Fikih Seputar Ramadhan Terkait Covid 19
Oleh : Ustadz DR. Firanda Andirja Abidin, MA
(1) : Apa hukum menyalurkan dana masjid buat makanan faqir miskin?
Jawab : Asalnya seseorang yang memegang harta orang lain harus amanah. Pengumpul dana kedudukannya adalah wakil dari para donatur yang berkududukan sebagai muwakkil, maka wakil tidak boleh ia mengolah (menyalurkan) dana tersebut kecuali dengan tujuan yang telah ditentukan oleh para donatur (muwakkil). Jika tidak sesuai maka wakil harus dhomin (menjamin gantinya).
Maka dana yang dikumpulkan/dititipkan ada beberapa kondisi :
Pertama : Jika penggalangan dana bersifat umum maka boleh digunakan untuk keperluan apa saja yang bermanfaat.
Kedua : Jika penggalangan dana tidak bersifat umum, tapi para donatur sudah tahu bahwasanya biasanya penggalang dana menggunakannya untuk keperluan a,b,c, dan d (misalnya) maka tidak mengapa ia gunakan untuk keperluan a,b,c, dan d tersebut. Hal ini berdasarkan kaidah
الْمَعْرُوْفُ عُرْفًا كَالْمَشْرُوْطِ شَرْطًا
“Yang sudah diketahui perkaranya secara ‘urf maka sudah dianggap sebagai syarat, meskipun tidak tertuliskan”
Ketiga : Jika penggalangan dana karena tujuan khusus, seperti penggalangan dana untuk pembangunan masjid, atau untuk pembiayaan masjid, atau untuk membeli bantuan tertentu, atau untuk buka puasa, maka tidak boleh disalurkan di luar tujuan tersebut. Kecuali jika tidak mungkin lagi untuk disalurkan pada tujuan tersebut.
Misalnya pengumpulan dana untuk pembelian peralatan soundsystem di masjid, ternyata kebutuhan sudah tercukupkan, maka yang mungkin untuk dilakukan adalah :
- Jika diketahui para donaturnya maka bisa dikembalikan kepada para donatur.
- Jika tidak mau dikembalikan, maka bisa minta izin kepada para donatur (muwakkil) agar dananya bisa disalurkan kepada keperluan yang lain.
- Jika ternyata kedua perkara di atas tidak mungkin dilakukan maka hendaknya disalurkan ke masjid yang lain yang keperluannya serupa, yaitu pengadaan soundsistem. ()
- Jika tidak ada masjid yang memerlukan nya juga maka bisa digunakan untuk kebutuhan yang lain yang terbaik untuk keperluan masjid dan kaum muslimin. ()
(2) : Mendahulukan mengeluarkan zakat sebelum mencapai haul-nya.
Jumhur ulama (kecuali madzhab Maliki dan Dzohiri) membolehkan untuk menunaikan zakat -jika telah mencapai nishob- meskipun belum mencapai haul-nya.
Ibnu Taimiyyah berkata :
وَأَمَّا تَعْجِيلُ الزَّكَاةِ قَبْلَ وُجُوبِهَا بَعْدَ سَبَبِ الْوُجُوبِ فَيَجُوزُ عِنْدَ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ كَأَبِي حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَد. فَيَجُوزُ تَعْجِيلُ زَكَاةِ الْمَاشِيَةِ وَالنَّقْدَيْنِ وَعُرُوضِ التِّجَارَةِ إذَا مَلَكَ النِّصَابَ. وَيَجُوزُ تَعْجِيلُ الْمُعَشَّرَاتِ قَبْلَ وُجُوبِهَا إذَا كَانَ قَدْ طَلَعَ الثَّمَرُ قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهِ وَنَبَتَ الزَّرْعُ قَبْلَ اشْتِدَادِ الْحَبِّ. فَأَمَّا إذَا اشْتَدَّ الْحَبُّ وَبَدَا صَلَاحُ الثَّمَرَةِ وَجَبَتْ الزَّكَاةُ
“Adapun menyegerakan menunaikan zakat sebelum tiba waktu kewajibannya, setelah ada sebab kewajiban maka boleh menurut mayoritas ulama, seperti Abu Hanifah(), Asy-Syafií() dan Ahmad(). Maka boleh mendahulukan membayar zakat hewan ternak, zakat uang, zakat barang perdagangan jika telah mencapai nishob. Demikian juga boleh menyegerakan menunaikan zakat 1/10 jika buah telah nampak matangnya dan telah tumbuh pertanian sebelum kokohnya bijinya. Adapun jika telah kokoh (padat) bijinya dan telah matang buahnya maka telah wajib zakat” ()
Hal ini karena mencapai/memiliki nishob adalah sebab kewajiban dan mencapai haul adalah kewajibannya. Maka jika sebab wajib (yaitu memiliki nishob) telah terpenuhi maka boleh menunaikan zakat meskipun belum tiba kewajiban (yaitu mencapai haul) ().
Jadi nishob adalah sebab kewajiban akan tetapi seseorang yang memiliki nishob ia masih belum wajib untuk membayar zakat kecuali jika telah mencapai haul. Disyaratkannya haul untuk mewajibkannya adalah bentuk kemudahan baginya. Namun jika ia menggugurkan kemudahan tersebut dan ingin membayar terlebih dahulu meski belum wajib maka tidak mengapa()
Dalil bolehnya, dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِعُمَرَ: إِنَّا قَدْ أَخَذْنَا زَكَاةَ العَبَّاسِ عَامَ الأَوَّلِ لِلْعَامِ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu álaihi wasallam berkata kepada Umar : Sesungguhnya kami telah mengambil zakatnya al-Ábbas di awal tahun untuk tahun ini” (HR At-Tirmidzi no 679) ()
(3) Mendahulukan membayar zakat fitrah di awal bulan Ramadhan
Para ulama (kecuali Daud adz-Dzohiri()) membolehkan untuk membayar zakat fithrah sehari atau dua hari sebelum lebaran. Hal ini berdasarkan amalan Ibnu Umar dan dzohir amal para sahabat.
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا «يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا، وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ»
“Adalah Ibnu Umar radhiallahu ánhumaa memberikan zakat fithrah kepada orang-orang yang menerimanya, dan mereka (para sahabat) memberi (zakat al-Fithr) sehari atau dua hari sebelum lebaran” ()
Namun jika dibayar di awal bulan Ramadhan? Maka ada dua pendapat di kalangan para ulama.
Pertama : Hal ini dibolehkan, ini adalah pendapat Al-Hanafiyah() dan Asy-Syafiíyah()
Mereka berdalil dengan dua dalil :
- Berdasarkan kaidah “Bolehnya melakukan ibadah jika telah ada sebabnya meskipun belum tiba waktu wajibnya” (sebagaimana telah kita sebutkan pada pembahasan bolehnya membayar zakat harta sebelum haul jika telah ada sebabnya yaitu nishob). Menurut mereka Zakat al-Fithr berkaitan dengan 2 sebab, puasa dan berbuka di akhir bulan Ramadhan. Jika sudah ada salah satu dari dua sebab maka boleh ditunaikan zakat al-Fithr().
- Sebagaimana boleh dikeluarkan sehari dan dua hari sebelum lebaran maka demikian pula boleh sebelumnya lagi, selama di bulan Ramadhan().
Kedua : Hal ini tidak dibolehkan, ini adalah pendapat Malikiyah() dan Hanabilah()
Mereka berdalil dengan tiga perkara() :
- Yang lebih tepat bahwasanya sebab wajibnya zakat al-Fithr bukanlah puasa akan tetapi adalah al-Fithr (berbuka) yang hal ini terjadi pada maghrib hari terakhir bulan Ramadha. Karenanya Nabi shallallahu álaihi wasallam menamakannya dengan nama zakat al-Fithr. Hal ini berbeda dengan zakat al-maal (harta) yang sebab wajibnya adalah memiliki nishob, karena mengqiaskan zakat al-Fithr dengan zakat al-Maal dalam hal ini adalah qias yang tidak tepat.
- Tujuan dari zakat al-Fithr adalah memberi kecukupan bagi orang-orang miskin pada hari lebaran. Nabi shallallahu álaihi wasallam setelah membagi zakat al-Fithr, beliau berkata :
أَغْنُوهُمْ عَنِ طَّوَافِ هَذَا الْيَوْمِ
“Cukupkanlah mereka sehingga tidak perlu keliling (mencari makan) pada hari ini” ()
Namun hadits ini dhoíf.
Namun meskipun hadits ini dhoíf akan tetapi para ulama menjelaskan bahwa tujuan dari zakat al-Fithr adalah agar orang-orang miskin bisa makan dan tidak kelaparan pada hari lebaran.
- Inilah yang dipahami oleh para sahabat sehingga mereka hanya membayar zakat Fithr pada pagi hari lebaran, atau sehari sebelumnya atau dua hari sebelumnya. Karena inilah yang memungkinkan untuk mencapai tujuan tersebut. Jika dibayar pada hari pertama bulan Ramadhan maka hilanglah makna dari tujuan zakat al-Fithr.
Oleh karenanya penulis lebih condong pada pendapat kedua, Wallahu a’lam.
(4) Bolehkah meninggalkan puasa jika positif covid 19?
Tentu jika seseorang telah positif terkena covid 19 maka ia boleh tidak berpuasa, hal ini karena diantara orang yang boleh tidak berpuasa adalah orang sakit. Allah berfirman :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS Al-Baqoroh : 184)
Jika penyakit ringan saja membolehkan seseorang untuk tidak berpuasa karena dikawatirkan penyakitnya bertambah parah, maka apatah lagi penyakit mematikan seperti covid 19.
Jika kondisi orang tersebut dalam kondisi sehat (Yaitu berstatus OTG Orang Tanpa Gejala) meskipun positif covid 19 dan ia merasa kuat untuk berpuasa maka hendaknya ia konsultasi kepada dokter yang amanah dan terpercaya, jika memang puasa membahayakan kesehatannya maka boleh baginya untuk tidak berpuasa.
Adapun seseorang dalam status ODP (Orang Dalam Pemantauan) maka hukumnya berbeda. Seseorang dinyatakan ODP bisa diantaranya dengan dua hal :
Pertama : Dinyatakan ODP karena tinggal di daerah penularan virus atau pernah mengunjungi daerah tersebut. Maka jika tidak ada tanda-tanda sakit maka ia tetap wajib berpuasa. Karena berdasarkan sebab kedua ini maka semua penduduk Jakarta yang sehat termasuk ODP, dan tidak mungkin kita mengatakan semua penduduk Jakarta boleh tidak berpuasa.
Kedua : Dinyatakan sebagai ODP karena memiliki gejala ringan seperti memiliki gejala panas badan ringan atau gangguan saluran pernapasan ringan maka ia boleh tidak berpuasa, karena ia telah tergolong sebagai orang yang sakit.
Adapun bagi petugas medis maka jika mereka dalam kondisi sehat mereka tidak boleh meninggalkan puasa, kecuali mereka sakit baru boleh meninggalkan puasa. Demikian juga jika memang menurut pakar bahwasanya kondisi mereka berpuasa sambil merawat pasian covid menyebabkan kondisi mereka berbahaya dan mengancam nyawa mereka maka boleh bagi mereka untuk berbuka. Akan tetapi hal ini harus benar-benar berdasarkan pernyataan para ahli, apakah benar puasa mempengaruhi imun tubuh atau tidak. Diantara sebab para ulama membolehkan bagi wanita menyusui dan hamil untuk tidak berpuasa antara lain bisa jadi karena takut akan kondisi janinnya meskipun kondisi sang ibu (wanita) sehat. Maka apalagi jika kawatir dengan kondisinya sendiri yang bisa berdampak pada kematian. Wallahu a’lam.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :
وَالصَّحِيحُ الَّذِي يَخْشَى الْمَرَضَ بِالصِّيَامِ، كَالْمَرِيضِ الَّذِي يَخَافُ زِيَادَتَهُ فِي إبَاحَةِ الْفِطْرِ؛ لِأَنَّ الْمَرِيضَ إنَّمَا أُبِيحَ لَهُ الْفِطْرُ خَوْفًا مِمَّا يَتَجَدَّدُ بِصِيَامِهِ، مِنْ زِيَادَةِ الْمَرَضِ وَتَطَاوُلِهِ، فَالْخَوْفُ مِنْ تَجَدُّدِ الْمَرَضِ فِي مَعْنَاهُ. قَالَ أَحْمَدُ فِي مَنْ بِهِ شَهْوَةٌ غَالِبَةٌ لِلْجِمَاعِ، يَخَافُ أَنْ تَنْشَقَّ أُنْثَيَاهُ، فَلَهُ الْفِطْرُ
“Orang yang sehat yang khawatir sakit jika berpuasa maka hukumnya seperti orang sakit yang takut (jika berpuasa) bertambah sakit, yaitu boleh untuk berbuka. Hal ini karena orang sakit diperbolehkan untuk berbuka karena khawatir timbul sesuatu (penyakit) yang baru akibat puasa, baik bertambah parah sakitnya atau semakin lama sakitnya. Maka demikian juga sama maknanya dengan (orang sehat) yang khawatir dengan munculnya penyakit baru. Imam Ahmad berkata tentang orang yang syahwatnya tinggi untuk berjimak dan ia khawatir kedua testisnya robek maka ia boleh berbuka” ()
(5) Terkait shalat Tarawih
Ibnu Rojab berkata :
وَاعْلَمْ أَنَّ الْمُؤْمِنَ يَجْتَمِعُ لَهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ جِهَادَانِ لِنَفْسِهِ: جِهَادٌ بِالنَّهَارِ عَلَى الصِّيَامِ وَجِهَادٌ بِاللَّيْلِ عَلَى الْقِيَامِ، فَمَنْ جَمَعَ بَيْنَ هَذَيْنِ الْجِهَادَيْنِ وَوَفَّى بِحُقُوْقِهِمَا وَصَبَرَ عَلَيْهِمَا وُفِّيَ أَجْرُهُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Ketahuilah bahwasanya di bulan Ramadhan terkumpul pada seorang mukmin dua jihad an-nafs, jihad di siang hari untuk berpuasa, dan jihad di malam hari dengan shalat malam. Maka siapa yang menggabungkan antara dua jihad ini dan menunaikan hak keduanya serta bersabar dalam menjalani keduanya maka pahalanya akan dipenuhi tanpa hisab” ()
Berikut ini permasalahan-permasalahan yang terkait denga shalat tarawih :
Pertama : Boleh shalat tarawih di rumah
Adapun mengadakan shalat tarawih berjamaah di rumah maka hal ini boleh secara umum terlebih lagi dalam kondisi covid 19.
An-Nawawi berkata :
فَصَلَاةُ التَّرَاوِيحِ سُنَّةٌ بِإِجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ … وَتَجُوزُ مُنْفَرِدًا وَجَمَاعَةً
“Maka shalat tarawih sunnah berdasarkan ijmak ulama…dan boleh shalat tarawih dikerjakan sendirian dan berjamaáh” ()
Shalat tarawih di rumah baik bersendirian atau berjamaáh bersama keluarga adalah perkara yang diperbolehkan, hanya saja dahalu para salaf kawatir kalau semua orang shalat tarawih di rumah maka masjid akan terbengkalai dan syi’ar shalat tarawih di masjid akan pudar.
Al-Laits bin Saád (wafat 175 H) berkata
لَوْ أَنَّ النَّاسَ كُلَّهُمْ قَامُوا فِي رَمَضَانَ لِأَنْفُسِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ حَتَّى يُتْرَكَ الْمَسْجِدُ لَا يَقُومُ فِيهِ لَكَانَ يَنْبَغِي أَنْ يَخْرُجُوا إِلَى الْمَسْجِدِ حَتَّى يَقُومُوا فِيهِ فِي رَمَضَانَ لِأَنَّ قِيَامَ رَمَضَانَ مِنَ الْأَمْرِ الَّذِي لَا يَنْبَغِي لِلنَّاسِ تَرْكُهُ وَهُوَ مِمَّا سَنَّ عُمَرُ لِلْمُسْلِمِينَ وَجَمَعَهُمْ عَلَيْهِ، وَأَمَّا إِذَا كَانَتِ الْجَمَاعَةُ قَدْ قَامَتْ فِي الْمَسْجِدِ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ فِي بَيْتِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ
“Seandainya orang-orang seluruhnya di bulan Ramadhan shalat malam sendiri atau bersama keluarga mereka hingga ditinggalkan masjid sehingga tidak ditegakan shalat tarawih di masjid, tentu yang seharusnya adalah mereka keluar ke masjid hingga mereka shalat tarawih di masjid ketika bulan Ramadhan. Karena shalat tarawih di bulan Ramadhan merupakan perkara yang hendaknya tidak ditinggalkan oleh masyarakat, dan itu merupakan perkara yang disunnahkan oleh Umar untuk kaum muslimin, dan Umar mengumpulkan kaum muslimin untuk melaksanakannya.
Adapun jika jamaáh (shalat tarawih) telah tegak di masjid maka tidak mengapa seseorang shalat sendirian di rumahnya dan bersama keluarganya” ()
Kedua : Mana yang lebih baik shalat sendiri di rumah atau berjamaáh dengan keluarga?
Sebelumnya para ulama berselisih mana yang lebih afdhol shalat tarawih berjamaáh di masjid atau shalat sendirian di rumah. Sebagian ulama memandang shalat tarawih berjamaáh di masjid di Bulan Ramadhan lebih afdol dibandingkan shalat sendirian di rumah, karena itulah yang dipraktikan oleh Umar bin al-Khottob yang mengumpulkan orang-orang untuk shalat tarawih di al-Masjid an-Nabawi di-imami oleh Ubay bin Kaáb. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Syafiah, dan Hanabilah. Mereka berdalil dengan hadits berikut :
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِىَ سَبْعٌ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ. قَالَ فَقَالَ «إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ».
Abu Dzar berkata: Kami berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah, beliau tidak melakukan qiyam ramadhan pun kecuali tersisa 7 hari, beliau pun mengimami shalat kami hingga lewat sepertiga malam, lalu ketika tersisa 6 hari, beliau tidak shalat bersama kami, dan ketika tersisa 5 hari beliau shalat mengimami kami hingga lewat setengah malam, lalu aku bertanya: wahai Rasulullah, sekiranya engkau tambahi shalat lagi sisa malam ini, maka beliau mengatakan “Sesungguhnya jika seorang shalat bersama imam sampai selesai maka dihitung shalat semalam”. ()
Ini konteksnya shalat tarawih di bulan Ramadhan.
Adapun Malikiyah maka mereka berpendapat bahwa shalat sendirian di rumah lebih afdol daripada shalat tarawih berjamaah di masjid(), mereka berdalil dengan hadits berikut :
عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّخَذَ حُجْرَةً فِي المَسْجِدِ مِنْ حَصِيرٍ (وفي رواية : في رمضان)، فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا لَيَالِيَ حَتَّى اجْتَمَعَ إِلَيْهِ نَاسٌ، ثُمَّ فَقَدُوا صَوْتَهُ لَيْلَةً، فَظَنُّوا أَنَّهُ قَدْ نَامَ، فَجَعَلَ بَعْضُهُمْ يَتَنَحْنَحُ لِيَخْرُجَ إِلَيْهِمْ، فَقَالَ: «مَا زَالَ بِكُمُ الَّذِي رَأَيْتُ مِنْ صَنِيعِكُمْ، حَتَّى خَشِيتُ أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْكُمْ، وَلَوْ كُتِبَ عَلَيْكُمْ مَا قُمْتُمْ بِهِ، فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ، فَإِنَّ أَفْضَلَ صَلاَةِ المَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلاَةَ المَكْتُوبَةَ»
Dari Zaid bin Tsabit bahwasanya Nabi shallallaahu álaihi wasallam membuat ruangan kecil di masjid dari sajadah di bulan Ramadhan. Lalu Rasulullah shallallahu álaihi wasallam shalat di situ beberapa malam hingga orang-orangpun berkumpul kepada beliau. Kemudian pada suatu malam mereka tidak mendengar suara beliau, maka mereka menyangka beliau telah tidur, maka sebagian mereka berdehem agar beliau keluar kepada mereka. Maka Nabi shallallaahu álaihi wasallam berkata, “Kalian masih melakukan apa yang aku lihat dari sikap kalian hingga aku kawatir akan diwajibkan atas kalian. Kalau diwajibkan (shalat tarawih) atas kalian maka kalian tidak bisa melaksanakan. Maka hendaknya kalian shalat di rumah-rumah kalian, karena sesungguhnya shalat seseorang yang terbaik adalah di rumahnya kecuali shalat fardu” ()
Dan ini juga konteksnya di bulan Ramadhan, akan tetapi Nabi tetap menyuruh para sahabat untuk shalat di rumah-rumah mereka().
Namun penulis memilih pendapat yang lebih tengah (menurut pendapat penulis) yaitu bahwasanya hukum asal seseorang yang pandai membaca al-Qurán (dan memiliki hapalan al-Qurán) hendaknya ia shalat di rumah sendiri sehingga bisa lebih khusyu’ dan lebih lama, serta bisa shalat di akhir malam. Selain itu shalat malam asalnya adalah untuk berkhalwat dengan Allah. Inilah yang dipraktikan oleh sebagian sahabat seperti Ibnu Umar radhiallahu ánhu(), dan juga diikuti oleh sebagian ulama seperti Robiáh dan Imam Malik(). Kecuali jika keberadaannya diperlukan di masjid karena jarang yang hafal al-Qurán atau ia adalah teladan bagi masyarakat jika ia ke masjid maka banyak yang meneladaninya, maka sebaikanya ia shalat di masjid demi kemaslahatan umum. Atau ia menggabungkan keduanya, terkadang ia shalat di rumah dan terkadang shalat bersama jamaáh di masjid, dan inilah yang dilakukan oleh Umar bin al-Khottob(). Wallahu a’lam
Adapun kondisi kita sekarang yang tidak bisa shalat tarawih berjamaáh di masjid, maka jika seseorang nyaman shalat sendirian dan anggota rumah juga pada bisa shalat sendiri-sendiri maka itu lebih baik baginya dan bagi mereka, sehingga masing-masing bisa lebih khusu’ dan lebih lama shalat malamnya. Akan tetapi jika anggota keluarga tidak pandai baca al-Qurán serta bermalas-malasan dalam shalat malam, maka hendaknya ia shalat bersama keluarga agar mereka juga semangat shalat malam, sehingga kemaslahatan bersama lebih diutamakan dari kemasalahatan pribadi. Jika setelah itu ia ingin shalat sendiri maka tidaklah mengapa. Semoga dengan menegakan shalat tarawih berjamaah di rumah juga mendapatkan keutamaan shalat semalam suntuk, karena udzur pandemi yang ada.
Ketiga : Hukum membuka mushaf atau membaca al-Qurán melalui HP ketika shalat malam.
Tentunya hukum asal adalah seseorang shalat dengan membaca dari hapalannya. Demikian juga yang menjadi imam yang paling banyak hapalannya, itulah yang menjadi barometer. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ;
وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا
“Hendaknya yang mengimami kalian yang paling banyak hafalan al-Qurán-nya” ()
Allah memuji orang-orang beriman yang menghafal al-Qur’an. Allah berfirman :
بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ
Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. (QS al-Ánkabut : 49)
Namun jika dibutuhkan oleh Imam (atau seorang yang shalat senidiri/munfarid) untuk membaca dari mushaf atau Hp maka hukumnya boleh. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ánhaa. Al-Imam Al-Bukhari berkata :
وَكَانَتْ عَائِشَةُ: «يَؤُمُّهَا عَبْدُهَا ذَكْوَانُ مِنَ المُصْحَفِ»
“Dan Aisyah di-imami oleh budaknya, yaitu Dzakwan dengan membaca dari mushaf” ()
Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa hal itu di bulan Ramadhan () .
Az-Zuhri (wafat 124 H) berkata :
كَانَ خِيَارُنَا يَقْرَءُونَ فِي الْمَصَاحِفِ فِي رَمَضَانَ
“Orang-orang terbaik diantara kami membaca (dalam shalat mereka) dari mushaf al-Qurán di bulan Ramadhan” ()
Meskipun dalam melihat mushaf ada gerakan tambahan dalam shalat akan tetapi gerakan tersebut sedikit lagi pula gerakan tersebut untuk kemaslahatan shalat.
Dengan demikian tidak mengapa ketika di rumah shalat tarawih berjamaáh bersama dengan imam yang melihat mushaf. Atau seseorang shalat tarawih sendirian sambil melihat mushaf atau HP.
Namun perlu diingat adapun makmum tidak perlu melihat ke mushaf karena ia tidak memiliki kebutuhan untuk melihat mushaf, kewajibannya adalah mendengar bacaan imam. Bahkan tidak perlu melihat mushaf meskipun tujuannya adalah untuk membenarkan imam, apalagi hanya untuk mengikuti bacaan imam().
(6) Shalat íed di rumah?
Jumhur úlama berpendapat disyariátkannya shalat íed bagi wanita, budak, orang sakit, dan musafir meskipun sendirian dan tidak dirumah.
Al-Imam Al-Bukhari berkata :
بَابٌ: إِذَا فَاتَهُ العِيدُ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، وَكَذَلِكَ النِّسَاءُ، وَمَنْ كَانَ فِي البُيُوتِ وَالقُرَى، لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَذَا عِيدُنَا أَهْلَ الإِسْلاَمِ» وَأَمَرَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ مَوْلاَهُمْ ابْنَ أَبِي عُتْبَةَ بِالزَّاوِيَةِ فَجَمَعَ أَهْلَهُ وَبَنِيهِ، وَصَلَّى كَصَلاَةِ أَهْلِ المِصْرِ وَتَكْبِيرِهِمْ وَقَالَ عِكْرِمَةُ: «أَهْلُ السَّوَادِ يَجْتَمِعُونَ فِي العِيدِ، يُصَلُّونَ رَكْعَتَيْنِ كَمَا يَصْنَعُ الإِمَامُ» وَقَالَ عَطَاءٌ: «إِذَا فَاتَهُ العِيدُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ»
“Bab : Jika seseorang terluput dari shalat íed maka ia shalat dua rakaát, demikian juga para wanita, dan orang-orang yang ada di rumah-rumah dan juga di kampung-kampung. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu álaihi wasallam, “Ini adalah adalah íed (hari raya) kita kaum muslimin” (). Anas bin Malik memerintahkan budaknya Ibnu Abi Útbah di Az-Zawiyah(), maka beliaupun mengumpulkan keluarganya dan anak-anaknya dan shalat seperti shalat orang-orang di kota dan sesuai dengan takbir mereka” (). Íkrimah berkata, “Penduduk kampung (demikian juga para petani) berkumpun tatkala íed, lalu mereka shalat dua rakaát sebagaimana yang dilakukan oleh penguasa (yang shalat íed di kota)”. Áthoo berkata, “Jika seseorang luput dari shalat íed maka ia shalat dua rakaát” ()
Atsar Anas bin Malik di atas, dan juga atsar-atsar para tabiín dijadikan dalil oleh Jumhur (mayoritas) ulama bahwasanya barang siapa yang terluput dari shalat íed, maka hendaknya ia mengqodho’nya. Yaitu ia mengqodho’ nya dengan shalat dua rakaát dan bertakbir sebagaimana shalat íed biasanya. Namun tidak perlu khutbah setelah shalat. Wallahu a’lam().
Ceger, 18 April 2020 (25 Sya’ban 1441 H)