2. يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
yā ayyuhallażīna āmanụ lima taqụlụna mā lā taf’alụn
2. Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
Tafsir :
Ayat ini memiliki sebab nuzul sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ad-Darimiy dalam Musnadnya dan At-Tirmidziy dalam Sunannya dari Muhammad bin Katsir dari Al-Awza’iy dari Yahya bin Abi Katsir dari Abu Salam dari Abdullah bin Sallam, beliau dahulunya adalah seorang Yahudi yang kemudian masuk Islam, beliau berkata:
قَعَدْنَا نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَتَاذَكَرُ، فَقُلْنَا : لَوْ نعْلَمُ أَيَّ الْأَعْمَالِ أَحَبَّ إِلَى اللهِ لَعَمِلْنَاُهُ فَأَنْزَلَ اللهُ : سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ * يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ * كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Kami para Sahabat Rasulullah ﷺ pernah duduk-duduk saling bermudzakarah lalu sebagian kami ada yang berkata: “Seandainya saja kami mengetahui amalan apa yang kiranya paling dicintai oleh Allah niscaya akan kami lakukan” maka kemudian Allah turunkan : “Telah bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi”Wahai orang-orang yang beriman mengapa kalian mengatakan apa yang kalian tidak kerjakan? Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah jika kalian mengucapkan apa yang kalian tidak kerjakan”.(QS Ash-Shaf: 1-3) ([1])
Surat ini adalah di antara surat yang turun sekaligus dari awal hingga akhir, berbeda dengan surat lainnya, adakalanya turun sebagian ayat kemudian turun sisanya di kesempatan yang lain, seperti surah Al-‘Alaq awalnya hanya turun lima ayat dan sisanya diturunkan pada waktu yang lain. Terlebih lagi surah Al-Baqarah yang turun pada banyak kesempatan. Diantara surah-surah yang turun dalam keadaan lengkap adalah surah Ash-Shaf.
Hadits di atas merupakan sebab nuzul bagi ayat ini yang menunjukkan para Sahabat ingin mengetahui amalan apa yang paling dicintai oleh Allah sehingga mereka mengamalkannya, ternyata amalan yang paling dicintai oleh Allah disebutkan dalam surah Ash-Shaf ini adalah jihad, sebagaimana yang Allah firmankan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ * تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman maukah Aku tunjukkan kepada kalian suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kalian dari azab yang pedih? (Yakni) kalian beriman kepada Allah dan rasul-Nya serta berjihad di jalan Allah dengan jiwa kalian dan harta kalian, yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui”,
Ternyata ketika turun ayat ini mereka tidak mampu untuk mengamalkan ayat tersebut maka turunlah pula ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ * كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan? Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah jika kalian mengatakan apa yang tidak kalian lakukan”. (QS Ash-Shaf: 2-3).
Sebab nuzul suatu ayat tidaklah membatasi tafsir ayat tersebut hanya pada sebab nuzulnya namun jika terdapat sebab nuzul suatu ayat, maka sebab nuzul tersebut menjadi “qath’iyyat ad- dukhul” yakni bisa dipastikan bahwa ia termasuk ke dalam makna yang terkandung dalam ayat tersebut akan tetapi tidak membatasi bahwa maknanya hanya itu saja, oleh karena itu para ulama menyebutkan kaidah:
الْعِبْرَةُ لَيْسَتْ بِالْأَلْفَاظِ بَلْ بِالْمَعَانِيْ
“Pelajaran bukanlah berpatokan kepada lafaz akan tetapi kepada makna”.Oleh karena itu para ulama ketika memahami ayat ini, mereka memahamai ayat ini lebih umum daripada yang disebutkan dalam sebab nuzulnya. Imam Al-Qurthubi setidaknya menyebutkan 3 penafsiran terhadap ayat ini:
Pertama, sesuai dengan sebab nuzulnya dimana para Sahabat berangan-angan ingin mengetahui amalan yang dicintai oleh Allah. Ternyata setelah diwajibkan jihad maka sebagian dari mereka tidak mampu untuk melaksanakannya([2]). Oleh karena itu ada beberapa ayat yang turun semakna dengan ayat ini, yakni firman Allah:
وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا لَوْلَا نُزِّلَتْ سُورَةٌ فَإِذَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ مُحْكَمَةٌ وَذُكِرَ فِيهَا الْقِتَالُ رَأَيْتَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ نَظَرَ الْمَغْشِيِّ عَلَيْهِ مِنَ الْمَوْتِ فَأَوْلَى لَهُمْ
“Dan ada orang-orang yang beriman yang berkata: Seandainya saja diturunkan suatu surat, maka ketika diturunkan surat yang jelas dan disebutkan di dalamnya tentang jihad maka engkau akan lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hati mereka melihat ke arah engkau seperti pandangan orang yang mau pingsan karena takut mati maka celakalah bagi mereka itu”. (QS Muhammad: 20)
Dan semakna dengan itu di ayat lain, Allah pun berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلَا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا
“Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang telah dikatakan kepada mereka: “Tahanlah tangan kalian (dari berperang) dan tegakkanlah shalat dan tunaikanlah zakat!”, tatkala diwajibkan perang atas mereka tiba-tiba sebagian mereka takut kepada manusia (musuh) sebagaimana takut kepada Allah dan mereka berkata: Wahai Rabb kami mengapa engkau wajibkan perang atas kami, seandainya Engkau tangguhkan saja (perang) beberapa waktu lagi. Katakanlah (wahai Muhammad): Kesenangan dunia adalah sedikit sedangkan akhirat adalah lebih baik bagi orang yang bertakwa dan kalian tidak akan dizhalimi sedikitpun juga (di akhirat). (QS An-Nisa: 77).
Maka kurang lebih ayat As-Shaf memiliki makna yang sama dengan ayat-ayat ini. Demikian pula sejalan ayat-ayat ini adalah kisah orang-orang yag lari pada perang Uhud kemudian mereka berjanji kepada Allah, Allah berfirman:
وَلَقَدْ كَانُوْا عَاهَدُوْا اللَّهَ مِنْ قَبْلُ لَا يُوَلُّوْنَ الْأَدْبَارَ وَكَانَ عَهْدُ اللَّهِ مَسْئُوْلًأ
“Dan sesungguhnya mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah: “Mereka tidak akan berbalik ke belakang (mundur)”. Dan adalah perjanjian dengan Allah akan diminta pertanggungan jawabannya”.(QS Al-Ahzab: 15)
Dahulu terjadi ketika di Perang Uhud, mereka telah berjanji lalu ternyata sebagian mereka lari maka Allah katakan: “ Dan perjanjian Allah akan diminta pertanggung-jawabannya” makna dari ayat ini adalah orang yang berkeinginan melakukan sesuatu namun tidak melakukannya.
Sebagaimana perkataan sebagian orang : Jika saya memiliki uang niscaya saya akan sedekah ternyata setelah memiliki uang ternyata ia pun tidak kunjung bersedekah. Ada juga orang lain yang berkata: Jika saya memiliki uang niscaya akan pergi haji namun ketika ia memiliki uang ternyata ia gunakan untuk membeli mobil atau yang semisalnya dan tidak berhaji.
Kedua, yakni orang yang menazarkan sesuatu atau menjanjikan sesuatu([3]). Adapun yang nazar ini ada dua macam:
- Nazar mutlak, seperti orang yang bernazar bahwa jika saya mendapatkan gaji maka saya akan melakukan ini atau perkataan seseorang pada bulan ini saya akan mengkhatamkan Qur`an dan semisalnya maka jika ada orang yang bernazar mutlak seperti ini namun tidak melaksanakannya maka Allah akan murka kepadanya sebagaimana dalam ayat:
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ
“Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah jika kalian mengatakan sesuatu yang kalian tidak lakukan” (QS Ash-Shaf: 2)
- Nazar muqayyad, yakni nazar yang bersyarat tertentu seperti orang yang mengatakan: Ya Allah, jika aku sembuh dari penyakit niscaya saya akan bersedekah” atau seperti orang yang berkata: “Ya Allah, jika aku naik pangkat maka saya akan naik haji”, maka para ulama khilaf tentang hukum nazar ini apakah wajib ditunaikan ataukah tidak. Yang lebih tepat nazar ini tetap harus ditunaikan, jika ia tidak menunaikannya maka ini adalah tercela dan Allah murka kepadanya.
Juga termasuk ke dalam makna ini maksudnya adalah janji, seperti orang yang berjanji akan memberikan sesuatu, maka jika ia tidak memberikannya maka ini adalah tercela, terlebih lagi jika ternyata janji tersebut jika tidak ditunaikan maka akan menimbulkan mudharat bagi orang lain. Misalnya: orang yang menjanjikan pekerjaan kepada orang lain dengan berkata: “Wahai Fulan engkau berhentilah dari pekerjaanmu dan minggu depan engkau kerja di tempat saya”, sehingga ia keluar dari pekerjaan lamanya dan minggu depannya ia tidak bekerja di tempat baru dan Fulan pun tidak bisa lagi kembali ke pekerjaan lamanya. Tatkala ada mudharat seperti ini maka wajib bagi yang berjanji tersebut untuk menunaikan janjinya dan jika ia tidak menunaikan janjinya maka Allah akan murka kepadanya, Allah berfirman:
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ
“Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah jika kalian mengatakan sesuatu yang kalian tidak lakukan”. (QS Ash-Shaf: 2)
Ketiga, yakni orang mengaku ia telah melakukan amalan sesuatu yang sebenarnya ia tidak pernah melakukannya([4]), sebagaimana disebutkan dalam riwayat namun ada kelemahan dalam riwayat ini ketika ada seorang Sahabat yang berjihad dan ia mengaku bahwa ia telah membunuh si Fulan, padahal yang membunuh adalah Sahabat yang lain, akhirnya ada Sahabat lain yang memberitahukan Nabi ﷺ bahwa bukan orang tersebut yang membunuhnya akan tetapi orang lain maka Nabi pun tegur orang tersebut dengan ayat :
يَا أَيُّهَا الذِيْنَ آمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman mengapa kalian mengatakan sesuatu yang kalian tidak kerjakan?!” (QS Ash-Shaf: 2), oleh karena itu hendaknya kita berhati-hati jangan kita mengaku-ngaku sesuatu yang tidak kita kerjakan seperti orang yang berkata: “Saya yang telah membangun ini” atau seperti orang yang berkata: “Saya yang membuka dakwah disana” padahal kiranya ada orang-orang lain yang bersamanya bukan ia seorang. Misalnya juga seperti orang yang berkata: “saya yang memberikan sumbangan ini dan itu” padahal ia hanya menyalurkan sumbangan orang lain. Maka semuanya itu adalah perbuatan mengaku-ngaku sesuatu yang tidak ia kerjakan dan ini adalah perbuatan yang tercela dan salah satu jenis kedustaan.
Keempat, ini merupakan teguran untuk para da’i yang mereka sering menyampaikan sesuatu yang mereka tidak mengerjakannya, oleh karena itu ada seorang salaf yakni Ibrahim An-Nakha’iy yang beliau berkata:
“ثَلَاثُ آيَاتٍ مَنَعَتْنِيْ أَنْ أَقُصَّ عَلَى النَّاسِ: قَوْلُهُ : ” أَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُوْنَ” وَقَوْلُهُ عَنْ شُعَيْبٍ: “وَمَا أُرِيْدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ” وَقَوْلُهُ: “لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَاَ لَا تَفْعَلُوْنَ”
“Ada tiga ayat yang menghalangiku untuk menyampaikan ilmu kepada manusia: Firman Allah: “Apakah kalian memerintahkan manusia untuk melakukan kebajikan dan kalian melupakan diri kalian sendiri sedangkan kalian membaca Al-Kitab? Apakah kalian tidak berpikir”(QS Al-Baqarah:44). Firman Allah tentang Syu’aib: “Dan aku tidak ingin menyelisihi kalian (dengan mengerjakan) apa yang aku larang” (QS Hud: 88). Firman Allah yang lain: “…mengapa kalian mengatakan apa yang kalian tidak kerjakan?!” (QS Ash-Shaf: 2)”. Oleh karena itu tidak patut seoranga da’I menjadi seperti lilin, ia memerangi sekitarnya namun membakar dirinya sendiri. ([5])
Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahih mereka:
“يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ القِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الحِمَارُ بِرَحَاهُ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ: أَيْ فُلاَنُ مَا شَأْنُكَ؟ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ المُنْكَرِ؟ قَالَ: كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ المُنْكَرِ وَآتِيهِ”
“Akan didatangkan seorang pada hari kiamat lalu dilemparkan ke neraka dan usunya terburai di neraka dan ia pun berputar sebagaimana keledai yang berputar di penggilingan (gandum) lalu para penghuni neraka pun mengelilinginya lalu mereka berkata: “Wahai Fulan ada apa engkau (disini)? Bukankah engkau dahulu memerintahkan yang ma’ruf kepada kami dan melarang kami dari kemungkaran?” Ia pun menjawab: “Dahulu aku memerintahkan kepada yang ma’ruf namun aku tidak melakukannya dan aku melarang dari yang mungkar sedangkan aku melakukannya” ([6])
Maka hadits ini merupakan peringatan bagi para da’i begitu pula orang-orang yang menyeru kepada kebaikan di media sosial maka ketika seseorang telah menjadi penyeru kepada kebaikan maka ia pun harus memperbaiki dirinya sendiri, jika ia belum mampu melaksanakannya maka hendaknya ia memperbanyak istighfar kepada Allah, namun ia harus bertekad kuat untuk mau melaksanakan apa yang ia sampaikan, jika tidak maka ini akan berbahaya baginya, sebagaimana kata seorang penyair :
لَا تَنْــــهَى عَـــــــــنْ خُــــــــــــلُقٍ وَتَـــــــــــأْتِـــــــــــــيْ مِـــــــثْـــــــلَــــهُ عَـــــــــــارٌ عَــــــــــــــلَيْــــــــكَ إِذَا فَــــــــــــــــــعَلْـــــتَ عَــــــــــــــظِـــــــيْـــــــــــــــــــــــــــــــمُ
“Janganlah engkau larang dari suatu akhlak sedangkan engkau melakukan yang semisalnya
Sungguh aib yang besar bagimu jika engkau melakukan (hal tersebut)”([7])
Sungguh aneh jika ada orang yang mengajak kepada kebaikan sedangkan ia sendiri tidak melaksanakannya seperti sebagian orang yang mengajak untuk berjihad: “Ayo berjihad” namun ia sendiri tidak pergi berjihad. Oleh karena itu ayat ini merupakan peringatan bagi kita para da’i maupun orang-orang yang suka mengajak kepada kebaikan, baik dalam dunia nyata maupun share di dunia maya namun ternyata ia melanggar semua ajakan tersebut maka ini jelas terkena ayat:
“لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ”
“Mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan?!” (QS Ash-Shaf: 2)
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa berbagai penafsiran ini pun menjadi contoh bagi kaidah para ulama:
الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Pelajaran yang dijadikan patokan dan diambil berdasarkan keumuman lafaz (dalil) dan bukanlah kekhususan sebab (nuzul dari ayat tersebut)”. ([8])
___________________
Footnote :
([1]) HR Ad-Darimi no 2435 dan At-Tirmidzi no 3309.
Hadits ini disebut juga dengan hadits musalsal dimana seluruh perawi yang meriwatkan hadits ini bersepakat untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu yang sama. Dan dalam hal ini semua perawi membacakan surat ash-Shaff ketika meriwayatkannya. Ketika Abdullah bin Sallam meriwyatkan dari Nabi maka Nabi ﷺ membacakannya hingga akhir ayat.
Demikian pula kata Tabi’in Abu Salam, beliau berkata:
فَقَرَأَهاَ عَلَيْنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ سَلَّام حَتَّى خَتَمَهَا
“Lalu ia (Abdullah bin Sallam) membacakannya kepada kami hingga akhir ayat”.
Dan demikian pula kata Yahya bin Abi Katsir:
فَقَرَأَهَا عَلَيْنَا أَبُوْ سَلَامٍ حَتَّى خَتَمَهَا
“Lalu Abu Salam membacakannya kepada kami hingga akhir ayat”.
Demikian pula kata Al-Awza’iy:
فَقَرَأَهَا عَلَيْنَا يَحْيَى بْنُ أَبِيْ كَثِيْرٍ حَتَّى خَتَمَهَا
“Lalu Yahya bin Abi Katsir membacakannya hingga akhir ayat”.
Demikian pula kata Muhammad bin Katsir:
فَقَرَأَهَا عَلَيْنَا الْأَوْزَاعِيُّ حَتَّى خَتَمَهَا
“Lalu Al-Awza’iy membacakannya kepada kami hingga akhir ayat”.
Begitu pula Muhammad bin Katsir hingga sampai kepada Imam Ad-Darimiy. Oleh karena itu Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaniy berkata ketika menjelaskan hadits ini bahwasanya beliau pun memiliki riwayat musalsal ini dengan sanad yang shahih dan dengan cara yang sama, yang hadits musalsal ini memiliki faedah di antaranya adalah menunjukkan kekuatan hafalan para perawi dalam hadits ini.
([2]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi: 18/ 77-78.
([3]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi: 18/ 79.
([4]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi: 18/ 77-78.
([5]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi: 18/ 80.
([7]) Lihat Al-Hamasah karya Al-Buhturiy: 1/ 247 dari perkataan Al-Mutawakkil Al-Laitsiy.