Memuliakan Guru dan Ilmu
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Banyak sekali dalil dari Al-Qur’an yang menjelaskan tentang keutamaan ilmu. Jika dibahas satu persatu maka hal ini membutuhkan waktu yang panjang. Namun, penulis pada kesempatan ini akan memberikan beberapa isyarat untuk menunjukkan bahwasanya ilmu adalah ibadah. Sebagaimana ketika kita salat, membaca Al-Qur’an, dan berpuasa kita merasa mendapatkan pahala maka demikian juga ketika kita belajar dan mengajar sesungguhnya kita sedang beribadah kepada Allah ﷻ.
Di antara ayat-ayat yang menjelaskan akan agungnya ilmu yaitu Allah ﷻ tidak pernah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk meminta tambahan kecuali tambahan ilmu. Allah ﷻ berfirman,
﴿ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا﴾
“dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaha: 114)
Juga di antara dalil yang menunjukkan agungnya ilmu adalah firman Allah ﷻ,
﴿ يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ﴾
“niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadalah: 11)
Orang-orang berilmu dan beriman diangkat derajatnya lebih tinggi dari orang yang hanya sekedar beriman namun tidak berilmu. Oleh karenanya dalam suatu hadis Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“sungguh keutamaan orang yang berilmu atas ahli ibadah bagaikan keutamaan bulan di malam purnama di atas seluruh bintang-bintang, dan sungguh para ulama adalah pewaris para nabi, dan sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka siapa yang mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang melimpah.” ([1])
Rembulan hanya satu akan tetapi cahayanya bisa menerangi bumi. Adapun bintang-bintang jumlahnya sangat banyak akan tetapi cahayanya tidak bisa menyaingi cahaya rembulan. Begitu juga seorang yang berilmu maka dia lebih baik daripada ratusan ahli ibadah yang tidak memiliki ilmu.
Di antara dalil agungnya ilmu adalah Allah ﷻ menamakan ilmu dengan zikir. Karena orang yang sedang belajar atau mengajar maka hakikatnya ia sedang mengingat Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,
﴿ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ﴾
“maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)
Ahli zikir dalam ayat ini maksudnya adalah ahli ilmu([2]). Allah ﷻ mengatakan bahwa orang yang berilmu adalah orang yang sedang berzikir. Tidak mungkin kita membawa makna ayat ini sesuai dengan kontekstualnya. Karena tidak mungkin ketika ada sesuatu hal yang tidak kita ketahui kita bertanya kepada orang yang berzikir. Sehingga maksud dari zikir dalam ayat ini adalah ilmu.
Allah ﷻ juga berfirman,
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴾
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumuah: 9)
Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ذِكْرِ اللَّهِ adalah khotbah Jumat([3]). Hal ini dikarenakan Khotbah Jumat berisi tentang ilmu yang mengingatkan seseorang kepada Allah ﷻ.
Allah ﷻ juga membedakan antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu, Allah ﷻ berfirman,
﴿ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ ﴾
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar: 9)
Tentu tidak sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu dalam perilakunya, akhlaknya, kehidupannya di dunia, rumah tangganya, kehidupan di alam barzakh, dan kehidupan di akhirat kelak. Pertanyaan ini tidak memerlukan jawaban karena tentu jawabannya adalah tidak sama. Jangankan antara manusia yang berilmu dengan yang tidak berilmu, bahkan hewan pun dibedakan antara hewan yang berilmu dengan hewan yang tidak berilmu. Allah ﷻ berfirman,
﴿يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ ﴾
“Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.” (QS. Al-Maidah: 4)
Dalam ayat ini Allah ﷻ menjelaskan bahwa jika anjing yang telah diajari atau dilatih untuk berburu kemudian seseorang melepaskannya ketika berburu dengan mengucapkan basmalah maka boleh baginya memakan hasil tangkapannya. Adapun jika anjing tersebut tidak diajari berburu maka hasil tangkapannya adalah haram. Jikalau anjing saja Allah ﷻ bedakan antara yang berilmu dengan yang tidak berilmu lantas bagaimana lagi dengan manusia.
Termasuk keutamaan yang lain dari ilmu adalah Allah ﷻ menyebutkan persaksian ahli ilmu tentang keesaan Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,
﴿ شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ﴾
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 18)
Dalam ayat ini Allah ﷻ menggandengkan persaksian Allah ﷻ dengan persaksian malaikat dan ahli ilmu/ulama untuk mengesakan Allah ﷻ yang sangat agung di mana langit dan bumi diciptakan untuk keesaan Allah ﷻ. Inilah di antara keutamaan-keutamaan ilmu yang Allah ﷻ sebutkan di dalam Al-Qur’an. Adapun keutamaan-keutamaannya di dalam hadis sangat banyak, cukuplah bagi kita sabda Rasulullah ﷺ
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” ([4])
Rasulullah ﷺ juga bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah akan jadikan ia fakih dalam agama” ([5])
Dari sini penulis ingin mengingatkan khususnya untuk diri penulis pribadi bahwa belajar mengajar adalah ibadah. Seseorang tatkala mengetahui menuntut ilmu adalah ibadah maka dia akan mengagungkan ibadah tersebut. Hendaknya juga ia meluruskan niatnya dan hanya mencari keridaan Allah ﷻ dalam menuntut ilmu ataupun mengajarkan ilmu.
Ketika kita tahu akan keagungan ilmu maka kita tahu bahwasanya orang-orang yang mengajarkan ilmu juga orang-orang yang agung. Di antara sosok yang Allah ﷻ agungkan di dalam Al-Qur’an karena dia suka mengajarkan ilmu adalah Nabi Isa ‘alaihissalam. Nabi Isa ketika digendong oleh ibunya yaitu Maryam di mana orang-orang menuduhnya berzina karena ia memiliki anak tanpa suami mereka berkata,
﴿ قَالُوا يَا مَرْيَمُ لَقَدْ جِئْتِ شَيْئًا فَرِيًّا . يَا أُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا ﴾
“Kaumnya berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang penzina.” (QS. Maryam: 27-28)
Maryam tidak menjawabnya, ia hanya memberikan isyarat kepada anak bayi yang sedang digendongnya. Maka orang-orang pun bertanya,
﴿ قَالُوا كَيْفَ نُكَلِّمُ مَنْ كَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيًّا ﴾
“Mereka berkata: “Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?” (QS. Maryam: 29)
Tiba-tiba Nabi Isa ‘alaihissalam yang masih bayi berkata,
﴿ قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا . وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا ﴾
“Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;” (QS. Maryam: 30-31)
Mayoritas ulama ahli tafsir mengatakan bahwa Allah ﷻ menjadikan Nabi Isa ‘alaihissalam sebagai pengajar([6]). Oleh karenanya jika kita buka terjemah Injil sering kita dapati Nabi Isa ‘alaihissalam disebut sebagai guru. Hal ini dikarenakan dia adalah seorang guru yang diutus untuk mengajarkan kaumnya. Sehingga firman Allah ﷻ yang menjadikan keberkahan pada Nabi Isa ‘alaihissalam dikarenakan ia adalah seorang guru yang Allah ﷻ utus kepada kaumnya, Nabi Isa ‘alaihissalam berkata,
﴿ وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا ﴾
“dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup”
Di mana pun ia berada ia selalu mengajarkan manusia. Tidaklah bertemu orang lain kecuali ia akan menyampaikan kebaikan. Sehingga dalam ayat ini Allah ﷻ mengaitkan keberkahan dengan mengajar.
Semua ini menekankan kepada kita bahwasanya ilmu adalah ibadah yang dicintai oleh Allah ﷻ.
Para sahabat dan para ulama terdahulu mereka semua memuliakan ilmu dan memuliakan guru. Contohnya sebagaimana yang Allah ﷻ sebutkan dalam surah Al-Kahfi tentang Nabi Musa ‘alaihissalam yang belajar kepada Nabi Khadir. Dikisahkan bahwa suatu ketika Nabi Musa ‘alaihissalam sedang berkhotbah dengan khotbah yang membuat Bani Israil kagum dengan ceramahnya. Bani Israil pun bertanya kepadanya, “wahai Musa, siapakah orang yang paling berilmu di atas muka bumi ini?” Nabi Musa ‘alaihissalam ketika ditanya demikian maka Nabi Musa ‘alaihissalam pun menjawab sebatas yang ia ketahui bahwa dirinyalah yang paling berilmu. Dia mengatakan hal itu bukan karena kesombongan, maka Allah ﷻ menegur Nabi Musa ‘alaihissalam dengan memberitahunya bahwa Allah ﷻ memiliki seorang hamba yang memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh Nabi Musa ‘alaihissalam. Akhirnya Nabi Musa ‘alaihissalam meminta izin kepada Allah ﷻ untuk bisa bertemu dengan hamba tersebut. Hamba tersebut adalah Nabi Khadir ‘alaihissalam.([7])
Inilah kisah perjalanan dalam menuntut ilmu yang Allah ﷻ sebutkan di dalam Al-Qur’an. Di mana seorang nabi membawa bekal beserta pembantunya untuk mencari seorang guru untuk mengambil ilmu darinya. Padahal para ulama sepakat jika dibandingkan antara Nabi Khadir dengan Nabi Musa ‘alaihissalam maka Nabi Musa ‘alaihissalam lebih afdal daripada Nabi Khadir ‘alaihissalam. Hal ini dikarenakan Nabi Musa ‘alaihissalam adalah kalimullah ‘orang yang diajak berbicara oleh Allah ﷻ secara langsung tanpa perantara malaikat jibril. Nabi Musa ‘alaihissalam adalah nabi yang berikan kepadanya kitab suci Taurat yang Allah ﷻ tulis langsung pada alwah ‘lembaran-lembaran batu’ tanpa perantara malaikat Jibril ‘alaihissalam. Nabi Musa ‘alaihissalam juga termasuk Ululazmi dari para rasul. Beliau juga memiliki banyak pengikut yaitu Bani Israil. Sehingga para ulama sepakat bahwa Nabi Musa ‘alaihissalam lebih afdal daripada Nabi Khadir ‘alaihissalam. Bahkan Allah ﷻ berfirman tentang Nabi Musa ‘alaihissalam,
﴿ وَكَانَ عِنْدَ اللَّهِ وَجِيهًا ﴾
“Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah.” (QS. Al-Ahzab: 69)
Di antara keistimewaan Nabi Musa adalah dia pernah berdoa agar saudaranya yaitu Harun diangkat menjadi nabi. Allah ﷻ berfirman,
﴿ وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي . هَارُونَ أَخِي . اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي . وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي ﴾
“dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikankanlah dia sekutu dalam urusanku.” (QS. Thaha: 29-32)
Allah ﷻ pun mengabulkan doanya, Allah ﷻ berfirman,
﴿ قَالَ قَدْ أُوتِيتَ سُؤْلَكَ يَا مُوسَى ﴾
“Allah berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, hai Musa”. (QS. Thaha: 36)
Harun yang sebelumnya adalah orang biasa akhirnya diangkat menjadi seorang nabi. Kita saja jika berdoa seperti meminta agar anak, istri, atau suami menjadi orang yang saleh belum tentu dikabulkan. Nabi Musa ‘alaihissalam bukan hanya sekedar meminta kakaknya menjadi orang yang saleh akan tetapi dia meminta kakaknya agar menjadi seorang nabi. Oleh karenanya para ulama mengatakan bahwa tidak ada seorang kakak yang memiliki hutang budi lebih besar kepada adiknya seperti hutang budi Harun kepada Musa. Hal ini dikarenakan Harun diangkat menjadi seorang nabi karena sebab doa Nabi Musa ‘alaihissalam.
Walaupun Nabi Musa ‘alaihissalam lebih utama dari Nabi Khadir akan tetapi Nabi Khadir memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh Nabi Musa ‘alaihissalam yang akhirnya membuat Nabi Musa ‘alaihissalam ingin berguru kepada Nabi Khadir.
Berjalanlah Nabi Musa ‘alaihissalam bersama pembantunya yaitu Yusya’ bin Nun sebagaimana Allah ﷻ kisahkan,
﴿ وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا ﴾
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”.” (QS. Al-Kahfi: 60)
Hingga kemudian akhirnya mereka berdua menemukan Nabi Khadir ‘alaihissalam,
﴿ فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا ﴾
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. Al-Kahfi: 65)
Ketika Nabi Musa bertemu dengan Nabi Khadir ‘alaihissalam maka ia dengan merendah meminta diajarkan ilmu yang dimiliki oleh Nabi Khadir,
﴿ قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا ﴾
“Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al-Kahfi: 66)
Nabi Musa ‘alaihissalam derajatnya lebih tinggi daripada Nabi Khadir ‘alaihissalam. Akan tetapi ketika dia meminta untuk diajarkan sebuah ilmu maka dia meminta dengan lembut tanpa memaksa. Nabi Musa ‘alaihissalam meminta untuk diajarkan ilmu yang baik dari Nabi Khadir ‘alaihissalam.
Nabi Musa ‘alaihissalam yang sangat kuat, mulia, dan memiliki pengikut banyak tunduk kepada Nabi Khadir ‘alaihissalam disebabkan ilmu yang dimiliki Nabi Khadir dan tidak ia miliki. Nabi Khadir ‘alaihissalam berkata,
﴿ قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا . وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا ﴾
“Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” (QS. Al-Kahfi: 67-68)
Seakan-akan Nabi Khadir ‘alaihissalam menganggap Nabi Musa ‘alaihissalam tidak bisa sabar belajar dengannya. Kita tahu bahwa Nabi Musa ‘alaihissalam adalah orang yang sangat kuat, ia bisa membunuh orang dengan sekali pukul,
﴿ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ ﴾
“lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu.” (QS. Al-Qasas: 15)
Namun Nabi Musa ‘alaihissalam tetap mengagungkan gurunya dan tunduk di hadapan ilmu.
Ketika Nabi Khadir mengatakan bahwa Nabi Musa ‘alaihissalam tidak akan bisa sabar maka Nabi Musa menjawab,
﴿ قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا ﴾
“Musa berkata: “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun”.” (QS. Al-Kahfi: 69)
Setelah itu Nabi Khadir memberikan syarat kepada Nabi Musa ‘alaihissalam jika ingin mengikutinya,
﴿ قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا ﴾
“Dia berkata: “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu”.” (QS. Al-Kahfi: 70)
Intinya ini adalah sebuah contoh bagaimana Allah ﷻ menceritakan tentang ketundukan dan pengagungan seorang terhadap ilmu.
Di antara cerita yang menakjubkan tentang ilmu yang diceritakan oleh Ibnul Jauzi dalam tarikhnya. Dia sebutkan bagaimana di zaman Khlifah Al-Ma’mun Al-Abbasi yang dia memiliki 2 orang anak yang keduanya adalah pangeran yang akan menggantikannya sebagai raja. Al-Ma’mun memiliki guru untuk anaknya yang mengajarkan ilmu nahwu yang bernama Al-Farra’ yang beliau adalah seorang ulama ahli bahasa.
Suatu hari pada saat Al-Farra’ mengajarkan kedua anak Al-Ma’mun beliau bangkit hendak menunaikan keperluan, lalu kedua anak Al-Ma’mun berebut mengambil kedua sandal Al-Farra’ untuk memberikan kepada gurunya. Mereka berdua pun memperdebatkan siapa di antara mereka yang akan memberikan sendal gurunya, dan akhirnya mereka berdua bersepakat untuk masing-masing membawa satu sandal yang kemudian diberikan kepada gurunya.
Al-Ma’mun memiliki mata-mata di setiap tempat, dan mata-mata tersebut menceritakan kepada Al-Ma’mun apa yang telah terjadi. Kemudian Al-Farra’ diminta untuk menghadap kepada Al-Ma’mun, ketika ia telah menemui Khalifah maka ia pun ditanya: “siapakah orang yang paling mulia?”
Ia pun menjawab: “aku tidak mengetahui ada orang yang lebih mulia dari Amirul mukminin”.
Maka Al-Ma’mun pun berkata: “salah, orang yang paling mulia adalah orang yang ketika bangkit maka kedua putra mahkota akan bertengkar saling berebut untuk memberikan kedua sendalnya bahkan keduanya rela untuk masing-masing membawa 1 sandal untuk diberikan kepadanya”.
Al-Farra’ pun menjelaskan: “wahai Amirul mukminin sungguh aku ingin menghalangi keduanya dari perbuatan itu, akan tetapi aku khawatir mencegah keduanya dari melakukan perbuatan mulia yang akan mereka lakukan, dan aku khawatir mematahkan semangat mereka dari melakukan perbuatan yang mulia”.
(Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Al-Farra’ biasa memegangkan tempat pijakan tunggangan Al-Hasan dan Al-Husain (kedua putra mahkota) ketika mereka berdua keluar dari sisinya) Maka sebagian hadirin berkata: bagaimana mungkin engkau yang memegangkan untuk keduanya pijakan kaki tunggangannya lalu menyangka engkau lebih mulia dari kedua?
Dia menjawab: diamlah wahai orang bodoh, keutamaan itu hanya diketahui oleh orang yang memiliki keutamaan, dan aku adalah orang yang memiliki keutamaan.
Maka akhirnya Al-Ma’mun berkata kepada Al-Farra’: “seandainya engkau menahan keduanya dari perbuatan tersebut maka aku akan menghukummu dengan cercaan dan membuatmu menjadi orang yang bersalah. Sesungguhnya tidak akan membuat rendah kemuliaan yang telah dilakukan oleh keduanya, bahkan perbuatan tersebut mengangkat kedudukan keduanya dari sifat alami mereka. Perbuatan keduanya membuat firasatku mengatakan bahwa seseorang tidak dikatakan dewasa walaupun usianya dewasa kecuali karena 3 perkara: tawaduk dirinya terhadap rajanya, orang tuanya, dan gurunya yang mengajarkan ilmu. Sungguh aku akan membayarkan atas apa yang mereka berdua perbuat dengan dua puluh ribu dinar dan juga aku akan memberimu sepuluh ribu dirham karena telah mengajarkan keduanya adab yang baik”. ([8])
Khalifah Al-Ma’mun memberikan hadiah yang sangat banyak kepada Al-Farra’ karena dia telah berhasil mengajar kedua anaknya untuk memuliakan guru.
Inilah keadaan para salaf dahulu di mana mereka benar-benar mengagungkan ilmu dan menghormati guru.
Ibnu Abdil Barr menyebutkan bahwa suatu hari Zaid bin Tsabit ketika dia akan menunggangi kendaraannya maka dia meletakkan kakinya di tempat pijakan untanya. Lalu datanglah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang dia adalah sepupu Rasulullah ﷺ dan dia menyiapkan tempat pijakan Zaid bin Tsabit. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma merupakan Ahli Bait sedangkan Zaid bin Tsabit bukanlah termasuk Ahli bait, namun dia hanya guru dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Zaid bin Tsabit pun melarang Ibnu Abbas dari melakukan perbuatan itu namun Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
هَكَذَا يُفْعَلُ بِالْعُلَمَاءِ وَالْكُبَرَاءِ
“begitulah kami memperlakukan ulama dan para pemimpin.” ([9])
Kita semua tahu bahwasanya ilmu adalah cahaya. Kita juga semua tahu bahwa kita bisa maju dalam masalah dunia maupun urusan agama semuanya dengan ilmu. Sungguh benar orang yang mengatakan,
العلمُ نورٌ والجهلُ ظلامٌ
“ilmu adalah cahaya dan kebodohan adalah kegelapan.” ([10])
Jika seorang ingin maju dan berkembang maka harus dengan ilmu. Seandainya kita tidak memiliki ilmu maka kita sama seperti hewan yang tidak bisa berkembang baik di dunia maupun untuk agama. Oleh karenanya siapa saja orang yang berjasa kepada kita sehingga mengantarkan kita kepada ilmu maka kita harus menghormatinya meskipun dia hanya mengajari kita satu huruf.
Penghormatan terhadap guru seharusnya dipahami dan dipraktikkan oleh kaum muslimin. Namun, kita semua tahu kenyataan pahit yang terjadi terutama di zaman sekarang, kita dapati sebagian guru-guru diganggu oleh murid-muridnya. Kita dapati sebagian murid yang melawan dan mengejek gurunya. Juga kita dapati ketika gurunya sedang menerangkan suatu ilmu namun murid-muridnya tidak memperhatikan dan sibuk dengan diri mereka sendiri. Inilah kenyataan pahit yang kita lihat, tidak adanya penghormatan terhadap guru. Ketika gurunya menegur maka sebagian murid akan mengejek, dan ketika gurunya sedikit kasar maka sebagian murid akan melapor polisi. Sehingga banyak guru di zaman sekarang menjadi tidak bernilai.
Kita dapati juga sebagian guru yang digaji dengan sesuatu yang tidak mencukupi kebutuhannya namun mereka tidak dihargai. Padahal kebanyakan murid-muridnya menjadi sukses dengan sebab gurunya. Maka benarlah jika kita katakan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Akan tetapi kita harus mengubah kebiasaan buruk ini, karena Islam mengajarkan kepada kita untuk menghormati guru.
Kenyataan pahit yang juga kita dapati saat ini adalah ketika ada sebagian orang tua yang ikut campur menyalahkan guru ketika terjadi permasalahan antara murid dan guru. Mereka tidak mencari kebenaran terlebih dahulu tentang permasalahan yang dialami anaknya, padahal mungkin saja anaknya yang melakukan kesalahan.
Menghormati guru termasuk ajaran agama Islam, Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيرَنَا، وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا
“bukan termasuk dari kami orang yang tidak menghormati orang yang lebih tua dari kami dan tidak menyayangi orang yang lebih kecil dari kami.” ([11])
Masalah penghormatan terhadap guru harus benar-benar diperhatikan. Karena di antara sebab keberhasilan seorang murid adalah sejauh mana dia menghormati guru. Peran orang tua sangat penting dalam mengarahkan anak untuk menghormati guru. Kita sebagai orang tua harus menanamkan pada jiwa anak untuk menghormati guru. Jika guru tidak dihormati maka ilmu menjadi tidak berkah. Walaupun anak tersebut cerdas tetap saja ilmu yang dia miliki tidak berkah. Hal ini dikarenakan dia meraih ilmu tanpa penghormatan terhadap gurunya. Sehingga kecerdasannya bisa saja menjadikannya sebagai penjahat seperti koruptor dan lainnya.
Di masa pandemi ini kita bisa merasakan betapa sulitnya mengajar anak-anak. Jika kita lengah sedikit saja maka anak-anak akan bermain dan tidak belajar. Sehingga dari sini kita tahu bahwasanya guru memiliki jasa yang sangat besar dan kita harus menghormatinya. Bahkan bisa kita katakan bahwa penghormatan terhadap guru bukan hanya murid akan tetapi wali murid juga harus menghormati guru.
Jika wali murid sudah memiliki penghormatan terhadap guru dengan kesadaran sendiri maka hal itu akan menular kepada anaknya. Akan tetapi jika ada wali murid yang memiliki pandangan yang berbeda terhadap guru maka anaknya juga akan mengikutinya. Kebanyakan mereka tidak menghormati guru karena mereka memandang telah membayar mahal untuk sekolah tersebut. Akhirnya mereka lebih banyak menuntut dan menginginkan kesempurnaan. Sehingga dia tidak mengajarkan anaknya untuk menghormati gurunya.
Di masa pandemi ini merupakan pelajaran bagi kita semua betapa sulitnya untuk mengajar anak-anak. Sehingga kita tahu bahwasanya pekerjaan guru tidaklah mudah.
Terkadang guru memberi pengaruh dalam kehidupan seseorang lebih besar daripada orang tua. Terlebih jika guru tersebut berakhlak mulia dan murid tersebut sangat tertarik dengan guru tersebut maka dia akan sangat mudah untuk terpengaruh.
Ahmad Syauqi yang dia merupakan seorang penyair berkata tentang seorang guru,
قمْ للمعلمِ وفِّهِ التبجيلا … كاد المعلمُ أن يكونَ رسول
أعلمتَ أشرفَ أو أجلَّ من الذي … يبني وينشيءُ أنفساً وعقولا
“berdirilah engkau untuk gurumu dan hormatilah ia dengan sehormat-hormatnya…hampir-hampir seorang pengajar menjadi seorang rasul
Apakah kau tahu ada orang yang lebih mulia dari seseorang yang…membimbing seorang murid sehingga memiliki jiwa-jiwa yang hebat dan akal-akal yang cerdas? ([12])
Jasa yang paling besar yang membuat pribadi seseorang dan otaknya menjadi cerdas adalah para guru.
Hendaknya kita membaca sirah para ulama ketika mereka menghormati guru-guru mereka. Lihatlah bagaimana Imam Asy-Syafi’i yang membuka bukunya dengan pelan di hadapan gurunya yaitu Imam Malik karena rasa hormatnya kepada gurunya([13]). Begitulah para ulama salaf sangat beradab dengan guru mereka sehingga ilmu mereka diberkahi oleh Allah ﷻ dan menjadi generasi-generasi yang terbaik.
Sebab-Sebab Guru Kurang Dihormati
Pertama: karena sebab guru itu sendiri
Seorang guru memiliki tanggung jawab yang besar. Dia tahu bahwasanya beban mengajar adalah amanah dari Allah ﷻ sehingga dia harus mengerjakannya dengan tulus karena Allah ﷻ. Allah ﷻ juga akan mempertanyakan beban yang telah Allah ﷻ berikan kepadanya.
Dia juga harus tahu bahwasanya akhlak dan ilmu orang yang dia ajarkan menjadi tanggung jawabnya. Hendaknya seorang guru berusaha untuk menyampaikan ilmu dengan sebaik-baiknya dan dengan setulus-tulusnya. Adapun keberhasilan maka hendaknya diserahkan kepada Allah ﷻ. Oleh karenanya ketika dia hendak mengajar dia harus persiapan dan tidak lupa berdoa meminta pertolongan kepada Allah ﷻ dengan mengucapkan basmalah agar ilmu tersebut bisa tersampaikan kepada muridnya.
Sesungguhnya guru akan beruntung jika ada muridnya yang mengamalkan ilmu yang dia sampaikan baik ilmu duniawi atau ukhrawi. Karena guru tersebut juga akan mendapatkan pahala dengan syarat dia tulu ketika mengajar.
Adapun seseorang yang ketika mengajar hanya mengharapkan duniawi saja maka ilmunya tidak berkah sehingga terkadang murid-muridnya tidak menghormatinya.
Inilah di antara sebab kurangnya seorang guru dihormati. Yaitu bisa jadi guru tersebut kurang persiapan untuk menjadi seorang guru. Hendaknya dia membenahi dirinya dan berdoa kepada Allah ﷻ agar dimudahkan baginya dalam menjalani proses mengajar dan meminta agar hatinya tulus dalam mengajar.
Penulis ingatkan bahwa perkara-perkara duniawi bisa mendatangkan pahala jika niatnya karena Allah ﷻ. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ
“Sungguh tidaklah engkau menginfakkan sesuatu dengan tujuan mengharapkan wajah Allah kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala, sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” ([14])
Suapan seorang suami ke mulut istrinya merupakan perkara duniawi. Namun ternyata hal tersebut jika diniatkan karena Allah ﷻ maka dia akan mendapatkan pahala. Maka bagaimana lagi dengan orang yang mengajarkan ilmu? Baik itu ilmu dunia atau ilmu akhirat.
Orang yang mengajarkan ilmu dunia seperti matematika dan lainnya maka bisa membuat seseorang sukses dunianya. Karena seseorang harus berhasil di dunia maupun di akhirat. Akhirat memang lebih utama akan tetapi dalam masalah dunia seseorang juga harus berhasil. Islam membutuhkan orang yang hebat bukan hanya dalam masalah agama saja. Islam membutuhkan orang-orang yang cerdas yang bisa menemukan sesuatu yang baru dalam masalah dunia. Jika seseorang tulus ketika mengajarkan ilmu dunia karena Allah ﷻ maka dia akan mendapatkan pahala. Berbeda dengan orang yang tidak meniatkan karena Allah ﷻ maka dia hanya mendapatkan gaji bulanan saja.
Kedua: sebab orang tua
Jika ada pertemuan dengan para wali murid maka hendaknya disampaikan bahwa para guru membutuhkan kerja sama dengan para wali murid.
Sesungguhnya anak akan membawa perangai orang tua, jika orang tuanya sombong maka anak juga akan sombong ketika di sekolah. Para orang tua perlu menanamkan kepada anak-anak agar menghormati para guru dan ustaz.
Apa yang telah kita berikan kepada guru tidak ada bandingannya dengan apa yang telah para guru berikan kepada kita. Para guru adalah orang yang menghilangkan kejahilan kita sedikit demi sedikit.
Ketiga: media sosial
Banyak anak-anak yang belajar dari youtube bahkan sebagian mereka bercita-cita menjadi youtuber. Banyak di antara mereka belajar kata kotor dari media sosial. Banyak guru yang lelah mengajarkan mereka akhlak yang baik namun semua itu rusak dengan tontonan sesaat dari media sosial.
Hendaknya ini menjadi perhatian yang besar bagi orang tua agar bisa menyaring apa yang ditonton oleh anak-anak. Jangan sampai apa yang diajarkan oleh para guru kemudian menjadi hancur karena media sosial.
Footnote:
________
([1]) HR. Ibnu Majah, No. 223, dinyatakan sahih oleh Al-Albani.
([2]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi (10/108).
([3]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi (18/107).
([4]) HR. Ibnu Majah No. 224, dinyatakan sahih oleh Al-Albani.
([5]) HR. Bukhari No. 71 dan Muslim No. 1037.
([6]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi (11/103).
([8]) Tarikh al-Muluk wal Umam (10/179).
([9]) Jami’Bayan al-‘Ilm wa Fadlih (1/514).
([10]) Dinukil dari durus Syaikh Abdurrahman As-Sudais (6/2).
([11]) HR. Ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath No. 5927, dinyatakan lemah oleh Al-Albani. [lihat: Misykah al-Mashaabiih No. 4970)].
([12]) Lihat: Majma’ al-Hikam wa al-Amtsal: (7/800).