2. أَن جَآءَهُ ٱلْأَعْمَىٰ
an jā`ahul-a’mā
2. karena telah datang seorang buta kepadanya.
Tafsir:
Allah Subhanallahu Wa ta’ala menurunkan ayat ini untuk menegur Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam. Seluruh ahli tafsir sepakat bahwasanya sebab turunnya ayat ini adalah kisah tentang Abdullah bin Ummi Maktum radhiallahu ‘anhu, seorang sahabat yang buta ketika datang menemui Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Pada saat itu Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam sedang berdakwah kepada orang-orang kafir dan para pembesar Quraish. Datang berbagai macam riwayat tentang nama-nama para pembesar Quraisy tersebut. Sebagian riwayat menyebutkan mereka adalah ‘Utbah bin Robi’ah, Abu Jahl bin Hisyaam, dan al-‘Abbas bin ‘Abdil Muthholib. Sebagian riwayat menyatakan Nabi sedang mendakwahi Umayyah bin Kholaf. Dan riwayat yang lain menunjukan Nabi sedang mendakwahi Ubay bin Kholaf[1]. (lihat riwayat-riwayat tersebut dalam Tafsir At-Thobari 24/103-104) Nabi selalu semangat agar para pembesar Quraisy ini masuk Islam.
Patut diketahui bahwa mendakwahi para pembesar adalah metode dakwah yang benar. Karena jika para pembesar sekelompok orang kafir masuk islam, para anak buahnya akan mengikutinya sehingga semakin banyak yang masuk islam. Metode ini juga pernah dilakukan oleh Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam tatkala pergi ke Thaif karena merasa dakwahnya di Mekah kurang berhasil. Beliau pergi ke Thaif dan mendakwahi para pembesarnya, meskipun kemudian beliau diusir juga dari Thaif. Demikian juga Nabi menyurati para raja untuk masuk Islam.
Tatkala Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam sedang berkonsentrasi mendakwahi para Ubay bin Kholaf -atau yang lainnya-, tiba-tiba datanglah Abdullah bin Ummi Maktum yang buta dan memotong pembicaraan Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam, dia berkata, “Ya Rasulullah, berikanlah petunjuk kepadaku.” Ini yang membuat Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam bermuka masam karena sedang konsentrasi berdakwah tetapi tiba-tiba dipotong oleh Abdullah bin Ummi Maktum. Akhirnya Allah Subhanallahu Wata’ala menegur Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam yang bermuka masam dan berpaling dari Abdullah bin Ummi Maktum lalu sibuk mendakwahi Ubay bin Khalaf, seorang saudagar kaya raya.
Dalam Qira’ah yang lain dibaca أَأَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى dengan tambahan hamzah istifham sehingga artinya menjadi “apakah ada orang buta yang datang?” Allah Subhanallahu Wata’ala memakai kata “orang buta” bukan menggunakan Abdullah bin Ummi Maktum tapi Allah Subhanallahu Wata’ala katakan “yang buta yang datang” dengan tidak menyebutkan namanya. Ini dalil bahwasanya boleh menyebut aib seseorang bukan dengan tujuan mencela tetapi karena kemaslahatan tertentu. Oleh karena itu, para Ahli hadist menamakan sebagian perawi dengan kecacatan yang ada pada diri mereka, seperti menamakan seorang perawi dengan Al–A’raj yang pincang, dengan tujuan untuk membedakannya dengan perawi lainnya. Ada juga dijuluki dengan Al–A’mash yang pandangan satunya kurang jelas.
Allah Subhanallahu Wa ta’ala memakai kata الْأَعْمَى (yang buta) karena ada maslahat disitu. Seakan-akan Allah Subhanallahu Wa ta’ala menyatakan, “Wahai Muhammad, engkau bermuka masam dan berpaling padahal orang yang datang kepadamu adalah orang yang buta. Seharusnya orang buta lebih engkau perhatikan. Dia juga memotong pembicaraanmu karena tidak melihat apa yang sedang engkau lakukan.” Ini adalah teguran dari Allah Subhanallahu Wa ta’ala atas sikap Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam.
Tetapi perhatikanlah, para ulama menyebutkan bagaimana mulianya Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam di sisi Allah sampai-sampai Allah Subhanallahu Wata’ala menegur Nabi dengan uslub yang indah. Allah Subhanallahu Wa ta’ala tidak mengatakan, “engkau bermuka masam dan berpaling”. Padahal Allah sedang berbicara dengan Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam Muhammad yang berposisi sebagai orang kedua karena Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam. Namun Allah Subhanallahu Wata’ala tidak menggunakan kata ganti orang kedua melainkan orang ke tiga “dia bermuka masam dan dia berpaling”. Ini adalah kelembutan Allah Subhanallahu Wa ta’ala kepada Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam.
Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam pernah beberapa kali melakukan kesalahan dan langsung ditegur oleh Allah Subhanallahu Wa ta’ala. Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam pernah mengharamkan Madu. Allah Subhanallahu Wata’ala lantas menegurnya dengan mengatakan:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah Subhanallahu Wa ta’ala halalkan kepadamu? Engkau ingin menyenangkan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS At-Tahrim : 1)
Dalam kesempatan lain, tatkala ada sebagian orang muslim yang tidak ikut berperang dengan berbagai dalih, Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam memilih bersikap husnuzon dan memaafkan mereka. Sikap Nabi ini ditegur oleh Allah Subhanallahu Wa ta’ala, Allah Subhanallahu Wa ta’ala berfirman:
عَفَا اللَّهُ عَنكَ لِمَ أَذِنتَ لَهُمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَتَعْلَمَ الْكَاذِبِينَ
“Allah memaafkanmu (Muhammad). Mengapa engkau memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (berhalangan) dan sebelum engkau mengetahui orang-orang yang berdusta?” (QS At-Taubah : 43)
Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam adalah manusia maksum yang terjaga dari dosa. Tetapi dalam beberapa situasi mungkin saja beliau keliru. Namun kekeliruan itu tidak akan dibiarkan dan pasti ditegur oleh Allah Subhanallahu Wa ta’ala. Terkadang Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam berijtihad dan ijtihadnya tersebut keliru, kemudian ditegur oleh Allah Subhanallahu Wa ta’ala. Namun lihatlah Allah Subhanallahu Wa ta’ala menegur beliau dengan cara yang lembut dengan menggunakan kata ganti ketiga, “dia bermuka masam dan dia berpaling”. Kita kalau marah dengan seseorang akan lebih sering menggunakan kata ganti kedua dengan langsung memarahinya. Dan kebanyakan dari kita jika marah maka kita akan mengamuk terlebih dahulu kemudian baru memaafkan. Tetapi tatkala Allah Subhanallahu Wa ta’ala menegur Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam, Allah Subhanallahu Wata’ala mendahuluinya dengan memaafkan. Allah Subhanallahu Wata’ala mengatakan, “Allah memaafkanmu (Muhammad). Mengapa engkau memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang)?” Lihatlah bagaimana Allah Subhanallahu Wa ta’ala menggunakan uslub yang sangat lembut ketika menegur Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam, karena Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam adalah kholilul rahman (kekasih Allah Subhanallahu Wata’ala).
__________
Footnote:
[1] Adapun Ubay bin Kholaf maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُوراً وَبُرْهَاناً وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ وَلاَ بُرْهَانٌ وَلاَ نَجَاةٌ وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ وَفِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَأُبَىِّ بْنِ خَلَفٍ
“Siapa yang menjaga shalat lima waktu, baginya cahaya, bukti dan keselamatan pada hari kiamat. Siapa yang tidak menjaganya, maka ia tidak mendapatkan cahaya, bukti, dan juga tidak mendapat keselamatan. Pada hari kiamat, ia akan bersama Qorun, Fir’aun, Haman, dan Ubay bin Khalaf.” (HR. Ahmad 2: 169. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Terkait hadits ini maka para ulama menjelaskan mengapa empat orang gembong kekufuran ini disebutkan dalam hadits. Bahwasanya barangsiapa yang meninggalkan shalat karena singgasananya maka dia akan dikumpulkan bersama Fir’aun yang kafir kepada Allah Subhanallahu Wa ta’ala karena singgasananya. Barang siapa yang meninggalkan shalat karena kedudukan, pangkat, dan jabatannya maka dia akan dikumpulkan bersama haman panglimanya Fir’aun. Barang siapa yang meninggalkan shalat karena sibuk dengan hartanya yang begitu banyak maka dia akan dikumpulkan bersama Qorun, yang telah terlalaikan oleh banyaknya hartanya. Barang siapa yang meninggalkan shalat karena berdagang sehingga dia lalai maka dia akan dikumpulkan bersama Ubay Bin Khalaf, pedagang besar dari orang-orang Quraish