10. فَأَنتَ عَنْهُ تَلَهَّىٰ
fa anta ‘an-hu talahhā
10. maka kamu mengabaikannya.
Tafsir :
Ini adalah teguran dari Allah Subhanallahu Wata’ala untuk Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam. Diriwayatkan, setelah kejadian itu jika Abdullah bin Ummi Maktum datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam, maka beliau menyambutnya dengan mengatakan
مَرْحَبًا بِمَنْ عَاتَبَنِي فِيهِ رَبِّي
“Marhaban (selamat datang) orang yang Robbku menegurku karenanya”
Beliau juga berkata kepadanya هَلْ لَكَ مِنْ حَاجَةٍ؟ “Apakah ada keperluanmu?” (Tafsiir Al-Baghowi 8/332)
Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam memuliakan Abdullah bin Ummi Maktum. Bahkan disebutkan dalam sejarah, dalam dua kali peperangan Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam menjadikan Abdullah bin Ummi Maktum sebagai kepala Madinah atau yang menguasai kota Madinah ketika Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam meninggalkan Madinah. Seharusnya yang mengurusi kota Madinah bukanlah orang buta tetapi Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam mempercayakan posisi itu kepada Abdullah bin Ummi Maktum tatkala Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam berperang di luar dari kota Madinah. Ini menunjukkan pemuliaan Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam terhadap Abdullah bin Ummi Maktum. (lihat Tafsir At-Thobari 24/104 dan Tafsir al-Baghowi 8/332). Demikian juga Nabi menjadikan beliau sebagai tukang azan subuh yaitu azan yang kedua padahal beliau tidak bisa melihat fajar. Beliau hanya bisa azan kalau ada yang memberitahu bahwa fajar sudah terbit. (Tafsir Ibnu Katsiir 8/321). Padahal yang lebih utama yang azan adalah yang bisa melihat fajar dan bukan orang buta. Namun ini semua dilakukan oleh Nabi dalam rangka menghargai Ibnu Umi Maktuum.
Apabila kita memperhatikan ijtihad Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam, sesungguhnya beliau tidaklah salah total. Andaikan kita menjadi beliau, pertama kita ingin mendakwahi orang yang kaya dan kita berharap kalau dia masuk islam akan banyak orang yang mengikutinya, kedua Abdullah bin Ummi Maktum sudah islam sehingga walaupun tidak didakwahi saat itu juga dia akan tetap islam, bisa ditunda di lain waktu. Namun bersamaan dengan itu, ijtihad Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam tetap ditegur oleh Allah Subhanallahu Wata’ala. Karena Abdullah bin Ummi Maktum datang langsung menghadap Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam, dia juga buta, dan dia adalah orang yang takut kepada Allah Subhanallahu Wata’ala. Dialah yang lebih berhak untuk mendapatkan ilmu daripada orang yang sombong dan angkuh seperti Ubay bin Khalaf.
Dari sini dapat diambil faedah bahwasanya dalam berdakwah hendaklah tidak pandang bulu bagaimanapun obyek dakwahnya, antara orang kaya ataupun orang miskin. Meskipun mendakwahi orang kaya memiliki maslahat yang besar tetapi tidak boleh sampai melalaikan dakwah kepada orang miskin. Bisa jadi ada sebagian dai yang hanya perhatian dengan orang kaya, jika yang mengundangnya adalah orang miskin maka dia tidak akan datang karena pemberiannya sedikit. Orang seperti ini tidak mencari akhirat dalam dakwahnya. Pada asalnya tidak masalah ketika melakukan variasi di dalam dakwah, semisal berdakwah di kantor-kantor, berdakwah di kalangan orang-orang kaya namun orang miskin juga tidak boleh dilupakan. Karena salah satu tujuan utama kita berdakwah adalah agar bisa diamalkan oleh orang lain. Terkadang jika kita berdakwah dengan orang kaya, terkadang dia datang dengan keangkuhan dan sombong sehingga kadang tidak ingin mendengarkan kebenaran yang kita sampaikan. Berbeda dengan orang miskin dia datang dengan tujuan agar bisa mengamalkan ilmu tersebut, sehingga pahalanya akan ikut mengalir kepada kita.
Ayat ini juga merupakan dalil bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam adalah orang yang paling amanah. Seandainya Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam boleh menyembunyikan satu surat saja dalam Al-Qur’an niscaya Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam akan menyembunyikan surat ‘Abasa. Ditambah surat ini tidaklah turun kecuali kepada Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam. Selain itu, Abdullah bin Ummi Maktum tatkala datang, dia tidak mengetahui bahwa Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam bermuka masam karena dia buta. Seandainya tidak buta, wajah Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam juga tidak akan terlihat karena beliau memalingkan mukanya, yang tahu hanyalah Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam dan Allah Subhanallahu Wata’ala. Tetapi Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam menyampaikan seluruh yang Allah Subhanallahu Wata’ala sampaikan kepadanya, meskipun dalam surat tersebut ada teguran untuk dirinya.