4. هُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ فِى سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ ۚ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِى ٱلْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا ۖ وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
huwallażī khalaqas-samāwāti wal-arḍa fī sittati ayyāmin ṡummastawā ‘alal-‘arsy, ya’lamu mā yaliju fil-arḍi wa mā yakhruju min-hā wa mā yanzilu minas-samā`i wa mā ya’ruju fīhā, wa huwa ma’akum aina mā kuntum, wallāhu bimā ta’malụna baṣīr
4. Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Tafsir :
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa.”
Mengapa Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan langit dan bumi enam hari? Maka jawabannya adalah itu adalah hak Allah Subhanahu wa ta’ala. Jika Allah berkehendak menciptakan dalam sekejap maka itu terserah Allah, jika Allah juga berkehendak menciptakan dalam waktu enam hari maka itu juga terserah Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana jika Allah berkehendak maka Allah menciptakan manusia (seperti nabi Adam álaihis salam dan istrinya Hawwa) tanpa ayah dan ibu, jika berkehendak Allah menciptakan manusia tanpa ayah (seperti nabi Isa álaihis salam), jika berkehendak Allah menciptakan manusia (pada umumnya) dengan proses adanya ayah dan ibu. Sebagaimana juga jika Allah berkehendak maka Allah menciptakan para bidadari langsung dewasa tanpa ayah dan ibu dan tanpa melalui proses pertumbuhan dari balita hingga dewasa. Intinya Allah menciptakan dengan cara dan proses yang Allah kehendaki dan tentu ada hikmah dibalik itu semua.
Sebagian ulama berusaha mencari hikmah dari penciptaan langit dan bumi dalam waktu enam hari tersebut. Sebagian ulama menyebutkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala mampu menciptakannya dalam sekejap, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala ingin memperlihatkan kepada para malaikat keajaiban yang Allah buat hari demi hari, sehingga akhirnya mereka tahu bahwa semua itu terjadi dengan ciptaan Allah dan bukan tiba-tiba. Sebagian yang lain menyebutkan bahwa hikmah penciptaan langit dan bumi selama enam hari adalah Allah Subhanahu wa ta’ala ingin mengajarkan kepada kita bahwa yang namanya pelan-pelan itu baik meskipun kita bisa mengerjakannya dengan cepat, terlebih lagi jika pelan-pelan itu lebih baik. Ini hanya sekadar pendapat para ulama, akan tetapi intinya ada hikmah yang Allah kehendaki dari penciptaan langit dan bumi dalam waktu enam hari tersebut.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.”
Istiwa’ maknanya adalah عَلاَ وَارْتَفَعَ وَاسْتَقَرَّ, yaitu tinggi di atas beserta menetap. Jadi, setelah Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Yang Maha Tinggi menciptakan langit dan bumi, Allah kemudian beristiwa’ dengan ketinggian yang khusus, yaitu ketinggian yang disertai dengan menetap di atas ‘Arsy. Adapun istiwa’ diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “bersemayam”, maka bisa jadi makna tersebut benar, karena di antara makna bersemayam adalah tinggal atau menetap. Akan tetapi kita katakan bahwa itu hanyalah pendekatan bahasa, dan yang lebih tepat dari makna istiwa’ adalah Dia berada di ketinggian yang khusus yaitu menetap di atas ‘Arsy Allah Subhanahu wa ta’ala.
Adapun tentang bagaimana cara dan bentuk Allah Subhanahu wa ta’ala beristiwa’ di atas ‘Arsy, maka hal tidak perlu kita tanyakan dan bahkan tidak perlu untuk kita khayalkan. Sebagaimana ketika seseorang bertanya kepada Imam Malik tentang makna istiwa’, maka Imam Malik menjawab,
الِاسْتِوَاءُ مَعْلُومٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُولٌ وَالْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْ الْكَيْفِيَّةِ بِدْعَةٌ
“Istiwa’ telah dipahami, dan adapun bagaimananya tidak ada yang mengetahuinya. Dan beriman terhadap itu adalah wajib, dan bertanya tentangnya (bagaimananya) adalah bid’ah.”([1])
Tentunya tidak mungkin kita bisa mengetahui secara hakikat tentang bagaimana Allah beristiwa’ di atas ‘Arsy kecuali setelah kita mengetahui bagaimana Dzat Allah Subhanahu wa ta’ala dan bagaimana hakikat ‘Arsy itu sendiri, baru kita bisa mengkhayalkan bagaimananya (kaifiyat) istiwaa Allah. Akan tetapi karena tidak ada satu orang pun yang mengetahui kedua hakikat tersebut maka tidak mungkin kita bisa mengetahui bagaimana istiwa’ Allah di atas ‘Arsy. Oleh karena itu ada sebuah kaidah yang menyebutkan,
الْكَلاَمُ فِي الصِّفَاتِ فَرْعٌ عَنِ الْكَلاَمِ فِي الذَّاتِ
“Pembicaraan (pembahasan) tentang sifat-sifat Allah adalah cabang dari pembahasan tentang Dzat (Allah).”
Artinya jika engkau tahu tentang bagaimananya (kaifiyatnya) dzat Allah maka tentu engkau akan mengetahui bagaimananya sifat-sifat Allah. Dan sebaliknya jika engkau tidak mengetahui bagaimananya dzat Allah maka engkau tidak akan mengetahui bagaimananya sifat-sifat Allah.
Oleh karenanya cukuplah kita beriman dengan istiwa’ Allah Subhanahu wa ta’ala di atas ‘Arsy dan paham maknanya, dan tidak perlu mengkhayalkan bagaimana-bagaimananya sebagaimana pendapat Ahlussunnah wa Al-Jama’ah.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا
“Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana.”
Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian mulai memerinci tentang sifat ilmu-Nya. Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa dia Maha Tahu tentang apa yang masuk ke dalam bumi seperti air hujan yang masuk ke dalam bumi, atau biji-bijian yang masuk ke dalam bumi untuk ditanam oleh manusia, akar yang menjulang ke dalam bumi, dan juga hewan-hewan yang masuk ke dalam bumi. Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala juga tahu tentang apa-apa yang keluar dari bumi, seperti tumbuh-tumbuhan yang tumbuh, atau bahan tambang yang diambil dari bumi. Kemudian semua apa yang turun dari langit juga Allah ketahui, baik itu hujan (bahkan setiap tetasan hujuan) atau malaikat. Bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala juga Maha Tahu tentang apa yang naik ke langit, seperti amal saleh seseorang yang diantar oleh malaikat ke langit untuk dilaporkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Ini menujukkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Tahu segalanya.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Maksud dari “Dia bersama kamu di mana saja kamu berada” adalah Allah Subhanahu wa ta’ala bersama kita dengan ilmu-Nya, adapun Dzat Allah tidak bersama kita di mana saja karena Dzat Allah berada di atas ‘Arsy. Hal ini sama seperti perkataan Allah Subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Musa dan Harun. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالَا رَبَّنَا إِنَّنَا نَخَافُ أَنْ يَفْرُطَ عَلَيْنَا أَوْ أَنْ يَطْغَى، قَالَ لَا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى، فَأْتِيَاهُ فَقُولَا إِنَّا رَسُولَا رَبِّكَ فَأَرْسِلْ مَعَنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا تُعَذِّبْهُمْ قَدْ جِئْنَاكَ بِآيَةٍ مِنْ رَبِّكَ وَالسَّلَامُ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى
“Keduanya berkata, ‘Ya Tuhan kami, sungguh, kami khawatir dia akan segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas’. Dia (Allah) berfirman, ‘Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat. Maka pergilah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dan katakanlah, ‘Sungguh, kami berdua adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah engkau menyiksa mereka. Sungguh, kami datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan kami) dari Tuhanmu. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk’.” (QS. Thaha : 45-47)
Allah Subhanahu wa ta’ala berkata kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam bahwa Dia bersama mereka. Akan tetapi apakah bersama disitu maksudnya Dzat Allah? Tentu tidak, akan tetapi maksud dari Allah bersama mereka adalah Allah Subhanahu wa ta’ala senantiasa mendengar dan melihat mereka, yaitu Allah senantiasa mengawasi mereka secara khusus untuk menolong mereka berdua.
Oleh karena itu, jangan kemudian kebersamaan Allah dengan makhluknya dalam ayat ini ditafsirkan dengan kebersamaan Dzat Allah seperti yang diyakini oleh Ahlul Bid’ah yang mengatakan bahwa Allah itu ada di mana-mana (seperti pemahaman sebagian Jahmiyah), bahkan sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa Allah bisa bersatu dengan makhluknya (seperti pemahaman al-Hululiyah atau al-Ittihaadiah). Sesungguhnya keyakinan seperti itu adalah bentuk kekufuran, dan yang benar adalah Allah Subhanahu wa ta’ala bersama kita dengan ilmu-Nya, adapun Dzat-Nya tidak.
____________________
Footnote :