Wajib-wajib shalat
Wajib-wajib shalat adalah hal-hal yang harus dikerjakan ketika shalat. jika wajib-wajib shalat ditinggalkan secara sengaja maka shalatnya batal, namun jika ditinggalkan karena lupa maka dia melakukan sujud sahwi (sujud yang dikerjakan, sebab luput mengerjakan hal-hal yang wajib dalam shalat). ([1])
1- Takbir Intiqal (تَكْبِيْرُ الاِنْتِقَالِ)
Pengertian
Takbir Intiqal adalah semua takbir yang ada di dalam shalat selain takbiratul ihram diucapkan ketika berpindah dari satu rukun kepada rukun yang lain, seperti: takbir ketika hendak ruku’, takbir ketika hendak sujud dan takbir ketika bangkit dari sujud dan tasyahhud awal. ([2])
Hukum Takbir Intiqal
Takbir Intiqal adalah wajib. ([3]) Sebagaimana perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan perintah menunjukkan wajib dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengerjakannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) shalat.” ([4])
Demikian juga hadits yang datang dari Abu Dawud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا تَتِمُّ صَلَاةٌ لِأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ حَتَّى يَتَوَضَّأَ ثُمَّ يُكَبِّرُ، وَيَحْمَدُ اللَّهَ جَلَّ وَعَزَّ، وَيُثْنِي عَلَيْهِ، وَيَقْرَأُ بِمَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ، ثُمَّ يَرْكَعُ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ، ثُمَّ يَقُولُ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَائِمًا، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ، ثُمَّ يَسْجُدُ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ، وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ، ثُمَّ يَسْجُدُ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ، ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ فَيُكَبِّرُ، فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ تَمَّتْ صَلَاتُهُ
Tidak sempurna shalat seseorang hingga bewudhu, kemudian bertakbir dan memuji Allah azza wa jalla dan menyanjungNya, lalu membaca yang mudah baginya dari Al-Qur’an. Kemudian mengucapkan: ‘Allahu Akbar’, kemudian ruku’ hingga tenang tulang-tulang sendinya. Kemudian mengucapkan: ‘Sami’allahu liman hamidah’ hingga berdiri tegak. Kemudian mengucapkan: ‘Allahu Akbar’, kemudian sujud hingga tenang tulang-tulang sendinya. Kemudian mengucapkan: ‘Allahu Akbar’, dan mengangkat kepalanya hingga duduk dengan tegak, kemudian sujud hingga tenang tulang-tulang sendinya. Kemudian mengangkat kepalanya seraya bertakbir. Apabila telah melakukan itu semua, maka telah sempurna shalatnya. ([5])
Hadits ini menunjukkan wajibnya takbir di dalam shalat selain takbiratul ihram, yakni takbir intiqal.
Adapun tidak disebutkannya takbir intiqool dalam hadits orang yang buruk shalatnya, maka telah datang hadits-hadits lain yang menunjukan adanya perintah untuk takbir intiqool, yang menunjukan adanya tambahan hukum yang harus diterima.
Tata Cara Takbir Intiqal
Takbir Intiqal diucapkan oleh orang yang shalat saat hendak ruku’, sujud, bangkit dari sujud dan duduk tasyyahhud awal. Dianjurkan mengucapkannya ketika berpindah dari satu rukun kepada rukun yang lainnya, yaitu dari permulaan gerakan hingga akhir gerakan pada suatu rukun shalat. Artinya mengisi perpindahan gerakan tersebut dengan takbir. Tujuannya adalah agar tidak ada jeda waktu yang sia-sia dari dzikir di dalam bagian-bagian shalat.
Contohnya adalah ketika orang yang shalat hendak berpindah dari posisi berdiri kepada posisi ruku’, maka hendaknya dia mulai bertakbir ketika mulai menurunkan tubuhnya untuk ruku’ dan menghentikan takbirnya pada saat badan sampai pada batas gerakan ruku’ dan setelahnya melanjutkan bacaan tasbih ketika ruku’.
Dan ketika berpindah kepada gerakan sujud, maka hendaknya dia mulai bertakbir ketika mulai menurunkan tubuhnya untuk sujud dan menghentikan takbirnya pada saat meletakkan dahinya di lantai/tanah, kemudian melanjutkan bacaan tasbih ketika sujud. Begitu pula saat bangkit dari sujud atau bangkit dari tasyahhud awal, maka hendaknya bertakbir ketika mulai bangkit mengangkat kepalanya dan menghentikan takbirnya ketika duduk atau tegak berdiri. ([6])
Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ، ثُمَّ يَقُولُ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، حِينَ يَرْفَعُ صُلْبَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ، ثُمَّ يَقُولُ وَهُوَ قَائِمٌ: رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَهْوِي سَاجِدًا، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَسْجُدُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ، ثُمَّ يَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ فِي الصَّلَاةِ كُلِّهَا حَتَّى يَقْضِيَهَا وَيُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ مِنَ الْمَثْنَى بَعْدَ الْجُلُوسِ ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ إِنِّي لَأَشْبَهُكُمْ صَلَاةً بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mendirikan shalat, maka beliau bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika ruku’. Kemudian mengucapkan: ‘sami’allahu liman hamidah’ ketika bangkit dan meluruskan tulang punggungnya dari ruku’. Kemudian bangkit seraya mengucapkan: ‘rabbana lakal hamdu’. Kemudian bertakbir ketika turun untuk sujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya (bangkit dari sujud), kemudian bertakbir ketika sujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya (bangkit dari sujud), kemudian melakukan hal yang sama di seluruh shalatnya hingga menyelesaikannya. Beliau bertakbir ketika bangkit dari rakaat yang kedua setelah duduk (tasyahhud awal). Kemudian Abu Hurairah berkata: Sesungguhnya aku benar-benar meniru shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. ([7])
Sisi Pendalilan:
Hadits di atas menjelaskan penetapan hukum takbir intiqal dan (sunnah fi’liyyah) perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam tata cara takbir intiqal yangtelah ditirukan oleh salah satu sahabat. ([8])
Ibnu Hajar mengatakan: Menurut mayoritas ahli ilmu bahwa orang yang shalat hendaknya mengawali takbir ketika mulai bergerak dan berpindah dari posisi berdiri kepada posisi ruku’ atau sujud atau ketika beranjak bangkit dari sujud. ([9])
Ibnu Rajab menyebutkan: Sebagian Ulama kami mengatakan bahwa takbir ketika ruku’ dan sujud atau ketika bangkit dari sujud mulai diucapkan ketika memulai gerakan suatu rukun dan berakhir diucapkan dengan berakhirnya gerakan rukun tersebut.
Seandainya dia menyelesaikan takbirnya sebelum gerakannya berakhir, maka hal itu tetap sah, meskipun takbir yang diucapkan tidak memenuhi gerakan. Hal itu disebabkan takbir yang diucapkan tidak melampaui batas dari gerakannya. ([10])
Memanjangkan Takbir
Dapat dipahami bahwa takbir intiqal diucapkan diantara dua rukun. Bermula ketika bergerak hendak berpindah dari satu rukun dan berakhir hingga sebelum masuk kepada rukun berikutnya. Ulama tidak mensyaratkan untuk memenuhi takbir diantara dua rukun ini dengan memanjangkannya atau mengulur bacaan takbirnya hingga akhir nafasnya. Namun, sebagian ulama menganjurkan untuk memanjangkan atau mengulur ucapan takbir dari awal dia bergerak untuk berpindah dari satu rukun dan berakhir hingga memasuki batas rukun berikutnya.
Dalam riwayat hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tentang takbir intiqal yang telah disebutkan sebelumnya. Dinukilkan dari An-Nawawi bahwa hadits tersebut merupakan dalil mengiringi ucapan takbir disertai memanjangkannya di dalam gerakan-gerakan shalat. Hendaknya ketika orang yang shalat akan berpindah dari posisi berdiri kepada posisi ruku’, maka dia mulai bertakbir ketika mulai menurunkan tubuhnya untuk ruku’ dan memanjangkan takbirnya hingga saat badan sampai pada batas gerakan ruku’ dan setelahnya melanjutkan bacaan tasbih ketika ruku’.
Dan ketika berpindah kepada gerakan sujud, maka hendaknya dia mulai bertakbir ketika mulai menurunkan tubuhnya untuk sujud dan memanjangkan takbirnya hingga dia meletakkan dahinya di lantai/tanah, kemudian berhenti dan melanjutkan bacaan tasbih ketika sujud. Begitu pula saat bangkit dari sujud atau bangkit dari tasyahhud awal, maka hendaknya bertakbir ketika mulai bangkit mengangkat kepalanya dan memanjangkan takbirnya, kemudian menghentikan takbirnya ketika duduk atau tegak berdiri. ([11])
Dengan ini sebagian ulama berdalil dianjurkannya memanjangkan atau mengulur ucapan takbir dari bergeraknya anggota tubuh saat berpindah dari satu rukun kepada rukun lainnya. Namun, pendalilan ini tidak bisa menjadi patokan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani bahwa:
وَدِلَالَةُ هَذَا الَّلفْظُ عَلَى الْبَسْطِ الَّذِي ذَكَرَهُ غَيْرُ ظَاهِرَةٍ
Sisi pendalilan dalam lafadz ini yakni ‘memanjangkan takbir’ yang disebutkan tidaklah jelas. ([12])
As-Shan’aniy juga mengatakan: Yang terlihat dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (bertakbir ketika berdiri dan bertakbir ketika ruku’) menunjukkan bahwa takbir hendaknya mengiringi gerakan-gerakan dalam shalat, maka orang yang shalat hendaknya bertakbir ketika memulai suatu rukun shalat. Adapun yang mengatakan agar memanjangkan takbir hingga sempurna suatu gerakan dalam rukun shalat, maka hal itu tidak ada sisi pendalilannya sama sekali. Bahkan, hendaknya mencari sisi pendalilan dalam lafadz hadits tanpa menambah dan mengurangi lafadznya. ([13])
Ibrahim An-Nakha’i berkata:
التَّكْبِيرُ جَزْمٌ يَقُولُ: لَا يُمَد
Takbir itu jazm (pasti). Dan maksdunya adalah tidak memanjangkan. ([14])
Lebih dalam lagi Al-Baghawi menjelaskan:
لَا يُمَدَّانِ، وَلا يُعْرَبُ آخِرُهُمَا، بَلْ يُسَكَّنُ، فَيَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلا يُرْفَعُ الرَّاء.قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ: لَا يَمُدُّهُ مَدًّا
Tidak memanjangkannya dan huruf terakhirnya tidak berharakat, namun di ‘sukun’. Yaitu dengan mengucapkan ‘Allahu Akbar’ (hurufnya ra’ nya dibaca mati dan tidak berharakat).
dan Ibnul Mubarak juga mengatkan: artinya adalah tidak memanjangkannya. Begitu pula yang dikatakan oleh Ibnu Al-Atsir. ([15])
Ahmad Syakir juga berkata dalam syarh At-Tirmidzi: Jazm bermakna qath’i. artinya adalah menghapus (harakat huruf terakhir) dan bersegera. Begitu pula yang dikatakan oleh Ibnu Hajar. ([16])
Ibnu Hazm mengatakan: Kami menganjurkan bagi setiap orang yang shalat agar mengawali bertakbir ketika mulai turun dari ruku’ atau ketika mulai turun dari sujud atau ketika bangkit dari sujud dan ketika mulai bangkit dari rakaat yang kedua. Dan tidak dibolehkan sama sekali bagi imam untuk memanjangkan takbir, akan tetapi hendaknya bersegera melakukannya, jadi dia tidak ruku’, sujud maupun berdiri kecuali telah sempurna dalam mengucapkan takbir.
Adapun pendapat kami mewajibkan bagi imam agar bersegera dalam bertakbir adalah berdasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا، وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا، وَإِذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَقُولُوا: رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ
Sesungguhnya dijadikannya imam agar diikuti. Apabila dia bertakbir maka bertakbirlah, apabila ruku’ maka ruku’lah, apabila bangkit dari ruku’ maka bangkitlah. Dan apabila imam mengucapkan ‘Samia’allahu liman hamidah’, maka ucapkanlah: ‘Rabbana lakal hamdu’. ([17])
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pula mewajibkan takbir kepada makmum, tak lama setelah imam bertakbir, harus dilakukan seperti itu. Apabila imam memanjangkan takbir, maka akan membingungkan keadaan makmum, dikhawatirkan mereka akan mengucapkan takbir bersamaan dengan imam. Bahkan, barangkali makmum selesai bertakbir sebelum imam selesai bertakbir dengan sempurna. Jika keadaannya seperti ini, maka sama halnya makmum belum bertakbir sebagaimana yang telah diperintahkan. Barang siapa yang tidak bertakbir, maka shalatnya tidaklah sah, karena dia tidak shalat seperti yang diperintahkan. Maka dalam hal ini imam shalat telah merusak shalatnya orang-orang dan menyebabkan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. ([18])
Maksud dari perkataan Ibnu Hazm berkenaan dengan imam yang memanjangkan takbir juga telah disinggung oleh Imam Ahmad pada bab takbiratul ihram.
Barangkali imam memanjangkan takbirnya karena kejahilannya. Seorang makmum yang bertakbir bersamaan dengan imam memungkinkan untuk mengucapkan takbir lebih cepat dari imam, akhirnya makmum selesai bertakbir lebih dahulu daripada imam. Artinya makmum bertakbir sebelum imam. Dan barang siapa yang bertakbir sebelum imam, maka tidak ada shalat baginya. Disebabkan dia mendahului imam, maka shalatnya tidak sah. ([19])
Maka, hendaknya seorang makmum bertakbir dan berpindah dari satu rukun kepada rukun berikutnya setelah imam selesai dari takbirnya dan tidak berusaha untuk mendahuluinya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا، وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا، وَإِذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَقُولُوا: رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ
Sesungguhnya dijadikannya imam agar diikuti. Apabila dia bertakbir maka bertakbirlah, apabila ruku’ maka ruku’lah, apabila bangkit dari ruku’ maka bangkitlah. Dan apabila imam mengucapkan ‘Samia’allahu liman hamidah’, maka ucapkanlah: ‘Rabbana lakal hamdu’. ([20])
Artinya adalah hendaknya makmum masih tetap berdiri seraya menunggu imam hingga selesai ucapannya dari bertakbir dan dalam posisi ruku’, baru kemudian makmum mengikutinya. Begitu pula ketika berpindah kepada rukun-rukun yang lainnya. ([21])
Kesimpulannya adalah bahwa memanjangkan takbir di dalam shalat tidak lah dianjurkan. Bahkan dapat mengakibatkan rusaknya shalat, khususnya dalam shalat berjama’ah. Karena hal ini membahayakan keadaan makmum yang bepeluang mendahului imam atau mengiringinya. Dan sifatnya seorang makmum yang seharusnya mengikuti imam di dalam shalat beraibat menjadi terganggu dan tidak teratur, wallahu a’lamu bis shawab.
2. Mengucapkan (At-Tasmi’) yaitu (سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) ‘Sami’allaahu liman hamidah’ dan Mengucapkan (At-Tahmid) yaitu (رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ) ‘Rabbanaa walakal hamdu’ (di link kan ke tata cara sholat)
3. Mengucapkan (At-Tasbih) yaitu Subhaana rabbiyal ‘azhiim saat ruku’ dan Subhaana rabbiyal a’la saat sujud
Hukum Membaca Bacaan Tasbih Dalam Ruku’ dan Sujud
Bahwa tasbih yang dibaca saat ruku’ dan sujud hukumnya wajib. ([22]) Berdasarkan hadits Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu berkata:
لَمَّا نَزَلَتْ {فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ} قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اجْعَلُوهَا فِي رُكُوعِكُمْ فَلَمَّا نَزَلَتْ: {سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى} قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اجْعَلُوهَا فِي سُجُودِكُمْ
Ketika turun ayat -فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ- (Al-Waqi’ah: 74), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada kami: “Jadikanlah bacaan pada ruku’ kalian.” Dan ketika turun ayat – سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى – (Al-A’la: 1), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jadikanlah bacaan pada sujud kalian.” ([23])
Hadits ini menunjukkan perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan perintah menunjukkan kewajiban. ([24])
4. Mengucapkan Rabbighfirlii (رَبِّ اغْفِرْ لِي) di antara dua sujud
Hukum membaca Rabbighfirlii (رَبِّ اغْفِرْ لِي)
Bacaan ‘Rabbi ighfirlii’ (رَبِّ اغْفِرْ لِي) pada saat duduk di antara dua sujud adalah wajib. ([25])
Berdasarkan hadits Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ: رَبِّ اغْفِرْ لِي، رَبِّ اغْفِرْ لِي
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika duduk diantara dua sujud beliau mengucapkan: ‘Rabbi ighfirlii, Rabbi ighfirlii’ (Wahai Rabbku ampunilah aku, Wahai Rabbku ampunilah aku). ([26])
5. Membaca Tasyahhud awal Dan Duduk untuk tasyahhud awal.
Silahkan Anda baca artikel pada bab tasyahud awal pada link: Tasyahud Awal
FOOTNOTE:
([1]) Lihat: Hasyiyah Ar-Raudhul Murbi’ jilid:2 hal.122.
([2]) Lihat: Al-Mughni Li Ibni Qudamah 1/502, Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/397.
([3]) Menurut Jumhur Ulama takbir Intiqal adalah sunnah. Beberapa ulama yang berpendapat dalam perkara ini -sebagaimana dinukilkan dari Ibnul Mundzir- adalah Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khatthab, Jabir bin Abdullah, Qais bin ‘Ubadah, As-Sya’bi, Al-Auza’i, Sa’id bin Abdul Aziz, Abu Hanifah, Malik dan As-Syafi’i. Dinukilkan pula dari Ibnu Batthal bahwa ulama yang sependapat dalam perkara ini adalah Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Ibnu Zubair, Makhul, An-Nakha’i dan Abu Tsaur. (Lihat: Umdatul Qari Li Badruddin Al-‘Ainiy 6/85, Al-Bahru Ar-Ra’iq Li Ibni Nujaim 1/320, Hasyiyah Ibnu Abidin 1/476,As-Syarhul Kabir Li Ad-Dardir wa Hasyiyah Ad-Dasuqi 1/243, Adz-Dzakhirah Li Al-Qarafiy 2/210, Syarh As-Sunnah Li Al-Baghawiy 3/91 dan Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/397).
Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tentang seorang lelaki yang buruk dalam shalatnya.
أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ المَسْجِدَ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ فِي نَاحِيَةِ المَسْجِدِ، فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَعَلَيْكَ السَّلاَمُ، ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ» فَرَجَعَ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ، فَقَالَ: «وَعَلَيْكَ السَّلاَمُ، فَارْجِعْ فَصَلِّ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ» فَقَالَ فِي الثَّانِيَةِ، أَوْ فِي الَّتِي بَعْدَهَا: عَلِّمْنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَالَ: «إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَسْتَوِيَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا
Ada seorang lelaki yang masuk masjid dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di suatu sudut masjid, lalu ia melaksanakan shalat. Setelah itu, ia datang dan memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab: “Dan bagimu keselamatan, kembalilah lalu ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Lalu ia pun shalat dan datang lalu memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menjawab (sama seperti sebelumnya): “Dan bagimu keselamatan, kembalilah lalu ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Lantas orang yang tersebut berkata pada kali kedua atau yang ketiga: “Ajarilah aku! Wahai Rasulullah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengajarinya dan bersabda, “Jika engkau hendak shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke qiblat lalu bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Qur’an yang mudah bagimu. Lalu ruku’lah dan sertai thuma’ninah ketika ruku’. Lalu bangkitlah dan beri’tidallah dengan berdiri. Kemudian sujudlah sertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk (antara dua sujud) disertai thuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk disertai thuma’ninah Kemudian lakukanlah seperti itu dalam setiap shalatmu.” (HR. Bukhari no.6251, Muslim no.397)
Di dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan shalat dan rukun dan wajibnya, diantaranya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan takbiratul ihram dan tidak menyebutkan taqbir intiqal. Beliau menjelaskan dan mengajarkannya pada saat itu, tidak menambah ataupun menguranginya. (Lihat: Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/397, Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi 4/98.)
Adapun dalil yang menekankan bahwa takbir intiqal ketika ruku’, sujud dan bangkit dari sujud merupakan sunnah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَهْوِي سَاجِدًا، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَسْجُدُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ، ثُمَّ يَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ فِي الصَّلَاةِ كُلِّهَا حَتَّى يَقْضِيَهَا وَيُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ مِنَ الْمَثْنَى بَعْدَ الْجُلُوسِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mendirikan shalat, beliau bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika hendak ruku’, kemudian bertakbir ketika mengayunkan tubuhnya (hendak) sujud, kemudian bertakbir ketika bangkit dari sujud kemudian bertakbir ketika hendak sujud, kemudian bertakbir ketika bangkit dari sujud, kemudian melakukan yang serupa dengan itu di semua shalatnya hingga selesai. Dan beliau bertakbir ketika bangkit dari rakaat kedua setelah duduk (tasyahhud awal). (H.R. Muslim no.392).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir ketika berpindah dari posisi berdiri kepada posisi ruku’, begitu pula saat berpindah kepada posisi sujud dan bangkit dari sujud. Hal ini menunjukkan penetapan takbir dalam shalat ketika berpindah gerakan dari posisi berdiri kepada posisi ruku’ dan sujud ataupun bangkit dari sujud. (Lihat: Syarh Shahih Muslim 4/97).
([5]) H.R. Abu Dawud no. 857 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([6]) Menurut kesepakatan ulama Hanabilah, Hanafiyyah dan Syafi’iyyah. Adapun pendapat lain menurut Malikiyyah, sebagaimana yang diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz, hendaknya orang yang shalat bertakbir ketika dia telah benar-benar bangkit dan tegak berdiri dari rakaat yang kedua. (Lihat: Raudhatu At-Thalibin Li An-Nawawi 1/250, Syarh Shahih Muslim 4/99, Hasyiyah At-Thahthawi ‘ala Muraqil Al-Falah hal.154, Al-Mughni Li Ibni Qudamah 1/357 dan Mathalibu Ulin Nuha Musthafa bin Sa’ad As-Suyuthi 1/442,449).
([7]) H.R. Bukhari no.789 dan Muslim no.392.
([8]) Lihat: Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim 4/98 dan Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/397 dan Subulus Salam Li As-Shan’aniy 1/267.
([9]) Lihat: Fathul Baari Li Ibni Hajar 2/304.
([10]) Lihat: Fathul Baari Li Ibni Rajab 7/212.
([11]) Lihat: Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim 4/99.
([12]) Lihat: Fathul Bari Li Ibni Hajar Al-‘Asqalaniy 2/273.
([13]) Lihat: Subulus Salam As-Shan’aniy 1/268.
([14]) Lihat: Mushannaf ‘Abdur Razzaq 2/74.
([15]) Lihat: Syarhus Sunnah Li Al-Baghawi 3/92 dan An-Nihayah Li Ibni Al-Atsir 1/356.
([16]) Lihat: At-Talkhis Li Ibni Hajar Al-‘Asqalaniy 1/551 dan Sunan At-Tirmidzi 2/95 .
([18]) Lihat: Al-Muhalla Li Ibni Hazm 3/64,65.
([19]) Lihat: Thabaqat Al-Hanabilah Li Ibni Abi Ya’la 1/351.
([21]) Lihat: Thabaqat Al-Hanabilah Li Ibni Abi Ya’la 1/351.
([22]) Diantara ulama yang berpandangan demikian adalah Hanabilah, Dzohiriyyah, sebagian Ahli Hadits, salah satu pendapat Dawud, dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah. (lihat: Kassyaful Qina’ Li Al-Bahutiy 1/347, Al-Mughniy Li Ibni Qudamah 1/362, Syarh Shohih Al-Bukhari Li Ibni Batthal 2/414, Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim 4/197, Majmu’ Al-Fatawa 22/550 dan Subulus Salam 1/178.
Dan sebagian Ulama lain berpandangan mengenai hukum bacaan (tasbih) saat ruku’ dan sujud merupakan sunnah. Diantara ulama yang berpandangan demikian adalah Jumhur ulama dari Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad (lihat: Tabyiinul Haqaia Li Az-Zaila’I 1/107, Fathul Qadir Li Al-Kamal ibnu Al-Humam 1/307, At-Taju wa Al-Iklil Li Al-Mawwaq 1/538, Al-Mughniy Li Ibni Qudamah dan Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim 4/197).
Hal ini berdasarkan keumuman hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tentang orang yang buruk dalam shalatnya.
أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ المَسْجِدَ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ فِي نَاحِيَةِ المَسْجِدِ، فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَعَلَيْكَ السَّلاَمُ، ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ» فَرَجَعَ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ، فَقَالَ: «وَعَلَيْكَ السَّلاَمُ، فَارْجِعْ فَصَلِّ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ» فَقَالَ فِي الثَّانِيَةِ، أَوْ فِي الَّتِي بَعْدَهَا: عَلِّمْنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَالَ: «إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَسْتَوِيَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا
Ada seorang lelaki yang masuk masjid dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di suatu sudut masjid, lalu ia melaksanakan shalat. Setelah itu, ia datang dan memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab: “Dan bagimu keselamatan, kembalilah lalu ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Lalu ia pun shalat dan datang lalu memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menjawab (sama seperti sebelumnya): “Dan bagimu keselamatan, kembalilah lalu ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Lantas orang yang tersebut berkata pada kali kedua atau yang ketiga: “Ajarilah aku! Wahai Rasulullah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengajarinya dan bersabda, “Jika engkau hendak shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke qiblat lalu bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Qur’an yang mudah bagimu. Lalu ruku’lah dan sertai thuma’ninah ketika ruku’. Lalu bangkitlah dan beri’tidallah dengan berdiri. Kemudian sujudlah sertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk (antara dua sujud) disertai thuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk disertai thuma’ninah Kemudian lakukanlah seperti itu dalam setiap shalatmu.” (HR. Bukhari no.6251, Muslim no.397)
Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan shalat kepada seorang Arab badui, namun beliau tidak menjelaskan tentang tasbih di dalamnya. Dalil-dalil yang menjelaskan ruku’ dan sujud tidak menjelaskan tasbih di dalamnya, maka tidak boleh menambahkan sesuatu di luar dalil (Lihat: Syarah Shahih Al-Bukhari Li Ibni Batthal 2/414 dan Fathul Qadir Lil Al-Kamal bin Al-Hammad 1/307).
([23]) H.R. Abu Dawud no.869, Ibnu Majah no.887, Ahmad no.17414, Ad-Darimi no.1344 dan Ibnu Khuzaimah no. 600.
([24]) Diantara ulama yang berpandangan demikian adalah Hanabilah, Dzohiriyyah, sebagian Ahli Hadits, salah satu pendapat Dawud, dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah. (lihat: Kassyaful Qina’ Li Al-Bahutiy 1/347, Al-Mughniy Li Ibni Qudamah 1/362, Syarh Shohih Al-Bukhari Li Ibni Batthal 2/414, Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim 4/197, Majmu’ Al-Fatawa 22/550 dan Subulus Salam 1/178.
([25]) Pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad bahwa mengucapkan: ‘Rabbi ighfirlii, Rabbi ighfirlii’ ketika duduk diantara dua sujud termasuk wajib dalam shalat, begitu pula pendapat Ishaq dan Dawud.
Dan salah satu pendapat Imam Ahmad bahwa perkara tersebut tidak diwajibkan, demikian juga yang dikatakan oleh Malikiyyah, Syafi’iyyah, sebagian Hanafiyyah dan mayoritas Ahli fiqih lainnya. (Lihat: As-Syarhul Kabiir Li Ad-Dirdir 1/252, Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/436, Raudhatu At-Thalibin Li An-Nawawi 1/260, Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 1/505, Al-Mughni Li Ibni Qudamah 1/362 dan Fathul Baari Li Ibni Rajab 5/134).
Hal itu didasari dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tentang orang yang buruk dalam shalatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya sebatas mengajarkan apa yang disebutkan dalam hadits dan tidak mengajarkan yang lainnya, diantaranya adalah doa diantara dua sujud. Tidak diperbolehkan mengakhirkan penjelasan dari waktu yang telah dibutuhkan. Seandainya itu diwaijbkan, maka tidak dapat digantikan dengan sujud sahwi sebagaimana rukun shalat.
Namun, menurut pendalilan Hanabilah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan perkara tersebut dan telah mengerjakannya. Beliau juga bersabda:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) shalat.” (HR. Bukhari no.631).
([26]) H.R. Abu Dawud no.874, An-Nasa’i no.1145, Ibnu Majah no.897, Ahmad no.23423, Ad-Darimi no.1363 dan dishahihkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 1/631.