Ilmu dan Adab Penunutut ilmu
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Di tengah kesibukan kita masing-masing, hendaknya kita tetap ingat akan wajibnya menuntut ilmu dalam kondisi apa pun. Menuntut ilmu adalah wajib, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Sesungguhnya menuntut ilmu itu adalah kewajiban bagi setiap muslim.” ([1])
Tentunya, kewajiban ini mencakup juga bagi seorang muslimah. Namun, perasaan wajib ini memang kurang dirasakan oleh sebagian kaum muslimin, sehingga semangat untuk menuntut ilmu tidak terlalu besar, dikarenakan mereka mungkin merasa ilmu bukanlah suatu kebutuhan yang sangat besar dalam kehidupan atau kurangnya mereka dalam mengagungkan ilmu.
Oleh karenanya, untuk bisa semangat dalam menuntut ilmu, hendaknya kita harus sadar bahwasanya menuntut ilmu itu adalah ibadah, seperti ibadah-ibadah yang lainnya. Sebagaimana ibadah shalat kita harus semangat mengerjakannya. Begitu juga dengan umrah, terkadang kita semangat mengumpulkan uang untuk bisa menjalaninya, kita pun semangat untuk bisa mengumpulkan uang untuk bisa berhaji dan ibadah-ibadah yang lainnya. Begitu pun ketika kita semangat untuk bersedekah. Maka dari itu, harusnya kita pun semangat untuk menuntut ilmu.
Untuk menghadirkan semangat tersebut, hendaknya kita harus tahu bahwasanya ilmu itu agung. Kedudukannya agung di sisi Allah ﷻ dan juga agung di sisi Rasulullah ﷺ. Tentunya, kita sering mendengar hadis-hadis yang menjelaskan tentang keutamaan ilmu, demikian juga ayat-ayat Al-Quran tentang agungnya menuntut ilmu.
Pentingnya Menuntut Ilmu
Menuntut ilmu sangat penting bagi kita, di antaranya adalah Allah ﷻ menyebut ilmu dengan jihad. Berdasarkan firman Allah ﷻ,
وَجاهِدْهُمْ بِهِ جِهَاداً كَبِيراً
“Dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (Al-Quran) dengan (semangat) perjuangan yang besar.” (QS. Al-Furqan: 52)
Allah ﷻ berfirman kepada Rasulullah ﷺ untuk berjihad melawan orang-orang kafir dengan Al-Quran dengan jihad yang besar. Para ulama mengatakan bahwa ayat ini turun di fase Makiyah([2]), artinya belum disyariatkan jihad. Rasulullah ﷺ masih di Mekah dan para sahabat masih diintimidasi oleh orang kafir Quraisy, tetapi Allah ﷻ menyuruh Nabi ﷺ berjihad melawan orang kafir Quraisy hanya dengan ilmu, yaitu dengan Al-Quran. Berjihad dengan membaca Al-Quran kepada mereka dan dengan berargumentasi, karena pada saat itu belum disyariatkan jihad dengan pedang.
Allah ﷻ memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk berdakwah dengan ilmu tersebut, yaitu dengan jihad. Bahkan, disebutkan dengan جِهَاداً كَبِيراً ‘jihad yang besar’. Oleh karenanya, bagi seseorang yang menuntut ilmu, kemudian berdakwah dan mengajarkannya, menegakkan hujah argumentasi, itu semua adalah bentuk jihad di sisi Allah ﷻ.
Demikian juga, Allah ﷻ berfirman,
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“Wahai Nabi! Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (QS. At-Tahrim:9)
Firman Allah ﷻ ini berlaku setiap saat. Allah ﷻ memerintahkan untuk berjihad kepada orang kafir dan orang munafik serta bersikap keras kepada mereka. Jihad melawan orang kafir adalah dengan mengangkat senjata dan berperang jika terjadi peperangan. Akan tetapi, bagaimana berjihad melawan orang munafik? Berjihad melawan orang munafik tidak mungkin dengan pedang, sedangkan mereka tidak boleh dibunuh.
Lahir mereka Islam dan dalam syariat Islam mereka dihukum sebagaimana seorang Islam. Adapun rahasia hati mereka diserahkan kepada Allah ﷻ. Akan tetapi, mereka sering membuat isu, syubhat dan berbagai masalah. Sebagaimana orang-orang munafik di zaman Rasulullah ﷺ, mereka sering membuat tuduhan, mereka merasa senang kalau kaum muslimin kalah dalam peperangan, mereka sering menjatuhkan Islam dan lain sebagainya. Hal ini sering dilakukan oleh orang-orang munafik.
Maka dari itu, Nabi ﷺ diperintahkan untuk berjihad melawan mereka. Berjihad dengan apa? Tentunya dengan ilmu, artinya berdakwah dengan ilmu. Ilmu dipandang sebagai jihad oleh Allah ﷻ. Oleh karenanya, ilmu digandengkan dengan jihad, sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah ﷻ,
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)
Di dalam ayat ini, Allah ﷻ menjelaskan bahwa tidak sepantasnya bagi seluruh orang-orang yang beriman pergi untuk berjihad. Namun, hendaknya ada sekelompok orang dari mereka untuk menuntut ilmu. Fungsinya apa? Fungsinya adalah untuk memperingatkan mereka ketika pulang dari berjihad atau peperangan, maka ada yang mengajarkan kepada mereka tentang ilmu, agar mereka lebih waspada dengan syariat Allah ﷻ.
Jadi, di sini Allah ﷻ menyebutkan antara jihad dengan pedang dan jihad dengan التَّفَقُّه فِيْ الدِّيْنِ ‘menuntut ilmu agama’, artinya mempelajari keduanya diperlukan di dalam agama Islam. Selain itu, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama bahwa jihad pun bisa dengan dua hal. Pertama, الْجِهَادُ بِالسِّنَان ‘jihad dengan pedang’ dan kedua, adalah الْجِهَادُ بِاللِّسَانِ ‘jihad dengan perkataan’. Apalagi pada zaman sekarang, di zaman perdamaian dengan adanya PBB dan yang lainnya, untuk mendapati jihad dengan pedang atau senjata terdapat sedikit kesulitan. Adapun sebagian jihad yang ada pun tidak syar’i dan tidak memenuhi persyaratan jihad. Akan tetapi, jihad dengan lisan akan terus berjalan, bahkan sampai sekarang.
Betapa banyak saudara-saudara kita yang ada di negara-negara kafir, baik di Australia, Amerika, Inggris, Jepang dan negara-negara yang lain, mereka berjihad dengan tulisan dan berdakwah agar orang-orang bisa mengenal Islam. Sekarang pun banyak orang yang mengenal Islam, di mana lebih efektif dengan tulisan-tulisan dan dakwah yang disampaikan kepada mereka. Oleh karenanya, tidak diragukan lagi bahwa menuntut ilmu adalah jalan seseorang yang sedang berjihad. Dengan menuntut ilmu, sejatinya seseorang sedang berjihad dan orang yang mendakwahkan ilmunya pun, sejatinya dia berjihad. Apalagi, di zaman sekarang, di mana seseorang lebih condong kepada berdakwah, yaitu berjihad dengan ilmu, bukan dengan pedang lagi.
Pada zaman sekarang, mungkin belum saatnya berjihad dengan pedang. Namun, suatu saat mungkin akan ada jihad dengan peperangan -tidak bisa menutup kemungkinan-. Akan tetapi, apabila kita bicara tentang zaman sekarang, di mana saat sekarang adalah zaman perdamaian, negara-negara Islam dan negara-negara kafir mengadakan perjanjian damai, maka yang ada sekarang adalah jihad dengan lisan.
Terkadang jihad dengan lisan ini lebih efektif. Oleh karenanya, Ketika Nabi ﷺ masuk dalam perjanjian Hudaibiah bersama orang kafir. Justru, di situ banyak orang yang masuk ke dalam agama Islam. Sebagaimana diketahui bahwa Rasulullah ﷺ dalam berdakwah selama 13 tahun di Kota Mekah, dari tahun kenabian sampai berhijrah ke Madinah, kemudian sampai pada tahun ke-5 hijriah, artinya selama 18 tahun beliau ﷺ berdakwah. Setelah itu, pada tahun ke-6 hijriah, di mana beliau ﷺ memiliki pasukan perang kaum muslimin yang berjumlah kurang lebih 2000 hingga 3000 pasukan. Tahun ke-8 hijriah orang kafir Quraisy membatalkan perjanjian Hudaibiah, sehingga Nabi ﷺ ingin menyerang Kota Mekah, sedangkan waktu itu pasukan kaum muslimin berjumlah sekitar 10.000 pasukan. Artinya dalam kurun waktu dua tahun tersebut, ada sekitar 6.000-7.000 orang masuk Islam. Demikian ini terjadi karena interaksi antara orang Islam dengan orang musyrikin, kemudian orang Islam mendakwahi mereka dengan lisan dan akhlak mereka, akhirnya banyak musuh yang masuk agama Islam.
Ilmu tidak bisa dianggap ringan, karena dia dianggap sebagai bentuk jihad oleh Allah ﷻ. Oleh karenanya, di antara penerima zakat ada 8 golongan, sebagaimana firman Allah ﷻ,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah.” (QS. At-Taubah: 60)
Di antara orang yang menerima zakat adalah fii sabilillah, yaitu orang berjuang di jalan Allah ﷻ. Sampai sekarang para ulama seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz dan ulama-ulama yang lain berfatwa jika ada harta zakat, maka yang berhak menerima zakat di antaranya adalah para dai, karena mereka dianggap fii sabilillah dan di antaranya juga yang dianggap menerima zakat adalah apa para penuntut ilmu. Karena menuntut ilmu dianggap sebagai jihad di jalan Allah ﷻ([3]).
Hendaknya kita selalu menghadirkan di dalam diri kita bahwa menuntut ilmu ini bukanlah perkara ringan di sisi Allah ﷻ. Oleh karenanya, Allah ﷻ berfirman,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Orang yang beriman dan berilmu diangkat derajatnya. Ada lagi orang beriman yang spesial yaitu beriman dan berilmu, sehingga derajatnya lebih diangkat lagi beberapa derajat di atas orang beriman. Jadi, orang beriman di atas orang yang tidak beriman dan orang yang beriman lagi berilmu berada di atas orang derajat orang yang hanya sekedar beriman.
Sebagaimana diketahui bahwasanya Abu Ad-Darda’ radhiallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ
“Perumpamaan orang yang memiliki ilmu seperti rembulan dibandingkan dengan seluruh bintang-bintang.”([4])
Orang yang berilmu bagaikan rembulan, sedangkan orang yang ahli ibadah bagaikan bintang-bintang. Jadi, satu rembulan mengalahkan ribuan bintang, satu orang alim mengalahkan ribuan ahli ibadah, namun tidak memiliki ilmu.
Penulis mengingatkan kepada diri pribadi dan juga kepada para pembaca bahwa menuntut ilmu adalah ibadah. Allah ﷻ sangat mencintai ibadah tersebut. Oleh karenanya, di antara contoh semangat dan motivasi bagi kita dalam menuntut ilmu adalah para nabi dan orang-orang saleh terdahulu, meskipun kita tidak bisa sampai seperti mereka.
Nabi Musa ‘Alaihissalam dalam menuntut ilmu
Nabi Musa ‘Alaihissalam rela berjalan untuk mencari Khadhir. Bahkan, Nabi Musa ‘Alaihissalam berkata kepada Yusya’ bin Nun,
لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا
“Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun.” (QS. Al-Kahfi: 60)
Meskipun harus berjalan puluhan tahun, beliau tidak peduli, padahal tujuannya hanya untuk mencari ilmu.
Bayangkan, Nabi Musa ‘Alaihissalam meninggalkan kaumnya, sedangkan dia adalah seorang pemimpin. Beliau harus meninggalkan kaumnya untuk menuntut ilmu kepada Khadhir. Dia tidak peduli meskipun harus berjalan puluhan tahun untuk menuntut ilmu.
Tentang kondisi kita sekarang, tentu tidak semua orang yang menuntut ilmu, kemudian menjadi seorang yang pintar, hingga di sebut sebagai ‘ustaz’. Sebagaimana diketahui pada zaman dahulu ada ulama dan ada juga orang awam. Demikian juga, zaman para sahabat. Di antara mereka ada yang menjadi para ulama dan di antara mereka ada yang mempunyai ilmu, tapi tidak sampai pada derajat para sahabat yang hebat dari segi keilmuannya. Namun, mereka semua tetap menuntut ilmu.
Oleh karenanya, kita tahu bahwa di zaman sahabat, mereka semua bekerja sebagaimana kita pada zaman sekarang ini bekerja. Di antara mereka ada yang berdagang, berkebun, harus pergi bersafar jauh ke negeri Syam atau ke negeri Yaman dalam rangka berdagang, ada yang jadi budak, ada yang bekerja di kebun orang lain. Semua para sahabat bekerja dan pekerjaan yang mereka lakukan semua itu tidak menghalangi mereka untuk menuntut ilmu. Mereka tetap menggabungkan antara kewajiban menuntut ilmu dengan kewajiban memberi nafkah kepada keluarga.
Maka dari itu, jangan sampai kita hanya memperhatikan nafkah kepada keluarga, sehingga menuntut ilmu kita abaikan. Kenapa demikian? Karena para sahabat sadar bahwa menuntut ilmu hukumnya wajib.
‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu
Dalam Shahih Bukhari disebutkan tentang bab التَّنَاوُبِ فِي العِلْمِ ‘saling bergantian di dalam menuntut ilmu’, diriwayatkan dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata,
كُنْتُ أَنَا وَجَارٌ لِي مِنَ الأَنْصَارِ فِي بَنِي أُمَيَّةَ بْنِ زَيْدٍ وَهِيَ مِنْ عَوَالِي الْمَدِينَةِ وَكُنَّا نَتَنَاوَبُ النُّزُولَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَنْزِلُ يَوْمًا وَأَنْزِلُ يَوْمًا، فَإِذَا نَزَلْتُ جِئْتُهُ بِخَبَرِ ذَلِكَ اليَوْمِ مِنَ الوَحْيِ وَغَيْرِهِ، وَإِذَا نَزَلَ فَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ
“Aku bersama tetanggaku seorang Anshar dari Bani Umayyah bin Zaid yang tinggal di dekat Madinah, kami saling bergantian hadir di sisi Rasulullah ﷺ, satu hari dia yang hadir dan satu hari yang lain aku yang hadir. Apabila aku hadir, maka aku mendatanginya dengan membawa kabar/ilmu dari wahyu yang disampaikan pada hari itu, dan apabila dia yang hadir, maka dia melakukan hal yang semisal itu.” ([5])
‘Umar radhiallahu ‘anhu bergantian bersama tetangganya untuk mendatangi Rasulullah ﷺ hanya untuk mendapatkan ilmu. Satu hari Umar bekerja, maka kawannya menuntut ilmu kepada Nabi ﷺ, kemudian pada satu waktu di hari itu mereka bertemu untuk saling membagi ilmu yang telah didapatkan. Demikian juga pada keesokan harinya, ‘Umar yang menuntut ilmu, dan kawannya yang bekerja, kemudian mereka bertemu lagi untuk saling membagi ilmu. Hal itu dilakukan oleh para sahabat Radhiallahu ‘anhum, artinya ini menunjukkan mereka bukanlah orang-orang yang hanya duduk-duduk di masjid saja. Tidak demikian. Mereka juga bekerja, namun pekerjaan yang mereka lakukan tidak menghalangi mereka untuk menuntut ilmu.
Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu
Ada kalanya para sahabat fokus untuk sungguh-sungguh dalam menghabiskan waktu mereka untuk menuntut ilmu. Contohnya adalah Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu yang ingin mencari satu hadis. Dia menyiapkan kendaraannya untuk melakukan safar selama sebulan agar bertemu Abdullah bin Unais radhiallahu ‘anhu, untuk mendengar satu hadis dari Nabi ﷺ, sehingga dia menghabiskan waktunya selama 2 bulan dalam perjalanan pulang dan pergi untuk mencari satu hadis. Para ulama mengatakan bahwa inilah yang dinamakan rihlah dalam rangka untuk menuntut ilmu. Hal ini pun diteruskan oleh para ulama, dan sampai sekarang pun banyak orang yang melakukan safar dan menempuh perjalanan jauh dalam rangka untuk menuntut ilmu.
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil berkata, ‘Aku mendengar Jabir bin Abdullah i berkata,
بَلَغَنِي حَدِيثٌ عَنْ رَجُلٍ سَمِعَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاشْتَرَيْتُ بَعِيرًا، ثُمَّ شَدَدْتُ عَلَيْهِ رَحْلِي، فَسِرْتُ إِلَيْهِ شَهْرًا، حَتَّى قَدِمْتُ عَلَيْهِ الشَّامَ فَإِذَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُنَيْسٍ، فَقُلْتُ لِلْبَوَّابِ: قُلْ لَهُ: جَابِرٌ عَلَى الْبَابِ، فَقَالَ ابْنُ عَبْدِ اللَّهِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، فَخَرَجَ يَطَأُ ثَوْبَهُ فَاعْتَنَقَنِي، وَاعْتَنَقْتُهُ، فَقُلْتُ: حَدِيثًا بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْقِصَاصِ، فَخَشِيتُ أَنْ تَمُوتَ، أَوْ أَمُوتَ قَبْلَ أَنْ أَسْمَعَهُ
“Telah sampai kepadaku sebuah hadis dari seseorang yang langsung mendengar dari Rasulullah ﷺ, lalu aku pun bersegera membeli seekor unta, kemudian aku persiapkan bekal perjalananku, lalu aku tempuh perjalanan satu bulan untuk menemuinya, hingga sampailah aku di Syam. Ternyata orang tersebut adalah Abdullah bin Unais. Setelah itu aku berkata kepada penjaga pintu rumahnya, ‘Sampaikan kepada tuanmu bahwa Jabir sedang menunggu di pintu’. Abdullah bertanya, ‘Jabir bin Abdillah?’ Aku menjawab, ‘Ya, benar!’ (Begitu tahu kedatanganku), beliau bergegas keluar, lalu dia merangkulku dan aku pun merangkulnya. Aku berkata kepadanya, ‘Telah sampai kepadaku sebuah hadis, dikabarkan bahwa engkau mendengarnya langsung dari Rasulullah ﷺ tentang qishas (pembalasan atas kezaliman di hari kiamat). Saya khawatir engkau meninggal terlebih dahulu atau aku yang lebih dahulu meninggal sementara aku belum sempat mendengarnya.”([6])
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
Di antara hal yang menunjukkan semangat para sahabat untuk menuntut ilmu adalah seperti Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Dia mengkhususkan waktunya untuk menuntut ilmu. Di saat para sahabat ada yang bekerja dan berdagang sampai sering kelaparan dalam menuntut ilmu, sementara Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu terlambat bertemu dengan Nabi ﷺ. Dia bertemu dengan Nabi ﷺ setelah terjadi perang Khaibar, sehingga dia bersama Nabi ﷺ hanya 3-4 tahun. Karena dia tahu bahwa dia telah terlambat dalam mempelajari ilmu dari Nabi ﷺ, maka dia memfokuskan diri untuk ilmu sampai kelaparan, dan bahkan dia pernah jatuh pingsan gara-gara kelaparan.
Suatu ketika, dalam keadaan kelaparan tersebut dia berharap dan menanti Abu Bakr dan ‘Umar i lewat di hadapannya supaya diajak makan. Akhirnya, dia bertemu dengan Nabi ﷺ, dan beliau mengajaknya untuk makan([7]). Jadi, dia mengalami kelaparan dalam rangka keseriusannya menuntut ilmu. Masing-masing sahabat memiliki kesungguhan sendiri di dalam menuntut ilmu. Sebagaimana Abdullah bin ‘Umar i menulis segala sesuatu yang disampaikan oleh Nabi ﷺ. Ini menunjukkan bahwa para sahabat memiliki semangat dalam menuntut ilmu.
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah
Apabila kita melihat bagaimana perjalanan beliau sampai beribu-ribu kilo meter dalam rangka mencari hadis dari satu kota ke kota berikutnya. Beliau pernah masuk dan keluar kota Kufah, kemudian ke kota Baghdad, Mekah dan kota-kota yang lain([8]). Bayangkan, tidak menetap pada satu kota saja dalam menuntut ilmu. Tentu saja, ini adalah perkara yang berat. Tidak mudah, bagi seseorang, melakukan perjalanan dari satu kota ke kota berikutnya, lalu berpindah ke kota yang lain lagi, entah sampai berapa tahun lamanya dalam rangka menuntut ilmu. Semua uang dan perbekalannya habis dalam rangka menuntut ilmu. Maka, benarlah jika dikatakan,
مَنْ طَلَبَ الحَدِيْثَ أَفْلَسَ
“Barang siapa yang mencari hadis, maka dia akan bangkrut.”([9])
Bahkan, dikisahkan bahwa Al-Imam Al-Bukhari makan rumput-rumputan untuk bertahan hidup, hanya untuk menuntut ilmu. Sungguh, sangat luar biasa bagaimana para ulama dalam menuntut ilmu.
Ibnu Thahir Al-Maqdisi rahimahullah
Disebutkan bagaimana para ulama begitu sabar dalam menuntut ilmu, seperti dikisahkan dari Ibnu Thahir Al-Maqdisi rahimahullah berkata,
بُلْتُ الدَّمَ فِيْ طَلَبِ الْحَدِيْثِ مَرَّتَيْنِ. مَرَّةً بِبَغْدَادَ، وَمَرَّةٍ بِمَكَّةَ. وَذَاكَ أَنِّيْ كُنْتُ أَمْشِيْ حَافِيًا فِيْ الْحَرِّ، فَلَحِقَنِيْ ذَلِكَ. وَمَا رَكِبْتُ دَابَّةً قَطٌّ فِيْ طَلَبِ الْحَدِيْثِ. وَكُنْتُ أَحْمِلُ كُتُبِيْ عَلَى ظَهْرِيْ، وَمَا سَأَلْتُ فِيْ حَالِ الطَّلَبِ أَحَدًا. وَكُنْتُ أَعِيْشُ عَلَى مَا يَأْتِيْ مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ
“Aku pernah kencing darah dua kali dalam rangka mencari hadis, di Baghdad sekali dan di Mekkah sekali. Hal itu, terjadi karena aku berjalan tidak pakai alas kaki di waktu yang sangat panas, akhirnya aku ditimpa dengan hal tersebut. Aku tidak pernah naik kendaraan sekalipun dalam mencari hadis. Aku memikul buku-bukuku di atas punggungku dan aku tidak pernah meminta kepada seorang pun tatkala menuntut ilmu. Aku hidup dengan apa saja yang datang kepadaku tanpa meminta sama sekali.”([10])
Ibnu Thahir Al-Maqdisi rahimahullah pernah kencing darah karena perjalanannya dalam rangka mencari hadis Nabi ﷺ. Inilah gambaran bagaimana para salaf dahulu begitu semangat dalam menuntut ilmu.
Al-Khathib At-Tibrizi rahimahullah([11])
Dia pernah menuntut ilmu dari seorang ulama yang bernama Abu Al-‘Ala Al-Ma’arri. Dia pun berjalan menuju ke kota Al-Ma’arra dengan memikul bukunya yang berjilid-jilid. Apalagi, buku tersebut berupa kertas tebal, ditambah lagi dengan tulisannya yang besar-besar. Dia sama sekali tidak menaiki tunggangan. Akhirnya keringatnya bercucuran sampai membasahi buku-bukunya. Bahkan, disebutkan bahwa buku-buku tersebut sekarang ada di suatu tempat di Baghdad. Bagi orang yang tidak mengerti, maka dia akan melihat buku tersebut pernah tenggelam di sungai karena sudah penuh dengan tinta yang luntur. Namun, ternyata itu adalah akibat dari keringat dari seorang salaf yang gigih dalam menuntut ilmu, yaitu At-Tibrizi bin Al-Khatib([12]).
Kisah-kisah yang menggambarkan kesungguhan para salaf dalam menuntut ilmu sangat banyak. Apabila kita membandingkan diri kita dengan mereka, tentu sangat jauh. Apabila mereka dibandingkan dengan para ustaz atau dai, tentu saja sangat berbeda jauh sekali. Apalagi jika membandingkan mereka dengan orang-orang biasa. Oleh karena itu, ilmu mereka sangat berkah, karena mereka menuntut ilmu dengan perjuangan dengan keikhlasan dan kekurangan.
Tidak seperti pada zaman sekarang. Zaman sekarang ini, ilmu telah banyak tersebar, banyak kemudahan, tetapi terasa kurang berkah. Ketidakberkahan tersebut bukan karena kesalahan dari ilmunya, akan tetapi dari diri kita, para dai maupun penuntut ilmu. Kita tidak sebagaimana dahulu para salaf, mereka menuntut ilmu dengan sangat luar biasa.
Nasihat ini disampaikan agar tertanam di dalam benak kita, bahwa ilmu adalah ibadah. Apabila ilmu itu bukan ibadah, kenapa para nabi, seperti nabi Musa ‘Alaihissalam, lalu para sahabat dan para salaf sampai berjuang seperti itu? Tentu saja, karena mereka tahu bahwa ini adalah ibadah. Setiap kali kita duduk, mendengar, memperhatikan dan memahami, maka akan mendapatkan pahala. Sebagaimana kita hadir di dalam majelis zikir, maka akan mendapatkan pahala. Majelis ilmu sama dengan majelis zikir, apabila mempelajarinya dan memahaminya, maka akan mendapat pahala, di mana malaikat hadir dalam majelis ilmu, diliputi rahmat dari Allah ﷻ, diberikan ketenangan dan keutamaan lainnya. Jadi, tatkala kita tahu bahwa menuntut ilmu adalah ibadah, maka kita akan semangat.
Bukan berarti, ketika menuntut ilmu, maka kita harus meninggalkan pekerjaan, hingga melalaikan anak dan istri. Tidak demikian. Para sahabat pun bekerja, tetapi mereka punya waktu untuk menuntut ilmu, karena mereka tahu bahwa menuntut ilmu itu adalah kebutuhan. Di samping itu adalah kebutuhan, mereka juga mengetahui bahwa itu adalah suatu kewajiban.
Terkadang hal itulah yang tidak ada dalam diri kita, sehingga kita merasa bahwa hal ini bukanlah termasuk kebutuhan maupun sebagai suatu kewajiban. Justru, yang dirasakan adalah bahwa menuntut ilmu hanyalah sekedar kegiatan di sisa waktu, ‘Kalau ada waktu, kita sisihkan. Kalau enggak, ya sudah’. Kita tidak berusaha menyengajakan diri kita untuk menurut ilmu.
Sejatinya wabah tidak menghalangi seseorang untuk menuntut ilmu, juga bukan menjadi suatu hal yang menyulitkan. Apabila kita melihat zaman sekarang, sebagian orang hidup di kota yang terjadi peperangan, namun dalam keadaan tersebut mereka masih bisa menuntut ilmu. Mereka menuntut ilmu di tengah kebisingan suara peluru, sedangkan hal itu sudah menjadi hal yang lumrah bagi mereka. Inilah fakta yang terjadi kepada sebagian orang.
Musim wabah tidak seharusnya menghalangi seseorang untuk menuntut ilmu, karena dengan berada di rumah pun seseorang masih bisa menuntut ilmu melalui media sosial yang ada. Banyak hal yang dilakukan untuk menuntut ilmu. Wabah sama sekali tidak menjadi halangan. Bisa jadi bagi kita yang berada di zaman sekarang tidak memiliki waktu yang lapang, seperti pada zaman dahulu. Ketika dalam kondisi nyaman kita punya konsentrasi untuk mencari nafkah.
Wabah tidak menjadi halangan untuk menuntut ilmu, karena sebagian orang di Rusia dahulu harus sembunyi-sembunyi dalam menuntut ilmu. Keadaan serba sulit, sehingga mereka harus diam-diam dan tidak boleh ketahuan membaca Al-Quran. Terkadang mata mereka harus ditutup, supaya sampai ke tempat mereka menuntut ilmu. Hal ini terjadi pada mereka dan ternyata mereka tetap bisa menjadi penghafal Al-Quran. Allah ﷻ masih menjaga mereka, sedangkan mereka masih tetap bersemangat, meski halangan yang luar biasa harus dihadapi, seandainya musuh melihat mereka, maka mereka bisa dibunuh.
Sebagaimana zaman Nabi ﷺ ketika di fase Mekah, beliau ﷺ mengumpulkan para sahabat untuk belajar di Dar Al-Arqam, sebuah rumah sebagai tempat mereka berkumpul mendengarkan Nabi ﷺ menyampaikan ilmu kepada mereka. Dalam kondisi-kondisi berat seperti itu saja, mereka masih bisa menuntut ilmu. Banyak sekali kondisi yang menyerupai keadaan tersebut, namun tidak menghalangi mereka untuk menuntut ilmu.
Apalagi sekadar wabah. Tentu saja, hal ini sama sekali bukan penghalang. Justru, kita banyak di anugerahi waktu luang di musim wabah, sedangkan waktu tersebut bisa kita gunakan untuk menuntut ilmu. Dibalik musibah ada hikmah. Di musim wabah, mungkin kita bisa belajar satu buku dari ilmu tertentu atau menghafalkan beberapa surat atau berapa ayat. Oleh karenanya, seharusnya kita memanfaatkan waktu tersebut.
Footnote:
_________
([1]) HR. Ibnu Majah no. 224 dan Ath-Thabrani di dalam Al-Mu’jam Al-Ausath no. 9 dan disahihkan oleh Al-Albani
([2]) Tafsir Al-Qurthubi 13/58
([3]) Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb, no. 177, 15/355 dan 357
([4]) HR. Abu Dawud no. 3641, Tirmizi no. 2682 dan Ibnu Majah no. 223 dan disahihkan oleh Al-Albani
([6]) HR. Ahmad no. 16042, sanadnya hasan
([7]) Tarikh Dimasyqa, karya Ibnu ‘Asakir, 67/320,321
([8]) Siyar A’lam An-Nubala’, 12/408
([9]) Siyar A’lam An-Nubala’, 7/220, Ibnu ‘Uyainah menukil perkataan Syu’bah.
([10]) Siyar A’lam An-Nubala’, (14/289).
([11]) Siyar A’lam An-Nubala’, (14/289).
([12]) At-Tarbiyah Al-Islamiyah Ushuluha wa Tathawwuruha fii Al-Bilad Al-‘Arabiyah, (1/34).