56. فِيهِنَّ قَٰصِرَٰتُ ٱلطَّرْفِ لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنسٌ قَبْلَهُمْ وَلَا جَآنٌّ
fīhinna qāṣirātuṭ-ṭarfi lam yaṭmiṡ-hunna insung qablahum wa lā jānn
56. Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin.
Tafsir :
Dijelaskan oleh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya bahwa pada ayat ini Allah menyebutkan tentang bidadari. Allah tidak mengatakan dalam dua surga ada bidadari-bidadari, akan tetapi Allah mengatakan di dalam permadani-permadani tersebut terdapat bidadari-bidadari. Dalam ayat ini Allah menyebutkan (فِيْهِنَّ), yang mana kata gantinya kembali kepada kata (فُرُشٌ) yaitu di permadani-permadani yang bertebaran. Dimana pada tiap permadani terdapat bidadari yang menanti.([1])
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ
“Para bidadari yang menundukkan pandangan mereka.”
Ayat ini menjelaskan sifat-sifat bidadari yang berada di surga. Diantara sifatnya adalah mereka selalu menundukkan pandangan. Para ulama memiliki dua penafsiran tentang arti ‘menundukkan pandangan’.
Pertama, artinya para bidadari menundukan pandangan suami mereka penghuni surga. Yaitu para bidadari tersebut begitu cantik dan jelitanya membuat para suami mereka sangat puas memandangnya dan menundukkan pandangan mereka hanya kepada bidadari tersebut. Sehingga para suami tidak perlu lagi melirik lagi kepada wanita yang lain. Hal itu dikarenakan saking cantiknya dan indahnya bidadari tersebut yang hadir di tengah-tengah mereka.
Tidak seperti wanita dunia, meskipun seorang suami memiliki seorang istri yang sudah sangat cantik jelita dan sangat mulia akhlaknya, namun masih tetap melirik kepada wanita yang lain. Karena tidak ada yang sempurna di atas dunia ini. Maka, sungguh berbeda dengan keadaan penghuni surga ketika berada di dalam surga. Setiap kali penghuni surga melihat bidadari, maka ia akan merasa puas dan tidak ingin melirik wanita lain. Terlebih lagi setiap penghuni surga memiliki banyak bidadari dan tiap bidadari memiliki sifat ini, yaitu mampu menundukkan pandangan pasangannya karena kesempurnaan kecantikannya.
Kedua, artinya adalah para bidadari itu menundukan pandangan bidadari itu sendiri, sehingga para bidadari memiliki sifat tidak pernah melihat kepada lelaki lain. Yang dia lihat hanyalah suaminya. Dan menurutnya lelaki yang paling sempurna di surga adalah pasangannya tersebut, sehingga ia tidak mau melihat kepada lelaki lainnya. Inilah sifat mulia yang tidak dimiliki oleh banyak wanita dunia. Sebagian wanita adakalanya telah memiliki suami yang lumayan sempurna, namun masih melirik kepada lelaki lainnya. Bahkan terkadang membandingkan suaminya dengan suami orang lain. Perbuatan ini bukanlah akhlak seorang bidadari. Justru, seorang bidadari hanya fokus kepada suaminya dan tidak pernah melihat lelaki yang lain.([2])
Perumpamaannya adalah seperti seorang wanita yang terlahir dan dia tidak pernah melihat lelaki manapun kecuali pasangannya. Seburuk apapun pasangannya, maka di matanya dia-lah yang paling tampan. Karena dia tidak pernah melihat lelaki lain, sehingga ia sama sekali tidak akan mampu membandingkan dengan lelaki lainnya. Terlebih lagi, masing-masing penduduk surga dijadikan tampan oleh Allah.
Artinya keduanya baik bidadari maupun suaminya saling menundukkan pandangannya. Suami yang merupakan penghuni surga merasa puas dengan bidadari yang ia miliki sehingga tidak perlu meilirik kepada wanita lainnya. Begitu juga dengan istrinya yang merupakan sang bidadari tidak melirik laki-laki yang lain, dia memiliki akhlak yang mulia, menundukkan pandangannya dan tidak pernah membandingkan suaminya dengan lelaki lainnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلَا جَانٌّ
“Yang tidak pernah disentuh sebelumnya oleh seorang pun manusia maupun jin.”
Diantara sifat bidadari adalah tidak pernah disentuh sebelumnya oleh seorangpun dari kalangan manusia maupun jin. Kata (طَمْث) maknanya adalah darah. Oleh karena itu wanita yang haid disebut juga dengan (طَمَثَتْ) yakni wanita yang sedang haid. Kata ini kemudian digunakan untuk istilah jima’, artinya ketika seorang lelaki berhubungan badan dengan wanita atau seorang gadis, setelah itu kegadisannya menjadi rusak/robek, sehingga hal itu akan mengakibatkan wanita tersebut mengeluarkan darah. Inilah alasan disebut dengan istilah (طَمْث), karena ia berkaitan dengan darah. Oleh karena itu sebagian ulama menyebutkan, ayat ini mengisyaratkan bahwa para bidadari surga selalu perawan, setiap digauli selalu dalam keadaan gadis. Itulah sebabnya Allah menggunakan kata (طَمْث) pada ayat ini.([3])
Lalu sebagian ulama seperti Al-Alusiy dan Ibnu Asyur menjelaskan bahwa secara bahasa (طَمْث) bermakna jima’ dengan gadis. Kemudian makna kata ini digunakan juga untuk makna jima’ secara umum dan tidak terbatas pada gadis saja. ([4])
Di dalam ayat ini terdapat beberapa faedah, di antaranya:
Faedah Pertama, Bidadari tersebut tidak pernah disentuh maupun digauli oleh lelaki manapun, baik dari golongan manusia maupun jin. Dan ini menjadi dalil bahwa bidadari yang disebutkan oleh Allah adalah (حُوْرٌ عِيْنٌ) yaitu bidadari yang Allah ciptakan untuk melayani lelaki yang menjadi penghuni surga, bukan wanita dunia yang menjadi seorang istri dan masuk surga. Karena Allah berfirman:
لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلَا جَانٌّ
“Yang tidak pernah disentuh sebelumnya oleh seorang pun manusia maupun jin.”
Semua orang tahu bahwa jikapun seorang wanita dunia masuk surga. Barangkali dia di dunia merupakan seorang janda, yang sudah disentuh oleh suaminya yang pertama atau yang kedua. Jadi, ayat ini khusus menjelaskan berkaitan dengan bidadari yang Allah ciptakan di surga.
Disamping itu Allah juga berfirman:
إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً. فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا
“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (para bidadari) dengan sebaik-baiknya. Lalu Kami jadikan mereka senantiasa dalam keadaan perawan.” (QS Al-Waqi’ah: 35-36)
Artinya Allah menciptakan bidadari tersebut dengan sebaik-baiknya secara langsung dan spontan, tanpa melalui proses sebagaimana manusia dilahirkan di dunia. Ketika di dunia manusia terlahir dengan proses yang lama. Dimulai dengan keadaanya yang kecil, merangkak, lalu tumbuh besar hingga menjadi dewasa. Berbeda dengan penciptaan bidadari di surga. Allah menciptakannya dalam keadaan sudah menjadi dewasa dan siap untuk digauli. Setiap bidadari tersebut digauli oleh suaminya, maka keadaanya selalu gadis. ([5])
Faedah Kedua, Ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama bahwasanya jin bisa menggauli wanita dari golongan manusia. Walaupun memang terjadi khilaf pendapat di kalangan para ulama tentang hal ini. Sebagian ulama juga menyebutkan bahwa tidak mungkin jin berhubungan badan dengan manusia. Karena mereka diciptakan dari sumber yang berbeda. Jin terbuat dari api sedangkan manusia dari tanah. Sebagian ulama mengatakan bahwa jin bisa berhubungan dengan manusia.([6]) Dan berdasarkan firman Allah,
وَشَارِكْهُمْ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ وَعِدْهُمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلَّا غُرُورًا
“Dan bersekutulah dengan mereka pada harta dan anak-anak lalu beri janjilah kepada mereka.” (QS. Al-Isra’: 64)
Diantara penafsiran ayat tersebut adalah bahwa para jin ikut bersekutu dalam hubungan badan antara manusia. Bahkan sebagian ulama salaf ada yang berkata bahwa jika seorang suami berhubungan badan dengan istrinya, namun tidak membaca do`a tatkala berhubungan badan terlebih dahulu, maka jin bisa ikut serta menikmati istrinya tanpa disadari oleh suami.([7])
Pernah terjadi seorang suami yang sedang bepergian dan meninggalkan istrinya di rumah sendirian. Dalam kondisi demikian, tiba-tiba ada seseorang yang datang menemui istrinya dengan wujud yang sama dengan dirinya. Setelah itu, lelaki tersebut mengajak sang istri untuk berhubungan badan. Lalu sang istri membaca do`a sebelum berhubungan badan dan tiba-tiba sosok lelaki tersebut hilang seketika. Dan ternyata sosok tersebut adalah jin yang menyamar menjadi suami wanita tersebut. Sehingga mungkin saja terjadi hubungan badan antara jin dengan manusia.
Kemudian, pernah juga terjadi sebuah kejadian yang nyata. Ada seorang lelaki yang sedang bepergian untuk beberapa hari, sedangkan istrinya berada di rumah sendirian. Setelah itu datang sosok seorang lelaki yang wujudnya seperti wujud suaminya. Kemudian, dia menggauli istrinya dan terjadilah hubungan badan. Setelah itu, seorang suami itu datang pada hari yang telah ditentukan. Singkat cerita, tiba-tiba istrinya kaget dan menceritakan kejadiannya yang terjadi pada tempo hari saat suaminya bepergian, sedangkan sang suami mengingkarinya. Dan ternyata sosok yang telah menggauli istrinya adalah jin yang menyamar menjadi lelaki tersebut.
Dari cerita tersebut, hendaknya seorang suami dan istri yang hendak berhubungan badan membaca doa yang telah diajarkan oleh Nabi. Dan hendaknya yang membaca doa adalah keduanya yaitu, suami dan istri. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda: “Jika salah seorang diantara kalian mendatangi istri kalian, hendaknya dia mengucapkan:
اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
“Ya Allah, jauhkanlah syai’than dari kami dan jauhkanlah syaithan dari apa yang Engkau anugerahkan kepada kami.” ([8])
Kejadian semacam ini menunjukkan bahwa bisa saja jin berhubungan badan dengan seorang manusia. Bahkan, dalam banyak kasus telah terjadi bahwa jin laki-laki merasuki tubuh seorang wanita. Yang ternyata ada hubungan cinta dan kasih antara keduanya. Dan pada kasus yang lain ada wanita yang jatuh cinta kepada jin laki-laki. Karena dia bisa merubah dirinya menjadi sosok laki-laki yang sangat tampan di hadapan wanita tersebut. Sehingga terjadinya hubungan seksual antara jin dan manusia sangat mungkin terjadi, maka terjadilah khilaf di kalangan para ulama, Wallahu a’lam.
Para ulama juga membahas tentang hukum pernikahan antara jin dengan manusia. Dan mereka berbeda pendapat. Pertama, sebagian dari mereka mengatakan hukumnya adalah haram. Dan ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal. Kedua, makruh dan ini adalah pendapat Imam Malik. Ketiga, sebagian yang lain mengatakan boleh.([9])
Dan pendapat yang lebih tepat adalah haram dan tidak boleh. Karena hal itu menimbulkan kerancuan dan permasalahan seperti dalam perwaliannya. Atau bisa jadi seorang wanita dituduh telah berbuat zina, karena tiba-tiba menampakkan kehamilannya tanpa ada yang mengetahui bahwa dia telah menikah dengan jin. Begitu juga karena Allah menciptakan mereka dari jenis yang berbeda. Dan Allah menyebutkan tentang pernikahan di dalam firmanNya:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri.” (QS. Ar-Rum: 21)
Dan dalam ayat yang lain:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri.” (QS. An-Nahl:72)
Artinya Allah telah menjadikan pasangan-pasangan atau istri-istri untuk manusia dari jenis manusia, sebagaimana menentukan pasangan atau istri untuk jin dari jenis jin itu sendiri. ([10])
Diantara faedah dari ayat ini, yaitu faedah ketiga bahwa yang dimaksud dengan (قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ) adalah bidadari yang diciptakan oleh Allah untuk manusia dan jin yang menjadi penghuni surga. Allah menciptakan bidadari yang cocok dan serasi untuk manusia, disamping itu Allah juga menciptakan bidadari yang cocok dan serasi untuk jin. Karena ayat ini berbicara kepada jin dan manusia. Maka tatkala Allah menjelaskan tentang bidadari, artinya bidadari tersebut cocok untuk golongan manusia dan juga untuk golongan jin, masing-masing bidadari memiliki sifat tersendiri. Inilah pendapat yang banyak dirajihkan oleh para ulama. ([11])
Selain itu, seperti yang telah diketahui bahwa makhluk yang diberikan beban untuk beribadah kepada Allah hanya dari dua golongan saja, yaitu jin dan manusia. Mereka di dunia diperintahkan untuk beribadah, diantara mereka ada yang melaksanakan perintah tersebut ada juga yang melanggarnya. Maka, di akhirat pun keadaan mereka demikian. Ada sebagian golongan jin yang masuk surga, sebagaimana sebagian manusia yang masuk surga dan ada juga sebagian golongan jin yang masuk neraka, sebagaimana sebagian golongan manusia yang masuk ke dalam neraka.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (QS. Al-A’raf: 179)
Oleh karena itu, sebagaimana disebutkan dalam ayat ini bahwa golongan jin dan manusia yang bermaksiat akan masuk neraka. Dan sebaliknya, mereka yang taat akan masuk ke dalam surga.([12])
_______________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/180.
([2]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 23/63.
([3]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/181.
([4]) Lihat: Ruh Al-Ma’aniy Li Al-Alusiy 14/118 dan At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/270.
([5]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 8/14.
([6]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/181 dan Tafsir Al-Alusiy 14/118.
([7]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 10/289.
([9]) Lihat: Adhwa’ul Bayan Li Asy-Syinqithiy 2/415.
([10]) Lihat: Adhwa’ul Bayan Li Asy-Syinqithiy 2/415.