13. فَبِأَىِّ ءَالَآءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
fa bi`ayyi ālā`i rabbikumā tukażżibān
13. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Tafsir :
Bumi beserta isinya adalah suatu kenikmatan yang besar. Dalam Bahasa arab lafadz (كُمَا) memiliki makna kalian, yaitu kata ganti untuk dua orang, dan yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah manusia dan jin([1]). Artinya seakan-akan Allah berfirman “Wahai manusia dan jin, nikmat apa lagi yang akan kalian dustakan dari Rabb kalian? Padahal telah diberikan berbagai macam kenikmatan yang disiapkan kepada kalian.”
Disebutkan dalam suatu hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ سُورَةَ «الرَّحْمَنِ» عَلَى أَصْحَابِهِ فَسَكَتُوْا فَقَالَ: مَا لِي أَسْمَعُ الْجِنَّ أَحْسَنَ جَوَابًا لِرَبِّهَا مِنْكُمْ مَا أَتَيْتُ عَلَى قَوْلِ اللَّهِ: فَبِأَيِّ آلاءِ رَبِّكُما تُكَذِّبانِ إِلَّا قَالُوْا: لَا بِشَيْءٍ مِنْ نِعَمِكَ رَبِّنَا نُكَذِّبُ فَلَكَ الْحَمْدُ.
“Sesungguhnya Rasulullah membaca surat Ar-Rahman kepada para sahabat, lalu mereka terdiam. Maka Nabi bersada: “Kenapa aku mendengar jawaban jin lebih baik dari pada kalian? Tidaklah setiap aku membaca firman Allah ‘fa bi ayyi alaa’i raabikuma tukaddziban’, melainkan mereka pasti menjawab, ‘Tidak ada satu nikmatpun yang kami dustakan dari engkau wahai Rabb kami, segala puji hanya untuk engkau.” ([2])
Oleh karena itu, dari hadits ini para ulama berdalil bahwa jika seseorang mendengar orang lain membaca firman Allah yang berbunyi (فَبِأَيِّ أٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ) maka hendaknya dia menjawab dengan:
لَا بِشَيْءٍ مِنْ نِعَمِكَ رَبِّنَا نُكَذِّبُ فَلَكَ الْحَمْد
“Wahai Rabb kami, tidak ada satu nikmatpun yang kami dustakan dari nikmat-nikmat yang engkau berikan kepada kami, segala puji hanya untuk engkau.”
Hal ini bertujuan sebagai bentuk jawaban atas pertanyaan Allah kepada manusia dan jin bahwa tidak sedikit pun nikmat yang mereka dustakan yang telah Allah berikan kepada mereka.
Al-Alusiy dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini mendorong manusia untuk bersyukur kepada Allah. Karena betapa banyak manusia tidak bersyukur kepada Allah. Mereka lupa dengan nikmat Rabb, bahwasanya Allah telah memberikan banyak nikmat dari RububiyyahNya diantaranya berupa kenikmatan dunia.
Diantara bentuk tidak bersyukur adalah manusia beribadah kepada selain Allah, menyandarkan kenikmatan kepada selain Allah. Seperti halnya yang terjadi kepada sebagian dari mereka yang telah tertimpa suatu penyakit, lalu berobat, kemudian sembuh dari sakitnya. Kemudian mereka berkata: ‘Karena dokter saya menjadi sembuh dari sakit’. Begitu juga, jika sebagian mereka telah ditolong oleh polisi, lalu mengatakan: ‘Karena polisilah, saya bisa selamat’. Ini adalah diantara contoh manusia yang tidak bersyukur kepada Allah. Sehingga mereka menyandarkan semua kenikmatan kepada selain Allah. Padahal yang menyembuhkan dan menyelamatkan adalah Allah.
Disamping itu, diantara bentuk tidak bersyukur adalah manusia menyandarkan kenikmatan kepada diri sendiri. Yaitu merasa percaya diri karena kecerdasannya, pengalamannya sehingga dia meraih keberhasilan. Bahkan, perbuatan ini termasuk bentuk berdusta dengan nikmat Allah. Maka dari itu, hendaknya seseorang tidak mendustakan nikmat Allah, sekecil apapun nikmat tersebut. Segala yang dirasakan oleh manusia adalah murni dari Allah.([3])
____________________
Footnote :
([1]) Lihat: Ruh Al-Ma’aniy Li Al-Alusiy 14/104.