2. لَهُۥ مُلْكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ يُحْىِۦ وَيُمِيتُ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
lahụ mulkus-samāwāti wal-arḍ, yuḥyī wa yumīt, wa huwa ‘alā kulli syai`ing qadīr
2. Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Tafsir :
Allah Subhanahu wa ta’ala mengedepankan kata لَهُ (milikNya) dalam penggalan ayat ini. Seharusnya susunan kalimatnya adalah “Kerajaan langit dan bumi adalah milik Allah”. Namun dalam ayat ini terjadi taqdim dan ta’khir sehingga menjadi “Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi”. Dalam bahasa Arab terdapat istilah التَّقْدِيْمُ taqdiim dan التَّأْخِيْرُ ta’khir. Taqdim adalah mendahulukan sesuatu yang seharusnya di akhirkan, sebaliknya ta’khiir adalah mengkakhirkan yang seharusnya didahulukan. Diantara fungsi taqdim dan takhir adalah memberikan pembatasan makna. Sehingga ketika Allah Subhanahu wa ta’ala mendahulukan penyebutan kata لَهُ memberi makna bahwa hanya milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan segala kepemilikan yang ada di alam semesta ini hanyalah milik Allah Subhanahu wa ta’ala, karena Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan.
Akan datang dalam ayat-ayat selanjutnya tentang isyarat ayat ini, yaitu kepemilikan manusia (diantaranya harta) bukanlah kepemilikan hakiki, pemilik yang hakiki dan sesungguhnya adalah Allah. Karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala membuka surah ini dan menjelaskan bahwa pemilik sejati terhadap apa yang ada di langit dan di bumi seluruhnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Kita meyakini bahwasanya kekuasaan Allah Subhanahu wa ta’ala adalah tanpa batas, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Akan tetapi sebagian orang Ahlul bid’ah dan orang-orang Ateis terkadang melontarkan syubhat berupa pertanyaan yang bisa membuat orang awam Islam (yang tidak memiliki dasar ilmu yang kokoh) menjadi ragu dengan agamanya sendiri. Di antara syubhat yang mereka lontarkan adalah, “Kalau Allah Maha kuasa atas segala sesuatu, maka seharusnya Allah bisa menciptakan Tuhan yang semisalnya”, atau mereka mengatakan, “Kalau Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, maka seharusnya Allah bisa menciptakan batu yang sangat besar yang Allah tidak mampu untuk mengangkatnya”. Maka jawabannya, kita tetap mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Mahakuasa atas segala sesuatu, akan tetapi kata شَيْءٍ (sesuatu) dalam bahasa Arab tidaklah mencakup apa yang mereka tanyakan tersebut. Karena perkara yang merupakan kemustahilan bukanlah sesuatu menurut bahasa Arab. Pertanyaan mereka, “Apakah Allah bisa menciptakan Tuhan yang semisalnya?”, ini merupakan pertanyaan yang salah, karena Tuhan tidaklah diciptakan, akan tetapi Tuhan itu menciptakan. Selain itu syarat Tuhan adalah harus esa, jika Tuhan menciptakan Tuhan yang lain maka Tuhan tidak esa lagi. Pertanyaan semacam ini sama halnya seperti bertanya “Apakah kita bisa naik ke bawah?”. Tentunya kita tidak bisa menjawabnya karena pertanyaannya sendiri tidak benar. Karena yang namanya naik adalah ke atas. Demikian pula pertanyaan mereka, “Apakah Allah bisa menciptakan batu yang lebih besar darinya yang Dia tidak bisa mengangkatnya?” Maka kita katakan itu bukanlah “sesuatu” yang dimaksud dari Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, karena tidak mungkin Allah menciptakan sesuatu yang lebih besar dari-Nya sementara Dia adalah Yang Maha Besar, Dialah Yang Terbesar.
Demikian pula ungkapan “Apakah Allah bisa menciptakan istri atau anaknya?”. Maka kita katakan bahwa perkara tersebut bukanlah “sesuatu” sehingga tidak masuk dalam kekuasaan Allah, karena syarat Tuhan adalah tidak membutuhkan yang lainnya, sehingga Tuhan tidak butuh istri atau pun anak.
Kita boleh mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala mampu untuk menciptakan dunia ini dua kali lipat, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala hanya menciptakan apa yang ada kita ketahui sekarang. Lantas apakah Allah Subhanahu wa ta’ala mampu untuk menciptakan tujuh kali lipat bumi? Maka kita katakan tentu Allah Subhanahu wa ta’ala mampu karena itu adalah hal yang mungkin, hanya saja Allah tidak menciptakannya. Oleh karena itu, maksud dari Allah Subhanahu wa ta’ala Maha kuasa atas segala sesuatu adalah Mahakuasa atas segala sesuatu yang mungkin terjadi bagi Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka para ulama menjelaskan bahwa “sesuatu” yang dimaksud dalam kalimat-kalimat semacam ini adalah perkara yang bukan pada perkara yang mumtani’at (perkara yang kontradiktif), melainkan pada perkara yang mumkinat (perkara yang mungkin). Oleh karenanya, para ulama membagi “sesuatu” menjadi tiga,
Pertama : Mumtani’at, yaitu sesuatu yang secara zat tidak mungkin terjadi, atau sesuatu hal yang kontradiktif, meskipun hanya sekadar dianalogikan. Contohnya adalah menggabungkan antara timur dan barang, panjang dan pendek, siang dan malam dalam satu kondisi.
Kedua : Mustahilat, yaitu perkara yang mustahil meskipun secara logika Allah mampu. Contohnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan batu yang lebih besar daripada Dia, Allah menciptakan istri atau anak, dan yang lainnya. Semua perkara ini adalah perkara yang mustahil, maka yang seperti ini bukanlah “sesuatu” yang dimaksud dari Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
Ketiga : Mumkinat, yaitu perkara yang mungkin terjadi. Inilah yang dimaksud “sesuatu” dalam bahasa Arab. Dan inilah yang termasuk dalam ke-Mahakuasaan Allah([1]).
__________________
Footnote :
([1]) Lihat penjelasan Ibnu Taimiyyah di Majmuu’ al-Fatawaa 8/8 dan Minhaaj As-Sunnah an-Nabawiyah 1/350