3. وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ
wa mā yanṭiqu ‘anil-hawā
3. dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Tafsir :
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى. اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)
Secara umum, ayat ini menjadi sebuah paragraf yang menjelaskan proses turunnya wahyu kepada Nabi. Apakah wahyu tersebut turun di bumi dengan datangnya Jibril atau apakah wahyu tersebut di langit, kemudian Nabi diangkat ke langit agar langsung mendengar wahyu dari Allah? Maka di dalam ayat ini Allah menjelaskan bagaimana metode turunnya wahyu kepada Nabi yaitu dengan melalui malaikat Jibril álaihis salam.
Di dalam ayat ini Allah menjelaskan tentang ke-otentikan Al-Qur’an, bahwa Al-Qur’an adalah wahyu yang berasal dari Allah dan diwahyukan kepada Nabi. Tidak mungkin beliau berbicara mengikuti hawa nafsunya. Apa yang beliau sampaikan berupa Al-Qur’an bukanlah hasil dari karangan beliau sendiri. Akan tetapi, semuanya berasal dari Allah.([1])
Diantara dalil yang menguatkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash berkata:
كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيدُ حِفْظَهُ، فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ وَقَالُوا: أَتَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ تَسْمَعُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ، وَالرِّضَا، فَأَمْسَكْتُ عَنِ الْكِتَابِ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَوْمَأَ بِأُصْبُعِهِ إِلَى فِيهِ، فَقَالَ: اكْتُبْ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلَّا حَقٌّ
“Dahulu aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah agar aku dapat menghafalkannya. Maka orang-orang Quraisy pun menegurku dan mengatakan: “Apakah kamu menulis seluruh yang kamu dengar dari Rasulullah, sedangkan dia adalah manusia yang terkadang berbicara sambal marah dan ridha.” Setelah itu, akupun berhenti menulis. Lalu aku menceritakan hal ini kepada Rasulullah. Maka beliau berisyarat dengan jarinya ke mulutnya, seraya bersabda: “Tulislah, demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tidak ada yang keluar dari mulutku kecuai kebenaran.” ([2])
Dalam riwayat lain, dari Abu Hurairah bahwa salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ تُدَاعِبُنَا، قَالَ إِنِّي لَا أَقُولُ إِلَّا حَقًّا
“Sesungguhnya engkau bercanda dengan kami.” Lalu beliau bersabda: “Aku tidak berkata kecuali kebenaran.” ([3])
Oleh karenanya, ini menjadi bukti bahwa Rasulullah tidak pernah berbicara sesuai dengan hawa nafsunya, bahkan di dalam bercandapun beliau selalu berbicara dalam kebenaran. Seperti halnya yang terjadi kepada salah satu sahabat, dari Anas berkata:
أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، احْمِلْنِي، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّا حَامِلُوكَ عَلَى وَلَدِ نَاقَةٍ قَالَ: وَمَا أَصْنَعُ بِوَلَدِ النَّاقَةِ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَهَلْ تَلِدُ الْإِبِلَ إِلَّا النُّوقُ
“Sesunggunya ada seorang lelaki datang menemui Nabi, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, berilah tunggangan kepadaku.” Lalu Nabi bersabda: “Kami akan memberikan kepadamu anak unta.” Dia berkata: “Apa yang bisa aku lakukan dengan anak unta?” Setelah itu Nabi bersabda: “Bukankah, onta besar juga dilahirkan oleh induknya?” ([4])
Maksudnya adalah bukankah unta yang sudah besar juga disebut dengan anak unta? Karena dia dilahirkan dari induknya. Inilah salah satu contoh bentuk candaan Nabi, dan beliau tidaklah berbohong.
Di dalam ayat ini terdapat beberapa pelajaran, diantaranya adalah apakah Nabi berijtihad? Apakah ijtihad beliau termasuk kepada kebenaran dan tidak didasari dengan hawa nafsu?
Telah dijelaskan bahwa apa yang disampaikan oleh Nabi adalah kebenaran (wahyu) dan bukan dari hawa nafsunya. Namun, dalam beberapa kisah Nabi berbuat salah, kemudian ditegur oleh Allah. Sebagaimana kisah dalam surat ‘Abasa.
Maka para ulama berpendapat dengan menggabungkan ayat ini dengan ayat-ayat lain yang menjelaskan teguran kepada Nabi. Dan di dalam ayat ini menjadi bukti bahwa dibolehkan bagi Nabi untuk berijtihad. Adapun maksud dari kebenaran yang disampaikan oleh Nabi adalah yang berupa Al-Qur’an, karena konteks ayat ini berbicara tentang Al-Qur’an.
Ijtihad Nabi hanya sebatas dalam beberapa kondisi saja yang jarang terjadi. Dan yang lebih banyak beliau sampaikan adalah wahyu dari Allah. Disamping itu, ketika Rasulullah berijtihad tidak berdasarkan dengan hawa nafsu beliau, maka ketika beliau keliru dalam berijtihad, beliau langsung mendapat teguran dari Allah. ([5])
Oleh karena itu, Rasulullah tetap ma’shum (terjaga dari kesalahan) baik ketika menyampaikan wahyu dari Allah, berupa Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Atau ketika beliau terjatuh dalam melakukan suatu kesalahan, maka Allah akan langsung menegur beliau. Karena Nabi tidak akan dibiarkan diatas kesalahan.
___________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/498.
([2]) H.R. Abu Dawud no. 3646 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([3]) H.R. Tirmidzi no. 1990. Hadits hasan dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([4]) H.R. Abu Dawud no. 4998 dan dishahihkan oleh Al-Albani.