjadi seperti tangan yang mencabut mereka dari tempat persembunyian mereka, lalu kemudian mengambil mereka sehingga tidak ada yang bisa selamat dari angin tersebut. Allah berfirman تَنْزِعُ النَّاسَ “mencabuti manusia”, maknanya yaitu تَقْلَعُهُمْ مِنْ مَوَاضِعِهِمْ “mencabuti mereka dari tempat-tempat mereka” ([5]). Yaitu meskipun mereka bersembunyi di goa, di sumur, di dalam rumah mereka, tetap saja angina tersebut masuk dan mencabuti mereka dari persembunyian mereka. Pada ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa badan mereka yang besar-besar tersebut diterbangkan dan diputar di udara selama tujuh malam delapan hari. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيهَا صَرْعَى كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ
“Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus, maka kamu melihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seperti batang-batang pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (QS. Al-Haqqah : 7)
Para ulama menafsirkan bahwa maksud perumpamaan mereka dengan batang pohon kurma yang telah lapuk adalah isi perut mereka keluar dari tubuh-tubuh mereka([6]). Oleh karenanya kita dapati ada dua penafsiran kata مُنْقَعِرٍ. Pendapat pertama, مُنْقَعِرٍ berasal dari kata قَعَر yang artinya dalam, yaitu mereka mereka jatuh sampai tubuh mereka tembus ke dalam tanah. Pendapat kedua مُنْقَعِرٍ maksudnya adalah batang kurma yang telah dihilangkan bagian dalamnya, yaitu karena saking kencangnya angin tersebut sampai-sampai membuat isi-isi perut mereka keluar dari tubuh mereka sementara jasad luar mereka masih utuh, sehingga tatkala jatuh ke tanah mereka seperti batang kurma yang kosong. ([7])
Ketiga, azab kaum ‘Ad yang terus-menerus. Sebagian ulama menafsirkan bahwa maksud dari ungkapan azab yang terus-menerus adalah karena mereka diazab selama delapan hari tanpa berhenti.
Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa maksud dari azab yang terus-menerus adalah sejak angin tersebut datang, maka azab bagi mereka akan terus berkelanjutan hingga hari kiamat([8]), yaitu setelah mereka di siksa dengan angin tersebut, maka di alam barzakh mereka juga disiksa tanpa henti hingga hari kiamat. Sehingga seakan-akan angin yang datang kepada mereka di dunia dahulu hanyalah pembuka dari siksaan-siksaan bagi kaum ‘Ad, sehingga tentu siksa mereka jauh lebih berat saat ini di alam barzakh, dan terlebih lagi pada hari kiamat.
_____________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/125
([2]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 27/193
([4]) At-Tahrir wa At-Tanwir 27/193
([5]) Tafsir al-Qurthubi 17/136
([6]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/261