23. لِّكَيْلَا تَأْسَوْا۟ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا۟ بِمَآ ءَاتَىٰكُمْ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
likai lā ta`sau ‘alā mā fātakum wa lā tafraḥụ bimā ātākum, wallāhu lā yuḥibbu kulla mukhtālin fakhụr
23. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Tafsir :
Allah Subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwasanya segala musibah yang menimpa diri kita telah tercatat di al-Lauhul Mahfudzh tujuannya adalah agar kita tidak terlalu bersedih terhadap apa yang luput dari diri kita karena menyadari bahwa itu semua telah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya dalam sebuah riwayat disebutkan,
وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ
“Dan ketahuilah engkau bahwa apa saja yang ditakdirkan menjadi bagianmu tidak akan lepas darimu.”([1])
Meskipun semua orang sedunia ini bersatu padu untuk berusaha melepaskan diri kita dari apa yang telah ditakdirkan, ketahuilah bahwa kita tidak akan bisa lolos dari takdir tersebut. Oleh karenanya inilah diantara yang menghibur hati kita, tatkala kita ditimpa musibah maka kita akan tenang karena meyakini bahwa ini adalah takdir Allah Subhanahu wa ta’ala.
Selain agar kita tidak terlalu bersedih, juga agar kita tidak terlalu bangga hingga menyombongkan diri terhadap apa yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan kepada kita. Sesungguhnya apa yang kita dapatkan dari segi fisik, harta, atau kecerdasan, semuanya telah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, maka jangan kita sombong.
Tidak terlalu bersedih dan tidak terlalu berbangga diri terhadap apa yang menimpa diri kita adalah buah utama dari beriman kepada takdir, yaitu dengan beriman kepada takdir Allah Subhanahu wa ta’ala akan membuat hidup kita lebih nyaman, karena kita yakin semuanya telah dituliskan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karena semua telah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, maka ketika kita mendapatkan musibah maka hendaknya kita bersabar, dan ketika kita mendapatkan kenikmatan maka jangan kita sombong dengan mengatakan bahwa hal tersebut karena usaha kita, karena semuanya itu pada hakikatnya dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
Oleh karena itu, ketika kita merenungkan diri kita, kita tahu bahwa masih banyak orang yang lebih cerdas daripada kita, akan tetapi tidak semua dari orang pintar tersebut mendapat hidayah untuk datang dan tertarik mendengar pengajian dalam majelis ilmu. Maka jangan kita menganggap bahwa hidayah yang kita dapatkan ini merupakan buah dari kecerdasan atau kebaikan kita. Lihatlah Abu Thalib, siapa yang lebih baik dan sayang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam daripada dia? Akan tetapi sayangnya dia tidak mendapatkan hidayah, padahal sebab-sebab untuk dapat hidayah sangatlah besar.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.”
Pada dasarnya kata مُخْتَالٍ dan فَخُورٍ sama maknanya, yaitu sombong dan angkuh. Akan tetapi sebagian ulama berusaha menjelaskan perbedaan dari kedua kata tersebut. Di antara yang berusaha menjelaskannya adalah Imam Al-Qurthubi rahimahullah, beliau mengatakan,
الْمُخْتَالُ الَّذِي يَنْظُرُ إِلَى نَفْسِهِ بِعَيْنِ الِافْتِخَارِ، وَالْفَخُورُ الَّذِي يَنْظُرُ إِلَى النَّاسِ بِعَيْنِ الِاحْتِقَارِ
“Al-Mukhtal adalah seseorang yang melihat dirinya sendiri dengan pandangan kesombongan (takjub). Adapun Al-Fakhur adalah melihat kepada orang lain dengan pandangan yang meremehkan.”([2])
Biasanya sifat Al-Mukhtal dan Al-Fakhur saling melengkapi jika salah satunya ada pada diri seseorang, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala membedakan dua sifat ini. Oleh karenanya hendaknya seseorang menghindari sifat ini karena Allah Subhanahu wa ta’ala membenci (tidak suka) terhadap orang yang memiliki sifat ini, baik salah satunya atau bahkan keduanya.
Ibnu Áthiyyah berkata :
وقوله تعالى: وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتالٍ فَخُورٍ يدل على أن الفرح المنهي عنه إنما هو ما أدى إلى الاختيال، والفخر بنعم الله المقترن بالشكر والتواضع فأمر لا يستطيع أحد دفعه عن نفسه ولا حرج فيه
“Firman Allah “Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” Menunjukan bahwa kegembiraan yang dilarang adalah kegembiraan yang mengantarkan kepada kesombongan. Adapun bangga/gembira dengan karunia/nikmat Allah yang disertai sikap bersyukur dan tawadhu maka merupakan perkara yang tidak seorangpun mampu untuk menghindarinya, dan hal ini tidak mengapa” ([3])
____________________
Footnote :