38. أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ
allā taziru wāziratuw wizra ukhrā
38. (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
Tafsir :
Sebagaimana seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain maka dia juga tidak akan mengambil kebaikan orang lain.
Dalam ayat ini para ulama berbeda pendapat mengenai masalah mengirim pahala kepada mayat. Imam As-Syafi’i mengatakan dalam Al-Umm bahwasanya terdapat tiga perkara yang bermanfaat bagi mayit di antaranya doa kaum muslimin untuk mayit tersebut, yang kedua menghajikan orang yang sudah meninggal, yang ketiga adalah bersedekah atas nama mayit([1]). Secara umum para ulama ijma’ dalam masalah-masalah ini. Kecuali Imam Malik menurut beliau seseorang hanya boleh menghajikan atau bersedekah atas nama mayit apabila sebelum meninggal dia berwasiat. Intinya secara umum para ulama ijma’ dalam tiga permasalahan tersebut dan ini yang dinamakan dengan niyabah (perwakilan). Kita tahu bahwasanya mendoakan orang yang sudah meninggal diperbolehkan adapun diterima atau tidaknya doa tersebut maka itu adalah hak prerogatif Allah dan ini berbeda dengan masalah mengirim pahala kepada orang lain.
Berdoa untuk mayit dengan izin Allah akan bermanfaat seperti orang yang berziarah kubur kemudian berdoa untuk mayit, sama halnya sholat jenazah yang mana ketika kita mensholati jenazah berarti kita sedang mendoakannya karena dalam sholat jenazah terkandung di dalamnya doa untuk mayit dan ini berbeda dengan masalah mengirim pahala.
Adapun menghajikan orang lain yang sudah meninggal maka hal tersebut juga berbeda dengan masalah mengirim pahala haji untuknya, yang dimaksud dengan mengirim pahala haji adalah ketika seseorang haji untuk dia sendiri kemudian dia berdoa “Ya Allah Pahala haji saya ini saya kirimkan untuk si fulan”, namun yang dimaksud dan disepakati akan kebolehannya oleh para ulama adalah niyabah atau menghajikan atas nama si fulan misal seorang berhaji untuk bapaknya kemudian berkata لَبَّيكَ اللَّهُمَّ حَجّاً عَن أَبِي “Ya Allah saya berhaji atas nama bapak saya”.
Bersedekah atas nama mayit juga berbeda dengan masalah mengirim pahala sedekah untuknya, yang dimaksud dengan mengirim pahala sedekah adalah ketika seseorang bersedekah untuk dirinya sendiri kemudian dia berdoa “Ya Allah kirimkan pahala sedekah saya ini untuk si fulan”. Adapun bersedekah atas nama mayit misalnya ketika seseorang bersedekah atas nama bapaknya yang sudah meninggal maka yang demikian juga disepakati akan kebolehannya.
Masalah-masalah di atas yaitu niyabah para ulama secara umum sepakat bahwasanya hal-hal tersebut diperbolehkan bahkan dapat memberikan manfaat kepada orang yang diwakilkan dengan izin Allah. Adapun yang diperselisihkan oleh para ulama adalah masalah mengirim pahala, misalnya seseorang berkata setelah melaksanakan sholatnya “ Ya Allah kirimkan pahala sholat ini untuk bapak saya” . Secara umum masalah ini kembali kepada dua pendapat, pendapat pertama yang dipilih oleh Imam As Syafi’i dan di jelaskan secara nash (textual) dalam kitab beliau Al-Umm dan dinukil oleh imam An-Nawawy dalam Al Minhaj Syarah Sohih Muslim bahwasanya mengirim pahala tidak akan sampai([2]), jadi menurut pendapat ini mengirim pahala bacaan Al Quran, kirim pahala sholat, kirim pahala puasa dan kirim pahala haji tidak akan sampai dst.
Pendapat ke dua yang dipilih oleh jumhur ulama di antaranya Imam Ahmad rohimahullah bahwasanya pahala akan sampai kepada orang yang dikirimkan kepadanya pahala([3]). Terdapat perincian dalam masalah ini akan tetapi secara umum dua pendapat inilah yang kuat.
Dalam masalah ini penulis lebih cenderung kepada pendapat Imam As-Syafi’i bahwasanya pahala tidak akan sampai dan pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir ayat ini([4]). Alasannya karena Nabi ﷻ dan para sahabatnya tidak pernah melakukannya, tidak tercatat dalam sejarah mereka seorang pun mengamalkan amalan kirim pahala kepada orang lain. Bahkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ummul mukminin Aisyah radhiyallahu anha disebutkan,
أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أُمّـِيْ افْـتُـلِـتَتْ نَـفْسُهَا (وَلَـمْ تُوْصِ) فَـأَظُنَّـهَا لَوْ تَـكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، فَـهَلْ لَـهَا أَجْـرٌ إِنْ تَـصَدَّقْتُ عَنْهَا (وَلِـيْ أَجْـرٌ)؟ قَالَ: «نَعَمْ» (فَـتَـصَدَّقَ عَـنْـهَا).
Bahwasanya ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi, “Sesungguhnya ibuku meninggal dunia secara tiba-tiba (dan tidak memberikan wasiat), dan aku mengira jika ia bisa berbicara maka ia akan bersedekah, maka apakah ia memperoleh pahala jika aku bersedekah atas namanya (dan aku pun mendapatkan pahala)? Beliau menjawab, “Ya, (maka ia pun bersedekahlah untuknya)([5]).
Ini menunjukkan terbetik dalam benak para sahabat bahwasanya seseorang tidak beribadah atas nama orang lain sehingga mereka pada akhirnya bertanya tentang masalah tersebut. Ini pun masalah beribadah atas nama orang lain (niyabah) bukan masalah kirim pahala, dan para sahabat tetap bertanya kepada Nabi.
Namun bagaimanapun permasalahan ini tetap tetap merupakan permasalahan khilafiyah. Dan yang menakjubkan di zaman sekarang orang-orang Indonesia yang notabene berpegang dengan madzhab syafi’i mereka lebih memilih pendapat Imam Ahmad dalam hal ini, sedangkan orang-orang saudi yang notabene bermadzhab hanbali mereka justru memilih pendapat Imam As Syafi’i dalam masalah ini yang demikian menunjukkan bahwa mereka berusaha melihat dalil. Mungkin menurut masyarakat Indonesia pendalilan yang dipakai Imam As Syafi’i kurang kuat sehingga mereka menyelisihi pendapat beliau sebaliknya orang-orang Saudi memandang pendapat Imam Ahmad dalam masalah ini kurang kuat sehingga mereka lebih memilih pendapat Imam As Syafi’i.
__________________
Footnote :
([1]) Lihat Al-Umm karya Imam As-Syafi’i 4/126.
([2]) Lihat Al Minhaj Syarah Sahih Muslim karya An Nawawy 1/90.
([3]) Lihat Hasyiyah Ibnu Abidin 1/605.