Keutamaan Membantu Orang Lain
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Pada kesempatan ini kita akan membahas tentang suatu ibadah yang sangat agung dan mulia yaitu pembahasan tentang قَضَاءُ حَوَائِجِ النَّاسِ (membantu memenuhi keperluan orang lain). Ibadah di dalam Islam ada yang berkaitan antara seorang hamba dengan Rabb-Nya dan antara seseorang dengan yang lainnya. Oleh karenanya jangan beranggapan bahwa ibadah itu hanyalah bagaimana seorang hamba beribadah kepada Rabb-Nya, akan tetapi di antara perintah yang sangat di tekankan oleh Allah ﷻ adalah bagaimana seseorang bisa membantu saudaranya yang lain. Banyak sekali ayat-ayat di dalam Alquran yang memerintahkan kita untuk senantiasa berbuat baik, contohnya adalah firman Allah ﷻ,
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا (114)
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An-Nisa’ : 114)
Di dalam ayat di atas Allah memuji orang-orang yang menyeru kepada kebaikan, menyeru untuk bersedekah, bahkan mengadakan mendamaikan di antara manusia, dan ini semua adalah ibadah yang berkaitan tentang berbuat baik kepada orang lain dan Allah akan memberikan ganjaran pahala yang besar bagi orang-orang tersebut.
Di dalam ayat yang lain Allah ﷻ berfirman,
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا (83)
“Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah : 83)
Syariat memerintahkan kita untuk berkata-kata yang baik kepada orang lain. Karena berkata-kata yang baik itu akan menyenangkan hati orang lain, dan hal tersebut adalah bentuk berbuat baik kepada orang lain.
Allah ﷻ juga berfirman,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا (36)
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa’ : 36)
Allah ﷻ juga berfirman tentang ciri-ciri penghuni surga di antaranya,
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا (8)
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” (QS. Al-Insan : 8)
Demikian pula banyak sekali ayat-ayat di dalam Alquran yang memuji orang-orang yang berbuat ihsan. Di antaranya adalah firman Allah ﷻ,
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (195)
“Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah : 195)
إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ (56)
“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf : 56)
Intinya adalah jika kita ingin mengumpulkan ayat-ayat yang memerintahkan untuk berbuat baik sungguh sangatlah banyak. Allah ﷻ juga berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (77)
“Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. Al-Hajj : 77)
Oleh karenanya banyak ayat-ayat yang memerintahkan untuk berbuat baik kepada orang lain. Maka ini menunjukkan bahwa perhatian syariat terhadap ibadah ini sangatlah besar. Oleh karenanya demikianlah para Nabi juga memiliki perhatian besar terhadap berbuat baik kepada orang lain. Contoh yang Allah ﷻ sebutkan di dalam Alquran adalah kisah Nabi Musa ‘alaihissalam tatkala di kejar oleh Fir’aun. Allah ﷻ berfirman,
فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا يَتَرَقَّبُ قَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ (21) وَلَمَّا تَوَجَّهَ تِلْقَاءَ مَدْيَنَ قَالَ عَسَى رَبِّي أَنْ يَهْدِيَنِي سَوَاءَ السَّبِيلِ (22) وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ (23) فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ (24)
“Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdoa: “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu”. Dan tatkala ia menghadap ke jurusan negeri Madyan ia berdoa (lagi): “Mudah-mudahan Tuhanku memimpinku ke jalan yang benar”. Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat at begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”. (QS. Al-Qashash : 21-24)
Di dalam ayat ini Nabi Musa ‘alaihissalam membantu dua orang wanita yang hendak memberikan minum kepada hewan ternaknya tanpa pamrih, padahal Nabi Musa ‘alaihissalam dalam kondisi sangat lapar tatkala meninggalkan kota Mesir, karena para ulama mengatakan bahwa perkataan Nabi Musa ‘alaihissalam dalam doanya “Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku” menunjukkan bahwa dia sedang lapar dan meminta untuk diberi makan oleh Allah ﷻ. Intinya adalah Nabi Musa ‘alaihissalam menyematkan dirinya untuk membantu dua orang wanita tersebut karena merasa kasihan tidak adanya laki-laki yang membantunya.
Demikian juga Nabi Muhammad ﷺ sangat dikenal suka membantu orang lain. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu berkata,
مَا سُئِلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ فَقَالَ لَا
“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dimintai sesuatu (yang beliau mau), beliau tidak pernah menjawab: ‘Tidak’.” ([1])
Jika Nabi ﷺ mampu, maka beliau pasti membantu orang yang meminta tersebut dan Nabi fda tidak pernah mengatakan ‘Tidak’. Oleh karenanya juga disebutkan dalam hadits bahwa tatkala Jibril mendatangi Nabi ﷺ di Gua Hira, beliau kemudian takut dan turun dari gua tersebut menemui Khadijah radhiallahu ‘anha. Tatkala Khadijah telah menenagkan Nabi ﷺ, kemudian beliau ﷺ berkata,
لَقَدْ خَشِيتُ عَلَى نَفْسِي، قَالَتْ لَهُ خَدِيجَةُ: كَلَّا أَبْشِرْ، فَوَاللهِ، لَا يُخْزِيكَ اللهُ أَبَدًا، وَاللهِ، إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَصْدُقُ الْحَدِيثَ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ، وَتُكْسِبُ الْمَعْدُومَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ} صحيح مسلم (1/ 141{(
“Aku benar-benar khawatir pada diriku.” Khadijah terus menghibur beliau dengan berkata, ‘Sekali-kali tidak, bergembiralah! Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu, selama-lamanya. Demi Allah! Sesungguhnya, kamu telah menyambung tali persaudaraan, berbicara jujur, memikul beban orang lain, suka mengusahakan sesuatu yang tidak ada, menjamu tamu dan senantiasa membela kebenaran’.”([2])
Inilah sifat Nabi ﷺ yang selalu membantu orang lain. Dan disebutkan pula dalam hadits yang lain bahwa ada seorang wanita jariyah yang memiliki keperluan terhadap Nabi ﷺ. Maka Nabi ﷺ membiarkan wanita tersebut memegang tangan Nabi ﷺ melewati lorong-lorong kota Madinah. Itulah nabi ﷺ. Dan sikap ini pun diikuti oleh para sahabat, dimana mereka luar biasa dalam membantu orang lain. Cukuplah firman Allah ﷻ yang menceritakan tentang kisah kaum Anshar sebagai bukti bagaimana para sahabat juga senang membantu orang lain. Allah ﷻ berfirman,
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (9(
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-Hasyr : 9)
Oleh karenanya tatkala Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sulit untuk tinggal di kota Mekkah karena diintimidasi oleh kaum musyrikin, maka dia pun keluar meninggalkan kota Mekkah. Tatkala di tengah perjalanan, beliau bertemu dengan Ibnu Ad-Dughunnah salah seorang kepala suku dari kabilah Al-Qarah. Maka Ibnu Ad-Dughunnah berkata kepada Abu Bakar radhiallahu ‘anhu,
إِنَّ مِثْلَكَ لاَ يَخْرُجُ وَلاَ يُخْرَجُ، فَإِنَّكَ تَكْسِبُ المَعْدُومَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الكَلَّ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الحَقِّ، وَأَنَا لَكَ جَارٌ، فَارْجِعْ فَاعْبُدْ رَبَّكَ بِبِلاَدِكَ
“Seharusnya orang seperti anda tidak patut keluar dan tidak patut pula diusir karena Anda termasuk orang yang bekerja untuk mereka yang susah, menyambung silaturahmi, menanggung orang-orang yang lemah, menjamu tamu dan selalu menolong di jalan kebenaran. Maka aku akan menjadi pelindung Anda untuk itu kembalilah dan sembahlah Tuhanmu di negeri kelahiranmu.”([3])
Pernyataan Ibnu Ad-Dughunnah sangat persis menggambarkan bagaimana sifat Nabi ﷺ. Ini menunjukkan bahwa para sahabat radhiallahu ‘anhum ajma’in senantiasa mengikuti Rasulullah ﷺ.
Adapun hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan membantu orang lain juga sangat banyak. Beberapa di antaranya adalah tatkala Nabi ﷺ ditanya,
يَا رَسُولَ اللَّهِ , أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ , وَأَيُّ الْأَعْمَالِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا، وَلَئِنْ أَمْشِي مَعَ أَخٍ لِي فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ شَهْرًا فِي مَسْجِدِ الْمَدِينَةِ
“Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling dicintai oleh Allah, dan amalan apa yang paling dicintai oleh Allah?” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Orang yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Dan amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah rasa senang (kebahagiaan) yang engkau masukkan ke dalam seorang muslim, atau menghilangkan kesulitannya, atau melunaskan hutang-hutangnya, atau menghilangkan rasa laparnya. Dan apabila saya berjalan menemani saudaraku untuk memenuhi keperluannya, itu lebih aku sukai daripada iktikaf selama sebulan di masjid Nabawi’.”([4])
Amalan yang manfaatnya juga terkena kepada orang lain adalah merupakan amalan yang sangat dicintai oleh Allah ﷻ daripada ibadah yang manfaatnya hanya untuk diri sendiri. Contohnya adalah orang yang shalat dan puasa, mereka hanya memberikan manfaat untuk dirinya sendiri, akan tetapi orang yang bersedekah, membantu orang lain, maka yang demikian memberikan manfaat untuk orang lain, serta amalan yang memberikan manfaat kepada orang lain jauh lebih dicintai oleh Allah ﷻ. Oleh karenanya tatkala Nabi ﷺ ditanya tentang siapa orang yang paling dicintai oleh Allah ﷻ, maka beliau menjawab, ‘Orang yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain’.
Dalam hadits ini Nabi ﷺ juga menyebutkan bahwa amalan yang paling dicintai oleh Allah di antaranya adalah memasukkan kesenangan dalam hati seorang muslim. Maka jika seseorang membuat senang seorang muslim lainnya, maka dia telah melakukan amalan yang sangat luar biasa meskipun hal tersebut adalah hal yang sangat ringan sebagaimana sabda Nabi ﷺ,
لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Janganlah kamu menganggap remeh sedikit pun suatu kebaikan, walau pun hanya bermanis muka (tersenyum) kepada saudaramu (sesama muslim) ketika bertemu.”([5])
Tersenyum kepada orang lain akan membuat orang yang disenyumi akan senang dan bahagia. Demikian juga Rasulullah ﷺ mengatakan,
وَالكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
“Dan ucapan yang baik adalah sedekah.”([6])
Bertutur kata yang baik, maka orang akan merasa senang dengan perkataan kita, maka kita pun akan mendapatkan pahala atas hal tersebut. Oleh karenanya Nabi ﷺ mengatakan bahwa amalan yang paling dicintai oleh Allah ﷻ adalah memasukkan kebahagiaan atau kesenangan ke dalam hati seorang muslim.
Di dalam hadits ini Nabi ﷺ juga mengatakan ‘Dan apabila saya berjalan menemani saudaraku untuk memenuhi keperluannya, itu lebih aku sukai daripada iktikaf selama sebulan di masjid Nabawi’, padahal kita ketahui bahwa iktikaf selama sebulan penuh di masjid Nabawi adalah ibadah yang tidak mudah untuk dilakukan karena banyak sebab. Akan tetapi nabi ﷺ mengajarkan bahwa ada ibadah yang lebih mudah dan itu lebih beliau sukai daripada ibadah iktikaf, yaitu membantu orang lain atau menemaninya jika dia memerlukan suatu keperluan. Para ulama mengatakan bahwa iktikaf adalah ibadah yang manfaatnya terbatas hanya untuk diri seseorang yang melakukannya, adapun membantu orang lain manfaatnya bukan hanya untuk diri sendiri melainkan juga bermanfaat untuk orang lain.
Oleh karenanya di riwayatkan bahwasanya Syaikh bin Bazz rahimahullah sering membatalkan puasa sunnahnya karena ingin memberi manfaat untuk orang lain. Tatkala ditanya tentang alasannya, beliau mengatakan bahwa jika beliau berpuasa maka beliau tidak akan kuat untuk memberi manfaat untuk orang lain. Demikianlah seseorang di antara kita yang memiliki waktu yang terbatas, sehingga terkadang kita harus menimbang untuk memberi manfaat kepada orang lain karena hal tersebut lebih dicintai oleh Allah ﷻ daripada ibadah yang manfaatnya untuk diri sendiri.
Hadits lain yang menunjukkan tentang keutamaan membantu orang lain adalah sabda Nabi ﷺ,
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa membebaskan seorang mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat.”([7])
Makna kata نَفَّسَ ada dua. Yang pertama adalah kita menghilangkan penderitaan orang lain secara total, dan yang kedua adalah mengurangi sebagian penderitaan orang lain. Maka meskipun kita tidak bisa menghilangkan kesusahan seseorang seluruhnya, akan tetapi kita bisa mengurangi sedikit dari kesusahannya, maka hal tersebut telah bernilai di sisi Allah ﷻ. Kemudian Nabi ﷺ mengatakan bahwa ganjaran bagi orang-orang yang meringankan kesusahan orang lain adalah akan diringankan baginya kesulitan pada hari kiamat. Nabi ﷺ tidak menyebutkan adanya ganjaran berupa keringanan di dunia, karena penderitaan di akhirat tidak sebanding dengan penderitaan di akhirat. Penderitaan di dunia sungguh adalah penderitaan yang sangat ringan jika dibandingkan dengan penderitaan di akhirat yang sangat mengerikan. Oleh karenanya melakukan suatu yang ringan berupa menghilangkan kesulitan orang lain seluruhnya atau sedikit, maka Allah ﷻ akan menghilangkan penderitaan kita pada hari kiamat kelak.
Kemudian Nabi ﷺ mengatakan,
وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Barang siapa memberi kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan di dunia dan akhirat. Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim.”([8])
Pada hadits sebelumnya telah disebutkan bahwa di antara amal yang paling dicintai oleh Allah ﷻ adalah menghilangkan kesusahan orang lain atau membayarkan hutangnya. Jika sekiranya ada orang yang berhutang kepada kita, dan kita tahu dia adalah orang yang baik dan telah berusaha untuk melunasi hutang-hutangnya, maka kita bisa membantunya. Adapun cara membantunya ada dengan tiga cara, yang pertama adalah meluaskan waktu pembayarannya jika dia belum mampu untuk membayarnya, yang kedua adalah menggugurkan sebagian dari hutangnya, dan yang ketiga adalah kita ikhlaskan (lunaskan) seluruh hutangnya. Perkara ini adalah perkara yang sangat mulia. Terkadang kita melihat betapa susahnya orang-orang yang terlilit hutang. Oleh karenanya Nabi ﷺ bersabda,
لَا تُخِيفُوا أَنْفُسَكُمْ بَعْدَ أَمْنِهَا، قَالُوا وَمَا ذَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ الدَّيْنُ
“Janganlah kalian menakut-nakuti diri kalian sendiri setelah adanya rasa aman.” Para sahabat bertanya, “Apakah itu wahai Rasulullah?” beliau menjawab: “Yaitu dengan utang.”([9])
Seseorang tatkala tidak memiliki hutang maka pasti hidupnya akan tenang. Akan tetapi jika dia memiliki hutang, maka hidupnya akan susah. Terlebih lagi jika yang mengalami hal tersebut adalah seorang mukmin, karena dia akan memikirkan bagaimana hutangnya jika dia telah meninggal dunia, bagaimana kondisinya di alam barzakh ketika dia meninggal dalam keadaan masih memiliki hutang, dan yang lainnya. Akan tetapi jika kemudian ada orang yang datang melunaskan hutangnya, atau orang yang menghutanginya mengurangi sebagian atau bahkan melunaskan seluruh hutangnya, maka betapa bahagianya orang tersebut. Dan amalan memberikan keluasan orang lain dalam hal utang ini adalah amalan yang sangat luar bisa di sisi Allah ﷻ. Dalam suatu hadits disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ رَجُلًا لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ، وَكَانَ يُدَايِنُ النَّاسَ، فَيَقُولُ لِرَسُولِهِ: خُذْ مَا تَيَسَّرَ، وَاتْرُكْ مَا عَسُرَ وَتَجَاوَزْ، لَعَلَّ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا، فَلَمَّا هَلَكَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ: هَلْ عَمِلْتَ خَيْرًا قَطُّ؟ قَالَ: لَا. إِلَّا أَنَّهُ كَانَ لِي غُلَامٌ وَكُنْتُ أُدَايِنُ النَّاسَ، فَإِذَا بَعَثْتُهُ لِيَتَقَاضَى قُلْتُ لَهُ: خُذْ مَا تَيَسَّرَ، وَاتْرُكْ مَا عَسُرَ، وَتَجَاوَزْ لَعَلَّ اللَّهَ يَتَجَاوَزُ عَنَّا. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: قَدْ تَجَاوَزْتُ عَنْكَ
“Sesungguhnya terdapat seorang laki-laki yang belum pernah berbuat kebaikan sama sekali, dan dia biasa memberikan hutang kepada orang-orang. Kemudian dia berkata kepada utusannya; “Ambillah apa yang mudah dan tinggalkan apa yang sulit dan maafkan semoga Allah ta’ala mengampuni kita.” Kemudian tatkala dia meninggal, Allah ‘azza wajalla berfirman kepadanya: “Apakah engkau pernah mengerjakan kebaikan?” Dia berkata; “Tidak, hanya saja saya memiliki seorang pembantu dan saya biasa memberikan hutang kepada orang-orang kemudian apabila saya mengutusnya untuk menagih hutang, saya katakan kepadanya; ‘Ambillah apa yang mudah dan tinggalkan apa yang sulit dan maafkan, semoga Allah memaafkan kita.” Allah ta’ala berfirman: sungguh Aku telah memaafkanmu.”([10])
Meringankan beban orang yang berutang merupakan amal yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Oleh karenanya barangsiapa yang memberikan kemudahan bagi orang-orang yang terlilit hutang, maka Allah akan mudahkan urusannya di akhirat.
Hadits lain yang menunjukkan bahwa membantu orang lain adalah ibadah yang sangat mulia adalah sabda nabi ﷺ,
وَإِنَّ صَنَائِعَ الْمَعْرُوفِ تَقِي مَصَارِعَ السَّوْءِ
“Berbuat kebajikan (kepada orang lain) melindungi pelakunya dari mendapatkan kesudahan buruk.”([11])
Mungkin terkadang kita mendengar ada orang yang meninggal dalam keadaan yang buruk (suul khatimah), maka jika seseorang ingin terhindar dari su’ul khatimah hendaknya dia senantiasa berbuat baik kepada orang lain.
Kemudian nabi ﷺ juga bersabda,
كُلُّ امْرِئٍ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ حَتَّى يُفْصَلَ بَيْنَ النَّاسِ
“Setiap orang akan berada di bawah naungan sedekahnya (pada hari kiamat) hingga perkara di antara manusia diputuskan.”([12])
Tatkala manusia dibangkitkan di padang mahsyar dengan jarak matahari yang hanya berjarak satu mil dari ubun-ubun, maka masing-masing orang akan dinaungi oleh sedekahnya. Maka jika sedekah yang banyak dan banyak membantu orang lain, maka sedekah tersebut akan menaunginya dari teriknya matahari pada hari itu.
Kemudian juga disebutkan dari Abu Musa Al-Asy’ari,
إِذْ جَاءَ رَجُلٌ يَسْأَلُ، أَوْ طَالِبُ حَاجَةٍ، أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ فَقَالَ: «اشْفَعُوا فَلْتُؤْجَرُوا، وَلْيَقْضِ اللَّهُ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ مَا شَاءَ
“Apabila ada seorang laki-laki datang kepada beliau untuk suatu keperluan atau meminta suatu kebutuhan, maka beliau akan menghadapkan wajahnya kepada kami, lalu beliau bersabda: ‘Berikanlah pertolongan agar kalian saling memperoleh pahala dan semoga Allah melaksanakan apa yang disenangi-Nya melalui ucapan nabi-Nya’.”([13])
Di dalam hadits ini Rasulullah ﷺ mengisyaratkan bahwasanya membantu dengan berbagai macam cara seperti dengan bantuan harta atau dengan syafaat. Dan dengan syafaat sangat banyak yang bisa dilakukan. Allah ﷻ berfirman,
مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُنْ لَهُ نَصِيبٌ مِنْهَا )85(
“Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) dari padanya.” (QS. An-Nisa’ : 85)
Bagaimana maksud syafaat? Maksudnya adalah Anda bisa membantu orang lain dengan kedudukan yang Anda miliki. Misalnya Anda adalah seorang pejabat atau orang berpengaruh lagi terpadang, kemudian menuliskan memo agar orang yang membacanya itu membantu si fulan dalam perkara yang baik. Maka yang seperti ini adalah syafaat yang baik. Jika Anda tidak memiliki kedudukan yang berpengaruh, maka Anda bisa melaporkan kepada orang yang bisa membantu. Adapun tentang hasilnya orang tersebut bisa membantu si fulan atau tidak, maka Anda tetap mendapatkan pahala di sisi Allah ﷻ, terlepas berhasil atau tidaknya usaha tersebut.
Dari sini kemudian kita ketahui bahwa membantu orang lain adalah ibadah yang sangat agung. Dalil yang menunjukkannya sangat banyak baik dalil-dalil dari Alquran maupun hadits. Satu hal yang sangat penting tatkala kita membantu orang lain, kita harus ingat bahwasanya kebaikan orang yang kita bantu kepada kita itu lebih banyak daripada apa yang kita berikan kepada orang tersebut. Hal ini perlu untuk kita tanamkan agar kita tidak ujub tatkala membantu orang lain. Hal ini perlu ditanamkan agar kita tidak merasa bahwa orang tersebut berhutang budi terhadap kita. Kita harus menyadari bahwasanya kesempatan yang diberikan oleh Allah ﷻ kepada kita untuk berbuat baik kepada orang yang kesusahan adalah kebaikan yang sangat banyak. Karena dengan membantu mereka, maka akan sangat banyak ganjaran yang kita dapatkan, baik itu pahala, kebaikan-kebaikan di dunia maupun di akhirat, serta kemudahan-kemudahan yang akan kita dapatkan. Bukankah ketika kita berbuat baik, kita akan dicintai oleh Allah ﷻ? Allah ﷻ telah berfirman,
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (195)
“Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah : 195)
Sedangkan orang yang kita bantu hanya mendapatkan bantuan kita dana rasa senang atas bantuan kita. Maka yang demikian tentunya lebih sedikit daripada kebaikan-kebaikan yang kita dapatkan tatkala kita membantu orang lain.
Kemudian orang-orang yang senantiasa bersedekah juga akan diganti sedekahnya oleh Allah ﷻ di dunia. Nabi ﷺ bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ{(
“Sedekah itu tidak akan mengurangi harta.”([14])
Al-Baji seorang ulama dari kalangan mazhab Malikiyyah mengatakan bahwa kalau seseorang bersedekah maka hartanya akan bertambah. Bahkan dalam sebuah riwayat malaikat mendoakan orang-orang yang bersedekah. Nabi ﷺ bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ العِبَادُ فِيهِ، إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ، فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا، وَيَقُولُ الآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
“Tidak ada suatu hari pun ketika seorang hamba melewati paginya kecuali akan turun (datang) dua malaikat kepadanya lalu salah satunya berkata; “Ya Allah berikanlah pengganti bagi siapa yang menginfakkan hartanya”, sedangkan yang satunya lagi berkata; “Ya Allah berikanlah kehancuran (kebinasaan) kepada orang yang menahan hartanya (bakhil)’.”([15])
Dan Allah ﷻ telah berfirman dalam hadits qudsi,
أَنْفِقْ يَا ابْنَ آدَمَ أُنْفِقْ عَلَيْكَ
“Wahai Anak cucu Adam berinfaklah, niscaya Aku akan berinfak kepada kalian.”([16])
Dan ingatlah bahwasanya Allah ﷻ menamakan sedekah kita yang kita keluarkan sebagai pinjaman, yang seakan-akan Allah berhutang kepada orang-orang yang bersedekah. Allah ﷻ berfirman,
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (245)
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah : 245)
Allah ﷻ menamakan sedekah yang kita keluarkan sebagai pinjaman agar kita yakin bahwasanya yang meminjam itu adalah Allah Yang Maha Kaya, sehingga pasti akan diganti oleh Allah ﷻ. Ketika kita punya seorang teman yang kaya kemudian hendak meminjam uang kepada kita, bukankah kisa pasti memberikannya pinjaman karena kita yakin dia bisa mengembalikannya? Maka tentulah jika yang meminjam adalah Allah ﷻ yang Maha Kaya, maka pasti akan diberi ganti di dunia sebelum di akhirat. Oleh karenanya di antara bentuk suuzan (berburuk sangka) seorang hamba kepada Allah ﷻ adalah menyangka bahwa berbuat baik kepada orang lain hanya akan mendapatkan ganjaran di akhirat. Ketahulah bahwa anggapan seperti ini adalah anggapan yang keliru, karena membantu orang lain di dunia ganjarannya adalah kebaikan-kebaikan di dunia sebelum kebaikan-kebaikan di akhirat. Di antara kebaikan-kebaikan di dunia yang didapatkan oleh orang yang membantu orang lain adalah Allah ﷻ memberikan kebahagiaan kepadanya. Orang yang membantu orang lain akan merasakan tenteram di dalam hatinya. Oleh karenanya Rasulullah ﷺ bersabda,
مَثَلُ البَخِيلِ وَالمُنْفِقِ كَمَثَلِ رَجُلَيْنِ عَلَيْهِمَا جُبَّتَانِ مِنْ حَدِيدٍ مِنْ ثُدِيِّهِمَا إِلَى تَرَاقِيهِمَا، فَأَمَّا المُنْفِقُ فَلاَ يُنْفِقُ إِلَّا سَبَغَتْ أَوْ وَفَرَتْ عَلَى جِلْدِهِ، حَتَّى تُخْفِيَ بَنَانَهُ وَتَعْفُوَ أَثَرَهُ، وَأَمَّا البَخِيلُ فَلاَ يُرِيدُ أَنْ يُنْفِقَ شَيْئًا إِلَّا لَزِقَتْ كُلُّ حَلْقَةٍ مَكَانَهَا، فَهُوَ يُوَسِّعُهَا وَلاَ تَتَّسِعُ صحيح البخاري (2/ 115)
“Perumpamaan orang yang bakhil (orang pelit bersedekah) dengan munfiq (orang yang suka berinfak) seperti dua orang yang masing-masing mengenakan baju jubah terbuat dari besi yang hanya menutupi buah dada hingga tulang selangka keduanya. Adapun orang yang suka berinfak, tidaklah dia berinfak melainkan bajunya akan melonggar atau menjauh dari kulitnya hingga akhirnya menutupi seluruh badannya sampai kepada ujung kakinya. Sedangkan orang yang bakhil, setiap kali dia tidak mau berinfak dengan suatu apa pun maka baju besinya akan menyempit sehingga menempel ketat pada setiap kulitnya dan ketika dia mencoba untuk melonggarkannya maka dia tidak dapat melonggarkannya.”([17])
Dan sebuah kaidah menyebutkan,
الجزاءُ مِنْ جِنْسِ العملِ
“Balasan itu sesuai dengan perbuatan.”
Sehingga jika seseorang memasukkan kebahagiaan ke dalam hati orang lain, maka dia pasti akan dibahagiakan oleh Allah ﷻ. Oleh karenanya orang yang paling bahagia adalah orang yang paling sering membantu orang lain yang niatnya ikhlas karena Allah ﷻ.
Oleh karenanya tatkala kita memberi bantuan kepada orang lain, sesungguhnya kebaikan orang tersebut kepada kita jauh lebih banyak daripada kebaikan yang kita berikan kepada orang tersebut baik itu kebaikan di dunia maupun di akhirat. Dan dalil-dalil akan kebaikan yang akan didapatkan oleh orang-orang yang memberi bantuan sangatlah banyak di antaranya yang telah disebutkan sebelumnya, dan di antaranya yang lain adalah firman Allah ﷻ,
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (261)
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 261)
Oleh karenanya orang yang membantu itu lebih beruntung daripada orang yang dibantu. Orang-orang yang dibantu hanya akan merasakan bantuan yang dia dapatkan. Jika mereka diberi makan, maka manfaat yang dia dapatkan hanyalah kenyang. Akan tetapi bagi orang yang membantu mendapatkan berbagai balasan yang sangat luar biasa. Dan sebagaimana telah disebutkan bahwa orang yang senantiasa berinfak tidak akan berkurang hartanya. Di antara dalil yang menunjukkan akan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ لِلَّهِ عَبَّادًا اخْتَصَّهُمْ بِالنِّعَمِ لِمَنَافِعِ الْعِبَادِ، يُقِرُّهُمْ فِيهَا مَا بَذَلُوهَا، فَإِذَا مَنَعُوهَا نَزَعَهَا مِنْهُمْ، فَحَوَّلَهَا إِلَى غَيْرِهِمْ
“Sesungguhnya Allah memiliki hamba yang dikhususkan dengan diberikan nikmat karena memberikan manfaat kepada hamba-hamba yang lain, dan Allah terus memberikan nikmat selama dia senantiasa melakukannya (membantu orang lain). Apabila dia pelit, maka akan dicabut nikmat tersebut dari mereka, sehingga Allah memindahkannya kepada yang lain.”([18])
Maka di antara cara agar kita mempertahankan nikmat yang Allah ﷻ berikan kepada kita adalah dengan cara menyalurkan nikmat tersebut kepada orang lain. Sehingga selama kita senantiasa membantu orang lain, maka Allah ﷻ akan senantiasa memberikan nikmat kepada kita. Ada sebuah kisah yang diceritakan salah seorang guru saya tatkala di Madinah, bahwa ada seseorang yang setiap kali dia mendapatkan nikmat, maka dia memberikannya kepada orang lain. Sampai suatu hari dia diberikan hadiah kepada orang lain. Tidak lama kemudian dia pun memberikan hadiah itu kepada orang lain. Kemudian orang yang awalnya memberi hadiah bertanya tentang alasan dia melakukannya, kemudian orang tersebut berkata bahwa itulah kebiasaannya yaitu setiap kali Allah ﷻ memberikan nikmat kepadanya, maka dia pun memberikannya kepada orang lain, dan dia tidak ingin merubah kebiasaan Allah terhadapnya dengan menahan apa yang dia miliki.
Di akhir pembahasan ini saya ingin sampaikan bahwa tatkala kita berbuat baik kepada orang lain, maka yakinlah bahwasanya orang yang kita bantu lebih banyak memberikan manfaat kepada diri kita daripada manfaat yang kita berikan kepadanya. Oleh karenanya sebagian para salaf merasa bahwa jika tidak ada orang yang bisa dia bantu adalah sebuah musibah. Dari Hakim bin Hizam berkata,
مَا أَصْبَحْتُ وَلَيْسَ بِبَابِي صَاحِبُ حَاجَةٍ، إِلاَّ عَلِمْتُ أَنَّهَا مِنَ المَصَائِبِ الَّتِي أَسْأَلُ اللهَ الأَجْرَ عَلَيْهَا
“Tidaklah aku tatkala di pagi hari dan tidak ada orang yang mengetuk pintu meminta bantuan kecuali aku mengetahui bahwa hal itu adalah bagian dari musibah.”([19])
Lihatlah bagaimana Hakim bin Hizam yang tatkala dia tidak bisa membantu orang lain, maka dia menganggap hal tersebut adalah sebuah musibah baginya. Maka tengoklah, sudah berapa lama kita sudah tidak membantu orang lain? Sudah berapa lama kita tidak berinfak di jalan Allah ﷻ? Maka jika kita telah melalui waktu yang lama dan tidak melakukan itu semua maka itu adalah musibah. Oleh karenanya kita bisa membantu orang lain itu adalah nikmat yang besar karena akan memberikan manfaat yang besar bagi diri kita.
Oleh karenanya dari penjelasan ini sangat jelas menunjukkan bahwa di antara ibadah yang sangat agung, bukan hanya ibadah kita kepada Allah ﷻ dari sisi ibadah maghdah, akan tetapi di antara ibadah yang mulia adalah dengan membantu orang lain baik itu dengan harta, tenaga, pikiran, syafaat, ilmu, pengarahan dan bimbingan, atau apa pun yang memberikan manfaat untuk kaum muslimin, itu adalah ibadah yang agung dan akan memberikan pahala yang besar di sisi Allah ﷻ.
Footnote:
________
([4]) HR. Thabrani no. 861 dalam Mu’jam Ash-Shaghir Litthabrani
([11]) HR. Ath-Tabhrani no. 8014 dalam Mu’jam Al-Kabiir Liththabrani
([12]) HR. Ahmad no. 17332, dan dikatakan oleh Syu’aib Al-Arnauth sanad hadits ini sahih.
([14]) HR. Muslim 4/2001 no. 2588
([18]) HR. Ath-Thabrani 5/228 no. 5162 dalam Mu’jam Al-Ausath